Pada tahun 1715, hubungan Takhta Suci dan RRT (yang ketika itu masih berbentuk kekaisaran) memburuk sebagai dampak dikeluarkannya bulla Ex Illa Die yang dikeluarkan oleh Paus Klemens XI sebagai buntut kontroversi inkulturasi yang coba diterapkan oleh Mateo Ricci, seorang rohaniwan Yesuit yang bermisi di daratan Cina. Hubungan keduanya semakin memburuk ketika diproklamasikannya Republik Rakyat Tiongkok yang menandai dimulainya rezim komunis pada 1 Oktober 1949.
Berbeda dengan gereja-gereja Protestan yang dapat dengan mudah memisahkan diri dengan gereja induknya di Barat seperti yang dikehendaki oleh rezim komunis, Gereja Katolik di daratan Tiongkok mengalami kesulitan. Pasalnya, Gereja Katolik hingga saat ini, memadang bahwa pengakuan terhadap kepemimpinan Uskup Roma/Paus adalah hal yang sangat esensial, bahkan memiliki dimensi dogmatis. Para Uskup adalah penerus yang valid dan legitim dari jabatan dan fungsi kerasulan. Artinya, mereka semua memiliki jabatan yang setara dengan kelompok kedua belas rasul yang dibentuk oleh Yesus sendiri. Kesetiaan terhadap Uskup Roma/Paus ini berdampak pada terpecahnya Gereja Katolik di Tiongkok, yaitu umat Katolik terbagai menjadi umat yang tetap setia pada Uskup Roma/Paus dan lainnya adalah umat yang Katolik yang menerima campur tangan negara dalam kehidupan menggereja. Asosiasi Katolik Patriotik merupakan wadah umat Katolik yang cenderung loyal kepada negara.
Dilema yang dihadapi Gereja Katolik di daratan Tiongkok, diperparah dengan dikeluarkannya ensiklik yang mengutuk komunisme oleh Paus XII pada tahun 1958. Paus ini menuliskan bahwa masuknya komunisme ke daratan Tiongkok "melalui tipu daya dan upaya licik". Ia menuliskan bahwa Asosiasi Katolik Patriotik "di bawah penampilan patriotisme, yang pada kenyataannya merupakan penipuan.... bertujuan utama untuk membuat umat Katolik secara bertahap memeluk materialisme ateistik..." dan akhirnya "jika seorang Kristen secara nurani terikat untuk memberikan kepada Kaisar apa yang merupakan milik Kaisar (yakni otoritas manusiawi), maka Kaisar juga tidak dapat merumuskan dengan tepat (bentuk) ketaatan kapan mereka merebut hak Allah dan memaksa umat Kristen untuk memutuskan diri mereka sendiri dengan Gereja dan hierarki yang berkekuatan hukum. Dalam situasi apapun, setiap orang Kristen harus menyingkirkan segala keraguan, dan dengan teguh mengulang perkataan berikut: 'kita harus lebih taat kepada Allah daripada manusia' " Tulisan ini dianggap secara langsung mengancam keberadaan komunisme di Tiongkok.
Terpilihnya Paus Yohanes XXIII pada tahun 1958 menggantikan Paus Pius XII, membuat Gereja Katolik menjadi semakin aktif dalam dunia internasional. Gereja Katolik saat itu hadir untuk menanggapi tantangan politik dan sosial ekonomi. Penerusnya, Paus Paulus VI melakukan pendekatan ke PBB agar Tiongkok diterima sebagai anggota, pada tahun 1965. Sayangnya sejak tahun 1956, rezim Mao Zedong melakukan pembersihan negara dari musuh-musuhnya yang berujung pada Revolusi Budaya, sehingga upaya Paus Paulus VII menjadi sia-sia.
Situasi kembali berubah pada masa kepemimpinan Deng Xiaoping, yang mengusung platform politiknya yang terkenal, yaitu Politik Pintu Terbuka. Negosiasi yang dilakukan Takhta Suci dan Deng Xiaoping berdampak pada diberinya keleluasaan yang lebih kepada Gereja Katolik untuk beraktivitas di daratan Tiongkok di bawah syarat-syarat tertentu yang ditawarkan oleh pemerintah. Mulanya, semuanya berjalan lancar, namun secara perlahan, Gereja Katolik mulai kehilangan kebebasannya. Organisasi pemerintah mulai dibentuk untuk menangani urusan agama, termasuk mencampuri urusan nominasi Uskup.
Selama beberapa dekade ada tiga macam kelompok uskup 'katolik' di daratan Tiongkok. Pertama, kelompok yang terdiri dari sejumlah kecil Uskup yang memutuskan hubungan dengan Paus secara total dan menghendaki pembentukan (g)ereja (k)atolik independen. Kedua, kelompok uskup dengan jumlah yang lebih besar, memilih berdiri di sisi pemerintah dengan maksud menyelamatkan iman Katolik dengan segala macam cara. Ketiga, kelompok uskup yang menolak campur tangan pemerintah sama sekali, dan memilih untuk melakukan gerakan bawah tanah. Banyak di antara mereka dan umat yang dipimpinannya mengalami siksaan dan tahan penjara selama 20 tahun.
Takhta Suci terus mengupayakan normalisasi hubungan pada masa kepemimpinan Paus Paulus VI dan paus Yohanes Paulus II. Komunikasi tidak hanya dilakukan dengan otoritas pemerintah tetapi juga dengan beragam komunitas 'katolik'. Pada tahun 1978 misalnya, Takhta Suci mengeluarkan dokumen yang memberikan kuasa pada uskup untuk menjalankan kewajiban formal seminimal mungkin, salah satunya dengan mengizinkan uskup untuk menahbiskan pria Katolik yang bermoral baik untuk menjadi imam tanpa pendidikan formal. Selain itu paus Yohanes Paulus juga mengeluarkan dokumen yang memperbolehkan para uskup bawah tanah untuk menahbiskan seorang imam menjadi uskup tanpa persetujuan Takhta Suci bila memang ada bahaya mengancam.
Walaupun sikap bersahabat Takhta Suci terhadap pemerintah telah ditunjukkan dalam beberapa kesempatan, seperti pada kasus nominasi Uskup Deng Yimin untuk menjadi Uskup Agung pada tahun 1981, atau juga kanonisasi 120 martir Tiongkok pada tahun 2000, namun sepak terjang komunisme yang meredup di dunia yang juga dipengaruhi oleh sepak terjang Gereja Katolik, membuat pemerintah RRT tetap menaruh rasa curiga pada Takhta Suci.
Hingga wafatnya pada tahun 2005, Paus Yohanes Paulus II dalam 26 tahun masa kepemimpinannya telah melakukan diaog dengan pemerintah, para uskup, dan umat Katolik selama 60 kali.
Disertasi: The Regime Legitimacy of One-China : How the Vatican can Make China Whole Again oleh Jonathan David Bradley
Paper: People's Republic of China and The Holy See: A Long History of Agreements and Disagreements oleh Anna Carletti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar