Takhta Suci dalam Dunia Internasional

Delegasi Takhta Suci dalam Sidang PBB


KULIAH UMUM OLEH USKUP AGUNG JEAN-LOUIS TAURAN 
TENTANG "KEHADIRAN TAKHTA SUCI DI ORGANISASI-ORGANISASI INTERNASIONAL
Catholic University of the Sacred Heart, Milan
Senin, 22 April 2002


Dag Hammarskjold, yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal untuk PBB, berkata "Ketika saya meminta audiensi dengan Vatikan, saya tidak menemui Raja Kota Vatikan, tetapi Kepala Gereja Katolik."  (H. De Riedmatten,Presence du Saint-Siege dans les Organisations Internationales: Concilium 58, 1970, p. 74).
Sekretaris Jenderal PBB, Kota Vatikan, Paus, Gereja Katolik : semua ini menunjukkan kompleksitas topik yang akan kita gali, dan mengingatkan kita bahwa Gereja Katolik adalah satu-satunya institusi keagamaan di dunia yang memiliki akses hubungan diplomatik dan sangat berminat dalam hukum internasional.
  
Terhadap hal tersebut, ia (Gereja Katolik) berutang budi pada organisasinya yang bersifat universal dan lintas negara.
 
Terhadap hal tersebut, ia (Gereja Katolik)  berutang budi pada Kepalanya, yang sejak keterpilihannya dalam konklaf, mengenakan karakter internasional.
 
Di atas segalanya, terhadap hal tersebut, ia (Gereja Katolik) berutang budi pada sejarahnya, sebagaimana yang akan saya tunjukkan dalam kuliah ini. 
  
Takhta Suci 
Sebagai konsekuensinya, adalah penting untuk memperjelas bahwa subyek yang menjalin kontak dengan para pemimpin internasional adalah bukan Gereja Katolik sebagai komunitas orang beriman, dan juga bukan Negara Kota Vatikan --sebuah saran pendukung super mungil -- yang menjamin kebebasan rohani Paus dengan wilayah yang kecil. 

-tetapi adalah Takhta Suci, yaitu Paus dan Kuria Roma, otoritas universal dan rohaniah, persekutuan pusat yang unik, subyek berdaulat hukum internasional, dari kodrat religius dan moral.

Menurut Kitab Hukum Kanonik (KHK) Kan. 361, kita mengerti bahwa Takhta Suci "dimaksudkan bukan hanya Paus, melainkan juga Sekretariat Negara, Dewan Urusan Umum Gereja, Lembaga-lembaga lain Kuria Roma." Kuria Roma adalah administrasi pusat Gereja, karena menurut kanon 360 "Kuria Roma, yang biasanya membantu Paus dalam menyelenggarakan urusan-urusan Gereja seluruhnya dan yang atas namanya dan dengan kuasanya memenuhi tugas demi kesejahteraan dan pelayanan Gereja-gereja."
  
Kanon 113-1 membuat jelas bahwa  "Gereja Katolik dan Takhta Apostolik merupakan persona moral (moralis persona) atas penetapan hukum ilahi sendiri." Itu berarti bahwa Takhta Suci, sebagai sebuah institusi, ditempatkan bagi pengabdian pelayanan persekutuan yang dimandatkan Kristus kepada Petrus, akan tetap bertahan bahkan sampai akhir zaman, meskipun apabila Takhta Suci direduksi hingga menjadi ekspresi paling sederhana yang menunjuk pada peribadi Paus. Definisi teologis dan kanonis ini tersarikan dari kondisi historis dan yuridisnya, yaitu Takhta Suci dalam panggung internasional dibenarkan secara hukum sebagai otoritas tertinggi Gereja Katolik yang pada gilirannya, melalui Takhta Suci, memiliki status internasional.
 

Sejarah Hubungan Internasional Takhta Suci 
Sebagaimana yang saya sampaikan, adalah menarik untuk menemukan secara historis bahwa dalam konteks gerejawilah, kita akan menemukan permulaan hubungan internasional Takhta Suci dengan komunitas internasional, dengan perayaan Konsili Ekumenis. Dengan demikian berarti jauh sebelum Paus memiliki kekuasaan duniawi Nyatanya, Nuncio Apostolik, yang dalam istilah modern disebut Duta Besar Takhta Suci, diperlengkapi dengan misi gerejawi (bagi Gereja lokal) dan misi diplomatik (yang diakreditasi oleh pemerintah lokal), telah ada sejak tahun 453, pada akhir Konsili Kalsedon. Nyatanya, segera setelah Konsili berakhir, Paus St.Leo Agung meminta legatusnya, Julian dari Cos, yang telah mengikuti sepak terjang Konsili, untuk tetap tinggal di sana untuk menerapkan keputusan sidang. Akhirnya, Paus memperlengkapinya dengan dua Lettter of Credence (LC), satu untuk mengakreditasikannya dengan hierarki lokal yang diwakili oleh Patriark Marcion dan yang lain untuk Kaisar Konstantinopel, Theodosius.
 
Pada masa kemudian, muncullah figur Aprocisarius, dan hingga akhir abad ke-19, muncul Legates (legati nati), yang dikirim oleh Roma ke berbagai negara dan yang akan menikmati ruang yang lebih luas dibandingkan imam lokal, untuk melakukan manuver dengan otoritas sipil lokal.
  
Nuncio 
Pada abad ke-16, dunia internasional mengalami perubahan penting. Nation-State muncul dan menuntut definisi identitasnya yang jelas. State ini tidak ragu untuk menyerang State tetangganya dengan kekerasan. Diplomasi melakukan adaptasinya dengan kenyataan yang baru ini. Sebagai ganti agen rahasia, maka kini ada agen informan yang mempublikasikan dirinya dan yang mencoba meraih kepercayaan dari mitra wicaranya. Para pangeran monarki mengadopsi rumusan yang diresmikan oleh Republik Venice dengan institusi kepercayaan dan agen komersial mereka. Kita akan melihat arus berlimpah datangnya perwakilan diplomatik, ditambah dengan wisma dan kepala rumah tangga yang mereka miliki. Para Paus dengan segera beradaptasi dengan situasi yang baru ini yang juga diadaptasi dari model Venisia. Inilah yang menjelaskan munculnya Nuncio Apostolik yang pertama yang dipimpin oleh seorang Uskup Agung dari Paris, pada tahun 1500 di Venesia dan Paris, pada tahun 1513 di Wina. Layaklah kita memuji intuisi Paus Klemens XI yang pada tahun 1701 mendirikan Akademi Pejabat Gerejawi (Academy of Noble Ecclesiatics) dengan tujuan membentuk imam bagi misi perwakilan kepausan. Selama tiga abad, akademi ini ditempatkan di Istana Severoli di Piazza della Minerva. 
  
Laporan yang datang dari para Nuncio, berlawanan dengan apa yang diduga banyak orang, (pada saat itu) hanya terkait dengan masalah kerohanian. Sejak Reformasi, perwakilan kepausan berurusan dengan kepentingan rohani Gereja dalam kerangka Reformasi Katolik yang dimulai dengan Konsili Trente pada 1545. Mereka meninjau rasa hormat atas norma-norma kanonik dan penerapannya. Seringkali, mereka membela kebebasan Gereja terhadap klaim-klaim para pangeran monarki.  Diplomasi kepausan selalu merupakan instrumen teknis yang dibuat Paus untuk menjamin, bahkan jika perlu, untuk membela hak-hak Gereja lokal. Ini tidak mencegah Takhta Suci dari keterlibatannya dalam perjanjian-perjanjian damai, khususnya pada abad ke-17 dan ke-18, seperti Perjanjian Münster, Osnabrück, Pyrenees, Aix-La-Chapelle, Utrecht,  Radstatt, dan bahkan mengorganisasi pertahanan terhadap Turki. 
 
Konferensi Wina 
Jika setelah Perjanjian Westphalia dan khususnya pada abad ke-18, citra diplomasi kepausan menurun karena invasi yang berulang kali terjadi atas Negara Kepausan, Konferensi Wina 1815, mengembalikan semua keagungannya. Adalah menarik untuk mencatat bahwa pengakuan personal atas Paus (yang pada saat ini masih merupakan penguasa duniawi) dicetuskan atas fakta bahwa ia adalah Kepala Spiritual dari Gereja Katolik, seperti yang ditunjukkan oleh Talleyrand ketika ia mengajukan mosi kepada komisi editorial sidang yang, menyetujui tanpa kesulitan sedikitpun: "dalam kaitannya dengan pangeran-pangeran religius (maksudnya para Uskup-- editor) dan kekuatan-kekuatan Katolik (Austria, Perancis, Spanyol, dan Portugis), tak satupun mengenai Paus yang perlu diubah" (hal ini menyoroti hak presedn yang dimiliki oleh perwakilan kepausan). Adalah jelas dari sudut pandang historis bahwa komunitas internasional telah menganggap bahwa kepausan sebagai kekuatan moral sui generis!
 
Ini diperkuat dengan rangkaian peristiwa yang mengikuti: antara tahun 1870 dan 1929 (tahun pembentukan Negara Kota Vatikan), ketika Paus dilucuti dari segala kuasa duniawi, ia tetap menjalankan hak aktif dan pasif legislasinya. Sebagaimana ditulis oleh Jean Gaudemet : "fakta adalah bukti". 
 
Takhta Suci menjalin hubungan dengan 172 negara 
Sejak akhir Abad Pertengahan, tidak ada yang menandingi legitimasi internasional Takhta Suci, baik Uni Soviet pada masa yang baru lewat, ataupun Tiongkok pada masa sekarang. Tidak diragukan rasa kepemilikan Takhta Suci  terhadap dunia internasional. Sebuah statistik tunggal mencukupi : tahun 1978 ketika Paus Yohanes Paulus II terpilih sebagai Paus, Takhta Suci memiliki hubungan diplomatik dengan 84 negara, saat ini jumlah tersebut naik menjadi 172. Takhta Suci yang menikmati status yuridis internasional, hadir sebagai otoritas moral yang berdaulat dan independen, dan demikianlah ia berpartisipasi dalam hubungan internasional. Dalam kaitannya dengan bagsa-bangsa tindakan-tindakan Takhta Suci merupakan otoritas moral, yang bertujuan untuk memperkokoh hubungan etis antarpelaku dalam dunia internasional. Takhta Suci  menjalankannya melalui dua saluran:
 
-hubungan bilateral (yaitu melalui hubungan diplomatik dengan  172 negara yang baru disebutkan,  serta penandatangan berbagai konkordat, pakta, dalam bentuknya yang formal atau atas subyek yang spesifik).
 
-diplomasi multilateral (yaitu hubungan Takhta Suci dengan berbagai organisasi kepemerintahan, utamanya PBB dan oraganisasi-organisasi di bawahnya, Konsili Eropa, Komunitas Eropa,  Organization for Security and Cooperation in Europe [OSCE], dan Organization of American States and the Organization for African Unity). 

Sebelum menjabarkan aktivitas-aktivitas ini, saya ingin memulai dengan observasi yang seringkali terlewat. Tokoh utama diplomasi kepausan adalah Paus sendiri. Melalui karya pastoralnya, ucapan-ucapannya, perjalanan-perjalanan yang dilakukannya, pertemuan-pertemuan yang diadakannya -yang melibatkan umat dunia dan mereka yang memerintah atasnya -- ia dapat menginspirasi para pemimpin politik, memberikan arahan bagi banyak inisiatif sosial, dan seringkali, menantang sistem atau ideologi yang mengikis martabat manusia dan dengan demikian mengancam perdamaian dunia. 
 
Bagaimanapun, aktivitas harian Takhta Suci di panggung internasional secara jelas terbangun melalui hukum diplomatik dan hukum internasional serta instrumen klasik yang dihasilkan dari keduanya. 
  
1. Diplomasi Bilateral

Takhta Suci memelihara hubugannya dengan negara-negara melalui Nuncio Apostolik dan para duta besar yang diakreditasikan untuk Takhta Suci. Semua pertemuan merupakan kesempatan untuk mengingat kembali beberapa prioritas tertentu, yang tanpanya tidaklah mungkin ada peradaban. 

-prioritas manusia, martabatnya dan haknya: hak untuk hidup di setiap tahap perkembangannya, hak untuk bekerja, hak akan pembagian hasil yang berkeadilan dari keuntungan yang dihasilkan, hak untuk berbudaya, hak kebebasan berpendapat, hak kebebasan nurani untuk beragama. Semua ini bukanlah karena hak-hak ini bersumber dari Negara melainkan karena  hak-hak tersebut bersifat universal dan terpatri dalam peribadi manusia. 

- promosi, dan jika diperlukan, membela perdamaian: penolakan perang sebagai jalan penyelesaian sengketa antarnegara, dan inisiatif-inisiatif yang konkret untuk mencapai perlucutan senjata yang efektif. Adalah layak untuk diingat bahwa Takhta Suci menandatangani dan meratifikasi banyak pakta bagi Non-Proliferasi Senjata Nuklir (1971)  dan melarang penggunaan landmine anti personel di Ottawa (1997). Semua ini adalah demi mendukung dengan otoritas moral, mereka yang memajukan "budaya perdamaian", yang dengannya Gereja merasa terhormat untuk bekerja sama. Ini juga menjelaskan kepentingan Takhta Suci dalam proses perdamaian Timur Tengah, mediasi kepausan dalam memecahkan kontroversi yang muncul antara Argentina dan Chile di wilayah selatan, dan akhirnya ucapan Paus Yohanes Paulus II pada saat Perang Teluk 1991: "Perang: sebuah petualangan tanpa hasil!" Takhta Suci selalu mencari berbagai kesempatan untuk mendorong semua pihak memberikan prioritas bagi dialog dan negosiasi. Instrumen-instrumen itulah yang layak digunakan manusia untuk memecahkan konflik berkepanjangan antara manusia dan negara. 
 
-dukungan kepada semua institusi yang memajukan demokrasi sebagai dasar politik dan sosial: setiap orang tahu dedikasi yang ditunjukkan Takhta Suci bagi pengembangan demokrasi dalam masyarakat Eropa Tengah dan Timur. Kita juga terpikirkan akan semua yang diucapkan Paus dan dilakukannya bagi Kuca. Takhta Suci menegaskan bahwa demokrasi menjamin partisipasi warga negara dalam keputusan politik dan mengizinkan pemerintah dihukum oleh warga negara, mereka tidak bisa berkata atau berbuat seenaknya. Demokrasi berarti partisipasi dan bermitra dalam tanggung jawab. paus seringkali mengulang bahwa agar demokrasi dapat berbuah, perlu didukung oleh nilai-nilai manusiawi. "demokrasi otentik adalah mungkin hanya dalam negara yang diatur oleh hukum, dan didasarkan atas pandangan yang tepat terhadap indivisu manusia...jika tidak ada kebenaran tertinggi untuk menuntun dan aktivitas politik langsung, maka ide-ide dan niat yang teguh dapat dengan mudah dimanipulasi dengan alasan kekuasaan. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh sejarah, demokrasi tanpa nilai dengan mudah berubah menjadi totalitarianisme yang terbuka maupun secara samar tersembunyi." (Centessimus Annus, n 46)
  
-pendirian tatanan internasional yang didasari keadilan dan hak. Makanan, kesehatan, budaya, dan solidaritas adalah kondisi-kondisi yang penting bagi warga negara untuk berpartisipasi dengan tanggung jawab dan kebulatan tekad dalam sebauh rencana masyarakat yang menjamin kesempatan yang setara bagi setiap orang. Takhta Suci selalu menyatakan penghormatannya yang tinggi akan hukum internasional. Sebelum masa sekarang, tidak pernah kita miliki di tangan kita patrimoni yuridis yang begitu lengkap dan apik, yang merupakan hasil dari begitu banyak pengalaman tragis umat manusia. Saya terpikirkan, sebagai contoh, perumusan teks dan resolusi PBB, Konsili Eropa dan OSCE. Saya juga ingin menyebutkan konsep-konsep baru yang untungnya masuk dalam hukum internasional saat ini, seperti kewajiban intervensi kemanusiaan, dan perumusan hak-hak kaum minoritas. Takhta Suci bertahan dalam pendapat bahwa jika hukum dapat diterapkan bagi hal tersebut semua, banyak krisis masa lalu dan sekarang dapat dihindari.
 
Dapat dicatat juga, bahwa Paus dan kolaboratornya, sambil memainkan peranan penting dalam panggung internasional,  dipimpin oleh keteguhan hati, seperti di antaranya dapat kita daftarkan:
 
-kekerasan bersenjata tidak akan pernah memecahkan konflik antara manusia atau kelompok. Kekerasan --seperti yang dapat dilihat oleh semua -- hanya menghasilkan kekerasan lainnya. 
  
-ketika suatu ras, agama, atau partai politik menjadi teridealisasi atau "tersakralisasi" jauh sebelum logika suku bangsa atau hukum dari yang paling kuat mulai terkalahkan.

 
-seorang manusia tidak adapat mengafirmasi dan membela hak-haknya yang legitim, sambil mencampakkannya atas saudara-saudara mereka yang memiliki martabat yang setara. 
  
-pria dan perempuan merupakan sama-sama anggota dari keluarga (umat manusia) yang sama, tidak ada negara yang dapat menjamin keamanannya dan kesejahteraannya dengan mengisolasinya dari pihak lain. 
  
Takhta Suci akan selalu membawa serta semua kekuatan kehendak baik, sehingga dalam setiap kesempatan, hukum dapat diterapkan untuk mencegah kaum lemah menjadi korban kehendak buruk, kekerasan, atau manipulasi oleh yang berkuasa. Adalah sangat diperlukan bahwa kekuatan hukum mengalahkan hukum kekuatan! Saya katakan ini dengan mantap bahwa pada masa sekarang di mana selali lagi kerakusan atas kehidupan, dan kekerasan senjara mengarahkan semua wilayah --dan tentu saja lebih dari wilayah itu --kepada jurang kejatuhan. Semua ini mengisyaratkan adanya visi manusia yang membawa serta ke dalam semua dimensinya: rasa hormat bagi kehidupan manusia sejak konsepsi hingga kematiannya yang wajar: martabat manusia dan kemersekaannya. Semua nilai ini jelas-jelas dimiliki oleh Magisterium Gereja, yang berusaha untuk dipromosikan oleh Takhta Suci dalam dunia internasional.  
 
2. Diplomasi Multilateral
Aksi Takhta Suci bahkan lebih luas dalam diplomasi multilateral. PBB merupakan sebuah "tahap" yang istimewa (sebuah aeropagus modern)...yang dari dalamnya dapat dikatakan banyak hal yang mencapai penjuru planet! 

Untuk menunjukkan pada setiap orang bahwa Takhta Suci bukanlah kuasa duniawi dengan tujuan politik, seperti yang saya katakan sebelumnya, melainkan sebuah otoritas moral, adalah cukup untuk mengingat bahwa takhta suci bukanlah anggota PBB (dan dengan demikian tidak memiliki hak suara), namun memiliki status "pengamat (observer)", yang mengizinkannya untuk tetap berada di atas segala pihak, namun dengan hak untuk menyampaikan pendapat. Dapat dikatakan bahwa hal ini adalah peran "profetis" yang unik dalam cita rasa biblis alan istilah tersebut. Siluet putih Paulus VI dan Yohanes Paulus II di kantor pusat di Manhattan selalu merupakan gambar yang kuat dan penuh makna!
  
Namun apa yang dikatakan Takhta Suci kepada 189 negara anggota PBB?
  
- Setiap negara adalah setara. Tidak ada negara besar atau kecil. Semua memiliki martabatynag setara. Semua memiliki hak untuk mengamankan dan membela kemerdekaannya ataupun identitas budayanya dan untuk menjalankan urusan-urusannya dalam otonomi dan independensi. 

-Tetapi negara-negara yang sama juga bersolidaritas secara setara. paus seringkali menggunakan istilah "keluarga bangsa-bangsa", selain itu juga "kebaikan bersama internasional"
 
- dalam konteks ini, perang harus selalu ditolak dan prioritas diberikan kepada negosiasi dan penggunaan instrumen yuridis.
  
Dengan demikian, aktivitas Takhta Suci sudah sering membantu untuk menciptakan iklim kepercayaan yang lebih besar antarmitra internasional, dan membuatnya lebih mudah untuk dikedepankan bagi pengenalan akan filosofi baru hubungan internasional yang harus membawa ke arah:
  
-penurunan bertahap pengeluaran biaya militer
-perlucutan senjata yang efektif
-rasa hormat kepada budaya dan tradisi agama
-solidaritas bagi negara miskin, membantu mereka menjadi arsitek dari pengembangan diri mereka sendiri.   
 
Baru-baru ini, sebuah bidang baru telah muncul bagi Takhta Suci: pembelaan terhadap kehidupan dan keluarga dalam tingkat multilateral internasional. Kesempatan ini disediakan oleh konferensi-konferensi dunia baru-baru ini oleh PBB.  "Population and Development" (Cairo, 1994); World Summit for Social Development (Copenhagen 1995); The Fourth World Conference on Women, (Beijing, 1995). 

Komunitas internasional menemukan dirinya berhadapan dengan delegasi dari negara-negara Barat tertantu yang ingin menerapkan model kehidupan yang sebenarnya merupakan hasil dari propaganda dari kelompok-kelompok minoritas tertentu dalam masyarakat mereka: perbedaan gender yang benar-benar ditentukan oleh stereotip sosial, berbagai model keluarga disebutkan, keibuan seperti diturunkan derajatnya menjadi sebuah penyakit...inilah sedikit dari ideologi-ideologi kabur yang dapat dikutip. Dengan berbulat tekad, kami mengingat kembali bahwa keluarga dibentuk dari pria dan perempuan, yang dipersatukan tak terceraikan satu dengan yang lain, bahwa ada kodrat manusiawi dan hak universal yang hadir dan dijamin dalam teks-teks penting dan konvensi-konvensi yang mengatur kehidupan komunitas internasional. Jelaslah bahwa hal ini tidak dapat tidak, menjadi sesuatu yang mengejutkan bagi siapapun, bahwa Takhta Suci menuntut adanya tanggung jawab terhadap manusia dan kebebasannya dalam kaitan dengan model-model kehidupan yang ingin dipaksakan beberapa pihak bagi semua orang. Takhta Suci menuntut hal tersebut karena merupakan konsep dasar yang ditemukan dalam semua dokumen penting yang mengatur kehidupan internasional dan telah memperoleh kata sepakat bulat dari negara-negara dalam tahun-tahun belakangan. Selalu menjadi kewajiban Takhta Suci untuk mencegah menurunnya standar moral personal dan sosial, serta  berkontribusi untuk menaikkannya. 
  
Saatnya menyimpulkan. Saya harap saya telah cukup meyakinkan dalam upaya saya untuk menunjukkan bahwa Takhta Suci adalah bagi pelayanan umat manusia dan bangsa-bangsa, untuk membantu mereka  berjalan bersama dalam jalan kehidupan dan harapan. Pada 9 Januari 1955, dalam pidatonya kepada Korps Diplomatik yang datang untuk memberikan ucapan tahun baru, Bapa Suci menggarisbawahi, dan saya mengutipkannya, "alasan mengapa Takhta Suci memiliki peran di tengah komunitas bangsa-bangsa adalah untuk menjadi suara nurani manusia yang dinanti-nantikan, tanpa mengecilkan kontribusi tradisi agama yang lain"  (ORE, 11 Januari 1995, p 7). Pelayanan terhadap nurani ini adalah juga merupakan satu-satunya ambisi diplomat kepausan yang dengan kehadiran mereka, dengan aksi mereka dan dengan sarana-saran diplomasi, berusaha meyakinkan mereka yang bertanggung jawab bagi masyarakat, bahwa kekerasan, ketakutan, kejahatan, kekejaman, dan kematian tidaklah pernah menjadi kata akhir. Mereka yang memiliki sejumlah pengetahuan tentang Kristianitas tidak akan terkejut. Umat Kristen, nyatanya, tidak pernah percaya akan sejarah yang tertakdirkan. Mereka tahu bahwa dengan pertolongan Allah, manusia dapat mengubah jalan yang sedang ditempuh dunia.

Sumber:
http://www.vatican.va/roman_curia/secretariat_state/documents/rc_seg-st_doc_20020422_tauran_en.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar