Seorang akademisi dan penulis, George Weigel, mengungkapkan bahwa Perang Dunia I (PD I) disebabkan dan diperpanjang tidak hanya oleh geliat politik dan aliansi-aliansi antarbenua yang kompleks, tetapi juga oleh materialisme, Sosio-Darwinisme, dan penolakan akan Kristianitas.
Kondisi-kondisi budaya yang melatarbelakangi PD I, menurutnya, masih merupakan pelajaran yang berharga bagi kita saat ini. PD I bermula dan berlanjut "bukan sebagai bagian kecil, karena 'manusia telah melupkan Allah' " kata Weigel mengutip penulis Rusia, Aleksandr Solzenitsyn.
Dunia Eropa selama perang, lanjutnya, merupakan salah satu "yang melaluinya dipercaya secara luas bahwa orang-orang Eropa, para ahli peradaban maju dunia, dapat menciptakan dunia dan masa depan tanpa Allah-nya Kitab Suci." Namun apa yang sebenarnya mereka buktikan, katanya, "adalah bahwa mereka dapat membangun dunia melawan sesama di antara mereka, yang merupakan dunia tanpa masa depan."
Weigel menyampaikan Kuliah tahunan William E. Simon -di mana Ethics and Public Policy Center menjadi tuan rumah- pada 6 Februari di Washington D.C.
Apa yang disampaikannya fokus pada peran penting yang dimiliki PD I dalam mempelajari abad 20. Dikenal sebagai "Perang BEsar" katanya, PD I merupakan peristiwa signifikan tidak hanya dilihat dari cakupan global yang tidak pernah ada sebelumnya dan hilangnya nyawa, tetapi juga karena perang tersebut "secara gambar virtual (merupakan) segala dinamika yang bertanggung jawab dalam membentuk sejarah dunia dan budaya antara Agustus 1914 dan Agustus 1991".
Perang tersebut, yang diikuti lebih dari 65 juta tentara, meletupkan baik "tindakan besar valor" dan kekejaman seperti penggunaan gas beracun yang "menimbulkan pertanyaan etis yang mendalam tentang perang, nasionalisme, dan penilaian moral dalam urusan politik dan militer," kata Weigel.
Penafsiran terhadap perang telah memiliki rentang dari "tindakan kasat mata pembunuhan peradaban yang tidak dapat dimengerti" hingga "sebuah karya kekejaman penting yang harus dilakukan untuk mencegah militerianisme Jerman mendominasi Eropa secara politis maupun ekonomis," cermatnya.
Ketika pertanyaan mengapa perang tersebut bermula, menjadi perdebatan di berbagai buku, akademisi itu berkata, "saatnya untuk mempertimbangkan pertanyaan yang berbeda, jarang dieksplorasi namun tak kalah penting: 'mengapa Perang Besar berlanjut'?" Pada awal perang, "ada lebih dari cukup yang harus disalahkan," jelasnya, menunjuk pada pembunuhan Putra Mahkota Austria Franz Ferdinand oleh seorang radikalis Serbia, Gavrilo Princip, sebagai peristiwa pemicu perang, melalui berbagai aliansi dan salah perhitungan yang terjadi di seluruh benua Eropa.
Nasionalisme Serbia yang intens, kegagalan diplomatik Austria, hubungan volatile yang sudah terjalin antara Jerman dan Rusia, aliansi Perancis dan Rusia dan instabilitas di Inggris Raya, turut memiliki andil dalam tenggelamnya Eropa ke dalam perang global, tambahnya.
Bagaimanapun, berlanjutnya perang, kata Weigel, lebih merupakan produk standoff ideologis ketimbang persaingan militer, mengingat dapat terlihat dengan segera bahwa "tidak mungkin menang dengan cepat; dan sebuah perang attrition menjadi tak terhindarkan, ideologi yang menuntun Eropa juga membawa negara-negara terus berkonflik dan menumpahkan darah.
Salah satu kekuatan yang paling berpengaruh adalah teori evolusi Charles Darwin, yang "nampaknya mempengaruhi politik seperti halnya ilmu pengetahuan dan agama," ujarnya sambil menjelaskan bahwa "Xenofobia dan teori-teori rasisme bangsa" lahir dari Sosio-Darwinisme, mewarnai konflik dengan bobot perang yang lebih besar demi kemenangan ras.
Salah pemahaman akan teori ilmiah melebur dengan "irrasionalisme (Friedrich Nietzche) dan pernyataannya tentang matinya Tuhan, catatannya akan regenerasi melalui penghancuran, dan mungkin, di atas segalanya, perayaannya akan kehendak untuk berkuasa," tambah akademisi tersebut.
Hasil kombinasinya adalah perspektif "lethal" yang menafsirkan penyebab-penyebab teknologi militer mutakhir PD I debagai "bukti kehendak untuk memperpanjang penderitaan dan kehilangan," dan dengan demikian kehendak untuk bertahan dan menang, katanya.
Xenofobia dan fatalisme sejarah ditambahkan pada "memakan bulat-bulat kehormatan yang telah lama membentuk politik Eropa dan warmaking", dan menemukan kembali ide akan kehormatan untuk menjalankan kekejaman yang lebih besar.
Erosi restraint ini mendapat mengaruh besar dari penolakan "otoritas agama tradisional" yang dihormati tidak hanya sebagai "struktur-strukutur otoritas dalam berbagai gereja" tetapi terbangun dalam "konsep Kristen terhadap kondisi manusia dan kehidupan moral," jelas Weigel.
Ide postivisme didasarkan pada apa yang dapat diajarkan sains secara empiris, subyektivitas pengalaman manusia, dan materialisme yang menolak spiritualitas yang kemudian dicampur dengan "kehendak untuk berkuasa" nya Nietzsche, katanya mengesampingkan "pemahamam biblis dan teologis apapun tentang kehidupan publik dan tanggung jawab politis."
Pada saat yang sama, penekanan yang terus terjadi terhadap harga diri bangsa, bahkan di dalam gereja-gereja, menggantikan pemahaman budaya yang sudah berabad-abad tentang pribadi manusia, dan asal serta takdir umat manusia, yang telah mengikat otoritas politik kepada otoritas yang lebih tinggi.
"Jadi," tambahnya, "dunia yang dikecewakan mengarah pada ketidakmanusiawian dalam skala yang tak terbayangkan sebvelumnya pada Perang Dunia - dan kemudian bahkan melahirkan kengerian yang lebih parah dalam komunisme dan sosialisme nasionalis Jerman."
Dunia modern memiliki banyak hal yang dapat dipelajari dari PD I, Weigel mengingatkan. Dengan memelajari Perang Besar, kita dapat melihat konsekuensi yang dihasilkan dari erosi budaya Kristianitas.
Ketika dunia yang berpusatkan pada Tuhan digantikan oleh nasionalisme, Sosio-Darwinisme, dan 'kehendak untuk berkuasa, sebuah perasaan ngeri muncul, "yang di dalamnya sebuah bangsa menjadi tidak manusiawi". Ide-ide yang melatarbelakangi Perang Dunia I memainkan "peranan penting dalam menciptakan kondisi moral dan budaya bagi kemungkinan (meletusnya) Perang Besar," Weigel menekankan, dna studi terhadap ide-ide tersebut menawarkan "pelajaran-pelajaran yang dapat direnungkan selama ratusan tahun dan seterusnya."
Sumber:
http://vassallomalta.wordpress.com/2014/02/11/materialism-rejection-of-christianity-factors-in-world-war-i-2/
Sumber:
http://vassallomalta.wordpress.com/2014/02/11/materialism-rejection-of-christianity-factors-in-world-war-i-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar