Paus Fransiskus Sebagai Aktor Diplomatik Utama Takhta Suci Melakukan Dialog dengan Negara Islam |
Gereja Katolik merupakan institusi
barat tertua (berusia hampir 2000 tahun) yang terorganisasi dengan sangat
teratur. Ukurannya yang sangat besar dan jangkauannya yang seluas dunia melalui
berbagai jaringan seperti Gereja Partikular (Keuskupan ataupun Eparkhi),
perwakilan apostolik (nuncio –setingkat duta besar), tarekat religius (ordo,
kongregasi, serikat), sekolah, rumah
sakit, dan lembaga sosial lainnya, membuat diplomasi yang dijalankan Takhta
Suci sangat kompleks. Takhta Suci, sebagai institusi/entitas pertama dalam
sejarah yang mengirimkan misi diplomatik, memiliki empat aktor diplomatik
penting, yaitu:
a. Paus
Dalam
pelayanan di muka bumi selama kurang lebih tiga setengah tahun, Yesus Kristus
memilih dua belas rasul, tetapi Ia memandatkan kepemimpinan atas Gereja Katolik
hanya kepada Rasul Petrus, yang kemudian menjadi Uskup Roma. Kegiatan pelayanan
Petrus sebagai Rasul dan Uskup Roma akhirnya dengan setia diteruskan oleh para
Paus sebagai penerus yang sah dari jabatan Uskup Roma. Kegiatan pelayanan ini
merembes masuk ke dalam lingkup peran Paus yang lain, yaitu sebagai Gembala
Gereja Universal, Wakil Kristus, Kepala Dewan Para Uskup, Kepala Negara Kota
Vatikan, dan akhirnya sebagai Kepala Diplomat Takhta Suci sendiri. Tokoh
utama dalam diplomasi Takhta Suci tak lain adalah Paus sendiri. Ia
melakukan karya pastoral, lawatan ke penjuru dunia, menghadiri
pertemuan-pertemuan, memberikan ceramah-ceramah yang menginspirasi para
pemimpin negara, mendorong berbagai inisiatif sosial, dan menantang sistem atau
ideologi yang mengancam martabat manusia dan perdamaian dunia.
Paus
memberikan arahannya kepada Kuria Roma, yang mencakup Sekretariat Negara yang
bertindak atas namanya dan melalui otoritas yang ada padanya. Paus dapat
melakukan apa yang disebut dengan internal legation, yaitu mengirimkan
utusan kepada Gereja lokal, ataupun external legation, yaitu mengirimkan
utusan yang tunduk pada norma hukum internasional kepada negara-negara di dunia.
Setiap Paus memiliki metoda sendiri dalam menjalankan peran diplomasi. Dalam hal ini, Paus Yohanes Paulus II
merupakan contoh yang mencolok. Semenjak pelantikannya sebagai Paus pada 16
Oktober 1978, ia melakukan lawatan ke lebih dari 80 negara. Pada masa akhir
kepausannya, yaitu pada April 2005, Paus Yohanes Paulus II tercatat telah
menambah jumlah perwakilan diplomatik hingga mencapai total 174 perwakilan
diplomatik. Ia juga menerbitkan 14 ensiklik (surat edaran), 14 anjuran
apostolik, 45 surat apostolik, 31 motu
proprio, dan 3.288 pidato pada perjalanan lawatannya ke 129 negara di dunia.
Paus Yohanes Paulus II merupakan Paus kedua setelah Paulus VI yang memberikan
ceramah di depan Sidang Umum PBB, dan ia melakukannya sebanyak dua kali yaitu
pada tahun 1979 dan 1995.
b. Sekretariat Negara
Sekretariat
Negara merupakan salah satu dikasteri (atau dalam istilah lazim: ‘departemen’)
yang dimiliki Kuria Roma. Sekretariat Negara didirikan baru pada abad ke-15,
dan sejak saat itu terus berevolusi ke arah lebih baik seturut kebijakan Paus.
Pada 28 Juni 1988, Paus Yohanes Paulus menerbitkan Konstitusi Apostolik Pastor
Bonus yang membagi Sekretariat Negara ke dalam dua seksi, yaitu Seksi
Urusan Umum yang mengurus urusan internal Gereja, dan Seksi Hubungan dengan
Negara-negara yang mengurus hubungan diplomasi antara Takhta Suci dengan
negara-negara di dunia. Pimpinan Sekretaris Negara adalah seorang imam bertitel
Kardinal Sekretaris Negara, dan dikarenakan fungsi internal dan eksternal yang
dimiliki Sekretaris Negara, maka posisi Kardinal Sekretaris Negara dalam
konteks umum ketatanegaraan, memiliki fungsi jabatan seperti halnya Perdana
Menteri yang merangkap Menteri Luar Negeri.
i. Seksi Urusan Umum
Seksi ini
dipimpin oleh seorang Uskup Agung bertitel Substitut Urusan Umum dan didampingi
oleh seorang Prelat bertitel Assesor Urusan Umum. Seksi yang disebut juga Seksi Pertama ini memiliki tugas pokok
fungsi (tupoksi):
- Membantu tugas keseharian Paus, dan melakukan koordinasi dengan dikasteri lain seperti Kongregasi (setingkat ‘kementerian’), Dewan Kepausan, Tribunal (pengadilan gerejawi), dan kantor administratif tanpa mengabaikan otonomi yang dimiliki masing-masing dikasteri tersebut.
- Mengawasi agen komunikasi resmi Takhta Suci. (Menerbitkan Acta Apostolicae Sedis –semacam Lembar Negara dalam konteks kepemerintahan negara RI dan Annuario Pontificio, mengawasi L’Osservatore Romano (surat kabar resmi Takhta Suci), Stasiun Radio Vatikan dan Stasiun Televisi Vatikan atas dasar konsultasi dengan Seksi Hubungan dengan Negara-negara.
- Menyebarluaskan teks kepausan seperti Surat Apostolik, Konstitusi Apostolik, Dekret,.Surat Gembala, dan dokumen-dokumen lain yang dipercayakan oleh Paus.
- Menyiapkan dokumen-dokumen yang digunakan dalam pertemuan-pertemuan tingkat tinggi antara Takhta Suci dan Kuria Roma ataupun dengan institusi lain.
- Melakukan regulasi atas tugas dan aktivitas utusan (legatus) Takhta Suci, terutama menyangkut hubungan mereka dengan Gereja lokal.
- Memperhatikan keperluan para duta besar negara-negara yang diakreditasi ke Takhta Suci.
- Dengan terlebih dulu berkonsultasi dengan dikasteri yang berkompeten, mewakili Takhta Suci dalam aktivitas dengan organisasi internasional termasuk organisasi internasional Katolik.
ii. Seksi Hubungan
dengan Negara-negara
Seksi ini
disebut juga Seksi Kedua, dan
pertama kali didirikan oleh Paus Pius VI pada 28 Mei 1793 melalui Konstitusi Sollicitudo
Omnium Ecclesiarum dan sempat dinamakan Kongregasi Super Negotiis Ecclesiasticis Regni Galliarum, yang berfungsi utama
untuk menangani masalah-masalah yang dihadapi Gereja Katolik pasca Revolusi
Perancis. Pada tahun 1814, Paus Pius VII meluaskan cakupan badan ini dan
menamakannya Congregatio Extraordinaria
Praeposita Negotiis Ecclesiasticis Orbis Catholici. Kemudian Paus Leo XII
(1823-1829) emudian mengubah nama badan ini menjadi Congregatio Pro Negotiis Ecclesiasticis Extraordinariis dan
bertahan dengan nama ini hingga tahun 1967 ketika Paus Paulus VI memisahkan
badan ini dari Sekretariat Negara dan menamakannya Dewan Urusan Publik Gereja.
Pada Juni 1988, Paus Yohanes Paulus II mengubah nama badan ini menjadi Seksi
Hubungan dengan Negara-negara.
Seksi ini
memiliki tupoksi:
- Bertindak sebagai penasihat kebijakan dan badan penerapan kebijakan.
- Bertanggung jawab atas hubungan diplomasi Takhta Suci dengan negara maupun entitas lain di bawah ketentuan hukum internasional.
- Menangani masalah-masalah yang melibatkan pemerintah sipil, seturut artikel 45-47 Pastor Bonus. (Termasuk pembuatan konkordat yang mengedepankan kepentingan Gereja dan masyarakat sipil.)
- Bersama dengan dikasteri yang berkompeten lainnnya, mewakili Takhta Suci dalam berbagai pertemuan di tingkat organisasi internasional.
- Bertanggung jawab mendukung utusan (legatus) kepausan dalam menjalankan tugas mereka.
- Dalam kondisi khusus jika diperintahkan oleh Paus, setelah terlebih dulu berkonsultasi dengan dikasteri yang relevan, mendampingi komunitas Gereja lokal dalam hal penunjukkan Uskup dan pembentukan Gereja Partikular atau kelompok Gereja Partikular.
c. Legatus Pontificius (Duta Kepausan)
Istilah
‘legatus’ yang dalam bahasa Latin berarti utusan, dan secara umum diterapkan
kepada semua orang yang mengemban tugas perutusan dari Takhta Suci, entah itu
diutus ke Gereja Partikular (baca:Keuskupan ataupun Eparkhi) ataupun ke
negara-negara. Dalam konteks ketatanegaraan umum, para legatus yang diutus ke
negara-negara lah yang akhirnya disebut ‘diplomat Vatikan’ atau ‘diplomat
Takhta Suci’
Dari
sudut pandang Gereja Katolik, yang dapat dicermati dari KHK 364 dan motu proprio Sollicitudo Omnium Ecclesiarum,
perutusan ke Gereja Partikular (baca:Keuskupan ataupun Eparkhi) untuk alasan
pastoral menjadi prioritas. Beberapa tugas
legatus bersumber pada prinsip pokok yang tercantum dalam KHK 364, yaitu bahwa fungsi pokok legatus adalah untuk
memperkuat hubungan antara Takhta Suci
dan Gereja lokal.
Walaupun
legatus berperan sebagai utusan Takhta Suci, namun keberadaannya bukan berarti
mengabaikan otoritas Uskup lokal. Sehubungan dengan hal tersebut, Sollicitudo
Omnium Ecclesiarum menjabarkan sebagai berikut:
Perwakilan Kepausan memiliki tugas untuk membantu,
memberikan nasihat, menyediakan dukungan yang segera dan murah hati, dalam
semangat kolaborasi persaudaraan, dengan selalu menghormati pelaksanaan
yurisdiksi yang sepatutnya oleh para Uskup. Dalam hal konferensi episkopal,
Perwakilan Kepausan akan selalu mencamkan dalam pikiran (mereka) kepentingan
yang pokok dari tugasnya, dan kebutuhan yang konsekuen untuk menjaga hubungan
dekat dengan mereka dan menawarkan setiap bantuan yang mungkin kepada mereka.
Walaupun sementara bukanlah anggota dari Konferensi, ia (Perwakilan Kepausan)
akan hadir di setiap sesi pembuka setiap pertemuan umum, dan akan
berpartisipasi lebih lanjut dalam tindakan-tindakan lain dalam Konferensi atas
undangan para Uskup, atau atas perintah eksplisit dari Takhta Suci. Ia
(Perwakilan Kepausan) juga akan diberi informasi, dalam waktu yang tepat, akan
agenda pertemuan dan akan menerima salinan transkrip untuk informasi bagi
dirinya sendiri dan mengirimkannya ke Takhta Suci.
Fungsi sekunder legatus adalah membangun
dan menjaga relasi antara Takhta Suci dan negara tempat tinggalnya. Dalam hal external
legation ini, tugas legatus atau “Diplomat Takhta Suci” dijabarkan dalam
KHK 364. Dalam banyak hal, aktivitas diplomatik yang dijalankan tak ubahnya
aktivitas diplomatik yang dijalankan negara/entitas lain. Namun demikian
para diplomat Takhta Suci menjalankan tugasnya setelah terlebih dahulu
berkonsultasi dengan Uskup yang memegang yurisdiksi gerejawi lokal. Mereka juga
harus selalu menginformasikan kepada Uskup lokal hal ikhwal pelaksanaan tugas
mereka.
Relasi
antara para legatus dan para Uskup, dan juga relasi antara para legatus dengan
konferensi episkopal merupakan hal yang penting sekaligus pelik. Di satu sisi,
legatus harus bekerja sama erat dengan Uskup, dan di sisi lain juga dengan
Konferensi Episkopal.
Legatus kepausan harus tidak menciptakan kesan bahwa
posisi mereka berada di atas Uskup. Mereka
juga tidak diperkenankan menekan atau mencoba melakukan kontrol atas Keuskupan,
melainkan Takhta Suci mendorong mereka untuk menjadi sarana kesatuan, yang
membimbing dan mendukung karya para Uskup dan melindungi mereka dari kekejaman
ataupun kesalahpahaman negara setempat.
Dalam hal
klasifikasi legatus, KHK tidak melakukan pengurutan posisi legatus, melainkan
hanya menggolongkan mereka semua sebagai “duta kepausan”. KHK hanya membedakan
legatus yang diutus Paus kepada Gereja Partikular, negara ataupun otoritas
publik. Selain itu ada pula “delegatus atau observer” yang ditujukan bagi badan
internasional, konferensi-konferensi ataupun pertemuan lainnya.
Namun
demikian, Sollicitudo Omnium Ecclesiarum dengan lebih rinci melakukan
klasifikasi atas para legatus, yaitu Delegatus Apostolik, Nuncio, Pro-Nuncio,
Inter-Nuncio, Regent, Chargé d’Affaires, Delegatus dan Observer.
i. Nuncio Apostolik
Dalam
dunia diplomasi, konvensi yang dianggap sebagai acuan adalah Konvensi Wina
tentang Hubungan Diplomatik (Vienna
Convention on Diplomatic Relations) tahun 1961. Konferensi tersebut
meneguhkan peringkat diplomatik (diplomatic rank) Nuncio Apostolik
sebagai Ambassador Extraordinary and
Plenipotentiary yang dalam istilah teknis diplomasi Indonesia dipadankan
menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (Dubes LBBP). Nuncio Apostolik ini diakreditasi ke negara-negara yang menjalin hubungan diplomatik
dengan Takhta Suci.
Nuncio,
seturut asal-usul etimologi latin, yaitu Nuntius, yang berarti “penyampai
pesan”. Dengan demikian Nuncio adalah penyampai pesan Paus dan pembawa panji-panji
Injil. Dalam konvensi Wina, kata ‘Nuncio’ tidak diganti menjadi ‘Duta Besar’
(walaupun memiliki diplomatic rank
yang setara), melainkan disebutkan tersendiri untuk menggarisbawahi perannya
sebagai perwakilan Paus. Posisi Nuncio Apostolik diisi oleh imam yang sudah
menerima Tahbisan (jenjang) Episkopat (tahbisan yang membuat seorang imam
menjadi seorang Uskup) dan menerima titel Uskup Titular tertentu (Lazimnya,
seorang Uskup memiliki yurisdiksi wilayah gerejawi, dengan “titular”
dimaksudkan bahwa wilayah yurisdiksinya hanyalah nama dan tidak harus
berkonotasi geografis).
Pada
tahun 1965 hingga sekitar 1991, berdampingan dengan istilah Nuncio Apostolik,
dikenal pula istilah Pro-Nuncio Apostolik. Penggunaan awalan “Pro”
mengindikasikan bahwa posisi ini memiliki diplomatic
rank setingkat Duta Besar, namun demikian ia diakreditasikan ke negara yang
secara de iure tidak memasukkan
Nuncio sebagai bagian dari Korps Diplomatik. Istilah “Pro-Nuncio Apostolik” ini
saat ini tidak lagi digunakan.
Ada pula
istilah lainnya, yaitu Inter-Nuncio Apostolik. Posisi ini tidak memiliki diplomatic rank sebagai mana yang diakui
oleh Konvensi Wina dalam hal Nuncio Apostolik. Inter-Nuncio diutus ke negara/entitas
yang sukar menerima keberadaan Nuncio Apostolik karena satu dan lain hal.
Dua
istilah lain yang disebutkan dalam Sollicitudo Omnium Ecclesiarum yaitu
Regent dan Chargé d’Affaires. Regent
merupakan perwakilan yang ditunjuk ketika dinilai bahwa kekosongan jabatan Head of Mission (dalam dunia diplomasi istilah
ini ditujukan bagi siapapun yang berada pada posisi tertinggi dalam sebuah
perwakilan) akan berlangsung lama, namun Takhta Suci ingin menekankan sifat
permanen dari perwakilannya yang kelak ditunjuk. Chargé d’Affaires merupakan pejabat sementara sebelum Nuncio
Apostolik yang baru resmi ditunjuk dan ditempatkan di suatu negara.
ii. Delegatus Apostolik
Delegatus
Apostolik mewakili Paus hanya kepada Gereja lokal karena negara tempat Gereja
tersebut tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Takhta Suci. Delegatus
Apostolik memiliki peringkat jabatan gerejawi (ecclesiastical rank)
setingkat Nuncio tetapi tanpa diplomatic
rank sebab bukan diakreditasi ke negara.
iii. Delegatus ataupun Observer
Delegatus
ataupun Observer merupakan perwakilan
Takhta Suci untuk lembaga internasional maupun berbagai konferensi. Jika ia
memiliki hak suara, maka ia disebut Delegatus, jika tidak memiliki hak suara
disebut Observer. Sekalipun Observer tidak memiliki hak suara,
tetapi kehadiran seorang Observer seringkali mencerminkan pentingnya sebuah event bagi Tkahta Suci. Takhta Suci mulai mengirimkan Permanent Observer ke PBB pada tahun
1964 pada masa kepemimpinan Paus Paulus VI.
d. Kuria Roma
Setiap
Keuskupan di dunia memiliki apa yang disebut Kuria. Namun demikian Kuria Roma
merupakan Kuria yang kompleks dibandingkan dengan Kuria keuskupan lainnya,
tentunya mengingat Kuria ini mengurus
administrasi dan birokrasi keuskupan yang utama dalam Gereja Katolik, yaitu
Keuskupan Roma. Kuria Roma dapat dikatakan merupakan pusat administrasi Gereja
Katolik. Kuria hanya memiliki kuasa yang diberikan Paus padanya, dan merupakan
tugas Kuria unutk menjalankan agenda Paus. Kuria
Roma terdiri 9 kongregasi (dalam konteks ketatanegaraan, kongregasi dapat
dikatakan setingkat Kementerian), 11
dewan kepausan, 3 tribunal, Sekretariat Negara, dan beberapa badan lainnya.
Unit kerja dalam Kuria ini lazim disebut dikasteri, yang dipimpin oleh seorang
imam bertitel Presiden ataupun Prefek. Seperti halnya hubungan antara
Konferensi Uskup dan legatus kepausan, hubungan antara Kuria Roma dan
Konferensi-konferensi Uskup dapat menjadi tegang apabila salah satu pihak
mencoba mengontrol yang lain. Setidaknya ada 3 dewan kepausan yang
berperan penting dalam memajukan diplomasi Takhta Suci dengan negara-negara
Islam, yaitu:
i. Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian
Seperti
yang tersirat dari nomenklaturnya, tujuan utama dewan kepausan ini adalah untuk
memajukan keadilan dan perdamaian dunia yang selaras dengan Injil dan Ajaran
Sosial Gereja. Pimpinan Dewan Kepausan dijabat oleh seorang imam bertitel
Presiden, yang didampingi oleh seorang sekretaris yang adalah seorang imam dan
sekretaris bawahan yang juga adalah seorang imam. Paus menunjuk pejabat-pejabat
tersebut untuk periode lima tahun. Dewan kepausan ini juga memiliki staf yang
terdiri dari kaum awam, imam, dan kaum religius (biarawan/wati) dari berbagai
negara, dan Paus juga menunjuk lebih kurang 40 anggota dan penasihat yang
menjabat selama lima tahun.
Tupoksi
Dewan Kepausan ini:
- Mengumpulkan informasi dan melakukan riset berkaitan dengan keadilan dan perdamaian, pengembangan kemanusiaan, pelanggaran HAM, kemudian membagikan kesimpulannya kepada para Uskup di seluruh dunia.
- Menjalin hubungan dengan badan internasional Katolik maupun non-Katolik dan institusi lainnya untuk memperjuangkan perdamaian dan keadilan di dunia. Dewan kepausan ini “membentuk mental manusia yang memajukan perdamaian, utamanya pada saat Hari Perdamaian Sedunia.”
- Bekerja sama dengan Sekretariat Negara dalam menangani dokumen publik dan pengumuman-pengumuman berkaitan dengan isu perdamaian dan keadilan.
- Berkolaborasi dengan Sekretariat Negara, melakukan kontak dengan PBB dan badan-badan khususnya.
- Mementingkan konferensi-konferensi internasional yang berkaitan dengan pembangunan, populasi, lingkungan, perdagangan internasional maupun HAM.
- Bekerja sama dengan organisasi regional seperti Uni Eropa dan melakukan kontak pertukaran dengan organisasi non-pemerintah yang mendalami bidang serupa.
- Membantu para korban pelanggaran HAM dan berbicara atas nama Takhta Suci di berbagai fora, bertindak sebagai diplomat tak resmi. Misalnya, pada Desember 1986, Paus Yohanes Paulus II mengutus Kardinal Roger Etchegaray, yang kelak menjadi Presiden Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, untuk mengunjungi tahanan perang di Iran dan Irak. Pada Malam Natal, kardinal tersebut menyampaikan pesan pribadi Paus pada kepala negara Iran dan Irak, dan mengadakan tatap muka dengan 3000 tahanan perang di Kahrizah dekat Tehran. Pada Natal pagi, ia memersembahkan Misa di Tehran bagi 300 tahanan Kristen. Pada awal Januari 1987, kardinal tersebut mengadakan pertemuan serupa dengan tahanan perang berkebangsaan Iran di Irak. Pendek kata, Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian menjadi sarana ketika diplomasi konvensional tidak bisa berfungsi.
ii. Dewan Kepausan untuk Budaya
Tujuan
utama Dewan Kepausan ini adalah untuk memperkuat hubungan antara Takhta Suci
dengan kebudayaan manusiawi. Dewan Kepausan ini memiliki struktur yang khas.
Dipimpin oleh seorang imam bertittel Presiden yang didampingi oleh dewan
penasihat, dan dewan lainya yang terdiri dari para pakar dari berbagai disiplin
ilmu.
Tupoksi Dewan
Kepausan ini:
- Memajukan komunikasi dengan institut pembelajaran dan pengajaran agar budaya sekular menjadi lebih terbuka terhadap Injil.
- Terlibat dalam “proyek-proyek lainnya yang mengena” dengan kebudayaan serta memberikan dampingan pada institusi lainnya yang bekerja sama dengan Gereja.
- Menunjukan kepedulian pastoral juga kepada mereka yang tidak percaya akan Allah dan tidak mengimani agama apapun. (Hal ini menjadi tugas dewan kepausan ini sejak Paus Yohanes Paulus II menerbitkan motu proprio pada 25 Maret 1993 yang menyatukan Dewan Kepausan untuk Budaya dengan Dewan Kepausan untuk Kaum Tidak Bergama). Dewan Kepausan ini membangun dialog dengan atheis dan mereka yang tidak memeluk agama, memajukan studi tentang pandangan-pandangan mereka “sehingga pendampingan yang cocok dapat diberikan sebagai karya pastoral.
- Bekerja sama dengan Sekretariat Negara untuk memajukan misi pokoknya di berbagai negara dan badan internasional
iii. Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama
Semula,
Dewan Kepausan ini memiliki nomenklatur Sekretariat untuk Non-Kristen, namun
kemudian diubah oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1988. Keberadaan Dewan
Kepausan ini mencerminkan prioritas pasca Konsili Vatikan II yang mengedepankan
dialog aktif dengan pemeluk agama non-Kristen, dan kemudian dengan siapa saja “yang
dianugerahi perasaan religius”.
Dewan ini
memiliki tiga badan: pengambil keputusan, penasihat, dan eksekutif. Badan pengambil keputusan beranggotakan
lebih kurang 30 kardinal dan uskup dari berbagai belahan dunia. Mereka bertemu
dua atau tiga tahun sekali dalam pertemuan pleno untuk membahas isu-isu penting
dan menetapkan pedoman kerja bagi dewan kepausan. Badan penasihat beranggotakan sekitar 50 penasihat yang disebut consultor dan merupakan spesialis di
bidang studi agama atau praktisi dialog antaragama dari berbagai belahan dunia.
Merka mendampingi Dewan Kepausan melaui riset, informasi, dan masukan. Para consultor bertemu secara periodik,
biasanya dengan para kolega yang memiliki fokus pada benua yang sama. Badan eksekutif terdiri staf permanen
yang ditempatkan di Vatikan dan terdiri dari Presiden, sekretaris bawahan,
kepala biro Islam, anggota staf untuk Afrika dan Asia, seorang anggota staf
untuk gerakan agama baru, seorang asisten administratif, dan staf pembantu.
Dewan Kepausan
untuk Dialog Antaragama memiliki komisi khusus untuk membangun hubungan dengan
kaum Muslim. Komisi ini terdiri dari seorang Presiden, Wakil
Presiden, dan Sekretaris. Komisi ini juga memiliki 8 consultor yang mendampingi mereka. Komisi ini memelajari berbagai
aspek hubungan antara agama Kristen dan Islam.
Presiden
Dewan Kepausan ini bertugas menerbitkan ucapan selamat Idul Fitri kepada kaum
Muslim di seluruh dunia. Lazimnya, ia mengirimkan ucapan selamat ini kepada
seluruh Uskup di dunia yang kemudian membagikannya ke Keuskupan Agung ataupun
Eparkhi Agung.
Tupoksi Dewan
Kepausan ini:
- Mendorong dialog dan bentuk hubungan lainnya yang dijalin dengan umat beragama lain.
- Memajukan studi dan konferensi yang memperkaya informasi dan membangun kepercayaan diri kedua belah pihak.
- Melatih mereka yang terlibat dalam dialog antaragama atas nama Takhta Suci.
- Memberikan hibah bagi umat beragama lain yang ingin memelajari Kristianitas melalui Nostra Aetate Foundation.
- Menerima para pemimpin agama undangan untuk melakukan dialog dengan para staf.
- Menemui para Uskup yang datang ke Roma dalam rangka kunjungan lima tahunan yang disebut ad-limina.
- Mengunjungi Gereja lokal agar menjadi familiar dengan situasi lokal dan mendorong terjadinya dialog.
- Mengundang pemuka agama lain untuk meajukan saling pengertian dan kerja sama.
- Menjalin hubungan dengan World Council of Churches yang merupakan himpunan komunitas gerejawi Protestan tingkat dunia.
- Melakukan konsultasi dengan Kongregasi Ajaran Iman, Kongregasi Gereja-gereja Timur,, dan Kongregasi Evangelisasi ketika menangani masalah yang membutuhkan konsultasi kongregasi-kongregasi tersebut.
- Mengatur dan berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan bilateral maupun multilateral di semua level. (Misalnya pada waktu Paus Yohanes Paulus II ingin melakukan pertemuan dengan para pemuka agama dalam lawatannya ke negara-negara).
- Menerbitkan buletin empat bulanan Pro Dialogo yang memuat artikel dialog antaragama, jadwal dialog yang akan dilangsungkan di seluruh dunia, dan artikel-artikel lain.
Disertasi dengan judul Diplomatic Activity in Service of Papal Teaching: The Promotion of Religious Freedom in Relation with Selected Islamic States Durung the Pontificate of John Paul II oleh Jaclyn O'Brien McEachern, Catholic University of America
sangat menarik mengenali seluk beluk negara Tahta Suci
BalasHapus