Takhta Suci - RRT- Republik Tiongkok (Taiwan)


Our Lady of China, please pray for the relations of the Holy See with Beijing and Taipei!

 Takhta Suci - RRT- Republik Tiongkok (Taiwan): Hubungan yang Asam Manis Asin

Setelah partai Komunis mendeklarasikan terbentuknya Republik Rakyat Tiongkok, partai demokratik Kuomintang kemudian membangun kekuasaan politik berhaluan demokrasi di sebuah pulau yang kemudian dikenal dengan nama Taiwan. Menanggapi hal ini, pemerintah RRT dalam Program Umum artikel 56 menegaskan bahwa 
 "Pemerintah Pusat Republik Rakyat Tiongkok, didasarkan atas kesetaraan, (prinsip) saling menguntungkan, dan saling menghormati terhadap wilayah dan kedaulatan,  dapat bernegosiasi dengan pemerintah asing yang berhubungan baik dengan klik reaksioner Nasionalis, dan yang mengdopsi sikap persahabatan dengan Republik Rakyat Tiongkok, dan dapat menjalin hubungan diplomatik dengan mereka."
Sejak pendeklarasian berdirinya RRT dan Repulik Tiongkok ini, hubungan Takhta Suci dengan keduanya diwarnai ketegangan. Pada tahun 1971, sesaat sebelum RRT diterima ke dalam keanggotaan PBB, Takhta Suci menarik kembali Nuncionya dari Taiwan, dan membiarkan jabatan itu kosong. Hal ini meninggalkan sentimen negatif bagi Taiwan, dan sementara itu juga tidak berdampak positif bagi hubungan Takhta Suci dan RRT.

Dipicu oleh penarikan pasukan militer AS dari Taiwan pada tahun 1978, yang membuat AS memutuskan untuk tetap menjalin hubungan diplomatik dengan RRT dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan (namun mempertahankan hubungan ekonomi dengan Taiwan), banyak negara yang meninjau kembali hubungannya dengan RRT maupun Taiwan. Takhta Suci adalah salah satu entitas di antara banyak negara yang memutuskan untuk tetap menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan.

Seiring perjalanan waktu, Republik Tiongkok atau Taiwan, memang mencapai taraf perkembangan yang pesat di berbagai bidang. Negara ini juga berhasil memajukan demokrasi berpolitik. Rombongan imam Gereja Katolik tiba di sana untuk pertama kalinya pada tahun 1626 dan disambut hangat oleh penduduk setempat. Taiwan yang menjamin kebebasan beragama membuat umat Katolik di sana dapat hidup tanpa  mengalami penekanan.

Sementara itu, pada tahun 1992, dalam praktik hubungan internasional berhembus polemik konsensus "Kebijakan Satu Cina" (  一个中国 jika ditulis dengan kanji sederhana : 一個中國 jika ditulis dengan kanji tradisional dengan pinyin: yī gè Zhōngguó.) Kebijakan ini membuat negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik, baik dengan RRT maupun Taiwan, harus memilih satu di antaranya. Dalam praktiknya, konsensus ini dipegang teguh baik oleh RRT maupun Taiwan. Dalam hal RRT, negara ini juga menambahkan "Prinsip Satu Cina" (一中原則), yang menegaskan bahwa Taiwan merupakan bagian yang tak terpisah dengan RRT.  

Dalam kaitan dengan polemik konsensus tersebut yang murni politik, Takhta Suci berada dalam posisi serba salah. Hal ini dikarenakan misi Takhta Suci adalah sejalan dengan misi Gereja yaitu melayani semua orang, khususnya mereka yang mengalami penekanan. Bagi Takhta Suci, tujuan utama hubungan diplomatik dengan negara-negara adalah demi memperkuat keberadaan Gereja dan memajukan perdamaian dalam konteks internasional melalui dialog. Paus sealu ingin menjalin hubungan dengan negara manapun dengan tujuan menjadi dekat dengan mereka yang membutuhkan dan demi memajukan HAM.

Pada tahun 1996, Takhta Suci akhirnya memuntuskan untuk menaikkan derajat Inter Nunciature di Taiwan menjadi Nuncio. Walaupun demikian, Takhta Suci terus mengirimkan pesan persahabatan dengan RRT, seperti yang dilakukannya sejak Uskup Agung Antonio Riberi ditendang dari sana pada tahun 1951.

Tidak bisa dipngkiri, hubungan antara Takhta Suci dan Republik Tiongkok (Taiwan) yang terjalin dengan baik selama bertahun-tahun, disebabkan adanya kesamaan cita-cita dalam hal kemerdekaan, HAM, dan perdamaian dunia. Demokrasi dan HAM merupakan hal yang esensial bagi Takhta Suci sebagaimana pula bagi Taiwan.

Dalam hal kerja sama kemanusiaan, pada 14 Januari 1997, Presiden Republik Tiongkok Lee Teng Hui, menunjuk Wakil Presiden Lien Chan sebagai utusan khususnya untuk bertemu dengan Paus Yohanes Paulus II. Ketika itu, ia menyatakan dukungan pada Bapa Suci untuk perdamauan, dan atas nama pemerintahg Taiwan menghibahkan satu juta dolar AS bagi para pengungsi dan mereka yang membutuhkan.  Bapa Suci memutuskan untuk menyerahkan dana bantuan ini kepada Dewan Kepausan "Cor Unum" untuk proyek-proyek pembangunan kembali Bosnia Herzegovina dan untuk wilayah Great Lakes di Afrika. 

Dua tahun setelah peristiwa tersebut, Paus secara khusus mengutus Kardinal Jean Louis Tauran untuk menyatakan kepeduliannya atas bencana gempa bumi yang menimpa Taiwan pada 21 September 1999. Selama tiga hari berturut-turut, Radio Vatikan menyiarkan situasi di Taiwan, dan pada 26 September 1999, Paus Yohanes Paulus II dalam doa Angelus, berdoa secara publik bagi Taiwan. Ia menyampaikan,
"Pada hari-hari ini, pikiran saya melayang ke sesama terkasih di Taiwan, pada saat mereka memulihkan diri dari dampak tragis gempa yang terjadi baru-baru ini. Dengan kepedulian mendalam, saya menyerahkan para korban pada Allah yang Mahakuasa dan memohonkan penghiburan ilahi-Nya serta kekuatan atas mereka semua yang ditinggalkan. Demikian pula saya yakin bahwa komunitas internasional akan merespon dengan solidaritas yang segar dan siap mendampingi tugas mendesak bagi tanggap darurat dan pembangunan kembali."
Pada tahun 2002, yang merupakan peringatan tahun ke-60 hubungan diplomatik kedua entitas, Dr. Eugene Y.H.Chien, Menteri Luar Negeri ketika itu, menandaskan bahwa 
"Keberadaan kami di tengah arus utama demokrasi global, yang banyak terinspirasi dari tradisi Kristiani, telah meletakkan dasar yang kuat bagi jalinan persahabatan antara Taiwan dan Takhta Suci."
Pada tahun 2008, ketika Duta Besar Taiwan untuk takhta Suci menyampaikan credential letters, Paus Benediktus XVI menyatakan padanya bagaiamana Taiwan telah membuat kontribusi yang berharga bagi pembangunan dunia yang lebih stabil dan aman. Ia mengucapkan selamat pada Taiwan karena telah menjadi mitra misi Gereja:
"Pemerintah di Taipei, memiliki rasa kepemilikan yang besar terhadap komunitas dunia, keluarga umat manusia yang global. Hal ini telah diungkapkan melalui banyak cara, tidak kurang dalam kemurahan hati yang dengannya disediakan bantuan dan sarana penanggulangan situasi darurat bagi bangsa-bangsa yang lebih miskin (...) Takhta Suci senang dapat bekerja sama dengan mereka semua yang mempromosikan perdamaian, kesejahteraan, dan pembangunan, serta mengapresiasi komitmen Republik Tiongkok terhadap hal tersebut."
Hubungan baik Takhta Suci dan Taiwan terlihat kembali pada tahun 2009, Paus Benediktus XVI, mengikuti pendahulunya, memberikan bantuan pada Taiwan yang ditimpa bencana topan Morakot. Paus menggelontorkan dana sebanyak 50.000 dolar AS, dan ia merupakan Kepala Negara pertama yang mengirimkan dana bantuan untuk menolong para korban.

Selain hubungan bilateral yang berlandaskan rasa kemanusiaan, kedua entitas juga menandatangi berbagai perjanjian. Pada tahun 2009, pemegang paspor diplomatik dan paspor dinas Takhta Suci, dibebaskan dari visa masuk ke Taiwan. Dengan demikian mereka dapat melakukan kunjungan hingga 90 hari tanpa harus mengantongi visa. Sementara itu pemilik paspor biasa Takhta Suci, dapat tinggal tanpa visa di Taiwan selama paling lama 30 hari.

Terlepas dari penilaian apakah apresiasi Taiwan terhadap Takhta Suci, bernuansa politis atau tidak, dapat dipastikan hubungan ketiganya akan menghadapi polemik yang berkepanjangan. Sebenarnya beberapa cendekiawan menyarankan agar Takhta Suci dapat mencari langkah alternatif untuk menjaga hubungan dalam level keagamaan dengan Taiwan, melalui semacam "Olympic Formula". (Ini diambil dari analogi International Olympic Commitee (IOC) yang menerima kontingen RRT maupun Taiwan. Namun hal ini sepertinya mustahil, mengingat bahwa selama dekade terakhir, RRT tetap mengisyaratkan bahwa pemutusan hubungan diplomatik dengan Taiwan merupakan hal yang mutlak jika Takhta Suci ingin menjalin hubungan diplomatik dengan RRT.

Walaupun demikian, kita mungkin sepertinya dapat mengharapkan hubungan Takhta Suci-RRT-Taiwan akan membaik apabila Mateo Ricci digelar kudus (kanonisasi). Bagaimanapun, hubungan yang dijalin oleh Takhta Suci pada zaman Mateo Ricci adalah dengan Kekaisaran Tiongkok, yang dahulu sekali pernah menjadi tanda persatuan semua orang yang berdarah Tiongkok. Apabila kanonisasi terhadap Mateo Ricci jadi dilakukan, maka diharapkan akan membangkitkan sentimen positif antara warga negara RRT dan Taiwan. Pada gilirannya, hal ini akan berdampak postif pada normalisasi hubungan antar masing-masing keduanya dan antar keduanya dengan Takhta Suci sebagai "Satu Tiongkok". 

Our Lady of China, pray for us!

Bahan bacaan:
Tesis: The Diplomatic Relations Between The Holy See and the Republic of China from 1942 to 2012: History, Challenge, and Perspectives oleh Landry Vedrenne
Paper: Re-examine Sino-Vatican Relations, oleh Yi-En Tsu
www.princeton.edu dengan kata kunci One China Policy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar