1. Prosedur formal. Diplomat kepausan melakukan negosiasi, menyusun draft, dan akhirnya menandatangani agreement yang dibuat Takhta Suci dengan negara tempat akreditasi para imam-diplomat tersebut. Selain itu, Takhta Suci juga memiliki beberapa opsi untuk menentukan tingkat kepentingan agreement, yang dapat dibuat sebagai instrumen antarnegara, antarkepala negara, atau departemen pemerintah (dalam hal ini diskateri-diskateri dalam Kuria Roma). Dikarenakan negara-negara tidak dapat digolongkan sebagai individu pribadi, maka mereka yang menyusun dan menandatangani agreement haruslah mereka yang “Berkuasa Penuh” (Full Powers) seturut artikel 7 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian (Vienna Convention on the Law of Treaties). “Berkuasa Penuh” merujuk pada dokumen-dokumen dari otoritas yang berkompeten dari negara yang bersangkutan dalam hal sertifikasi status dari mereka yang mewakilkannya. Provisi ini memberikan rasa aman bagi pihak lain dari perjanjian yang memiliki otoritas. Beberapa pejabat, dikarenakan posisi dan fungsinya, tidak perlu menjalankan otoritas “Berkuasa Penuh”. Pengecualian ini merujuk pada kepala negara, kepala pemerintahan, dan menteri luar negeri yang memiliki maksud untuk menjalankan segala tindakan berkaitan dengan perjanjian, kepala misi diplomatik yang bermaksud melakukan adopsi teks perjanjian dengan negara tempat mereka diakreditasi, dan para perwakilan yang diakreditasi oleh negara penandatangan perjanjian kepada konferensi internasional atau organisasi yang bermaksud mengadopsi teks perjanjian dalam konferensi, organisasi, atau lembaga yang bersangkutan.
2. Pernyataan Persetujuan akan Kesepakatan
Diplomatik. Begitu para pihak penandatangan melakukan negosiasi dan
menandatangani agreement, kesepakatan diplomatik sudah dapat berlaku seturut
hukum sipil negara penandatangan dan
hukum kanonik. Menurut Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian,
sebuah negara dapat menyatakan persetujuannya untuk diikat melalui tanda
tangan, yang mana pertukaran instrumen meresmikan perjanjian, ratifikasi, approval, accession, dan perangkat
persetujuan lain.
- Persetujuan melalui Tanda Tangan. Sebuah negara dapat memberikan persetujuan melalui tandatangan terhadap sebuah pakta (Ing: treaty) dalam situasi yang didefinisikan dalam artikel 12 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian. Situasi khusus tersebut termasuk ketika sebuah pakta secara eksplisit mengindikasikan bahwa tanda tangan akan memiliki efek tertentu, atau dapat juga jika negara yang sedang bernegosiasi atau pejabat “Berkuasa Penuh” dari perwakilan setuju bahwa tanda tangan akan memiliki efek tertentu, atau jika ada pernyataan lisan selama negosiasi yang mengindikasikan maksud negara untuk memberikan efek tertentu pada tanda tangan. Tanda tangan membuat berlaku kebanyakan pakta bilateral yang berkaitan dengan hal-hal yang secara rutin dipolitisasi maupun bukan, tanpa dapat mencari-cari perlindungan dari proses jalannya prosedur ratifikasi. Konvensi antara Takhta Suci dan Pantai Gading (1989 dan 1992), sebagai contoh, mulai diberlakukan pada tanggal penandatanganan sebagaimana yang dinyatakan secara spesifik pada teks konvensi itu sendiri.
- Persetujuan melalui Pertukaran Instrumen.Negara dapat menyatakan persetujuan untuk membuat agreement yang mengikat melalui pertukaran instrumen, apabila kondisi ini ditulis dalam agreement atau ditetapkan sebelumnya. Sebagai contoh, pertukaran Nota Diplomatik Raja Hassan II dari Maroko dan Paus Yohanes Paulus II. Dalam Nota Diplomatik tersebut diindikasikan bagaimana dan kapan norma-norma yang disetujui dalam Nota, akan berlaku. Nota dari Raja Hassan II mencantumkan “status legislatif” pada Nota yang ditujukan pada Paus Yohanes Paulus II. Sebaliknya, Paus menyatakan dalam Notanya menyatakan bahwa ia “memberikan persetujuan” agar umat Katolik dalam wilayah kerajaan “menyesuaikan dengan norma-norma yang telah disetujui yang akan dikomunikasikan sepatutnya kepada seluruh pemimpin spiritual yang berkepentingan”.
- Persetujuan melalui Ratifikasi. Negara yang menyetujui untuk diikat oleh diplomatic agreement jika pihayk yang berkepentingan meratifikasi agreement, dan agreement menyatakan sebuah tindakan yang menandakan maksud negara untuk diikat dengan agreement. Dalam kasus pakta bilateral, negara-negara lazimnya meratifikasi agreement melalui pertukaran instrumen yang disyaratkan, namun demikian multilateral agreeement menerapkan hal yang berbeda. Dalam hal multilateral agreement, mereka yang ditugaskan sebagai depository (pengumpul) lazimnya mengumpulkan ratifikasi dari semua negara, dan memberikan informasi yang berkelanjutan pada negara-negara tersebut. Institusi peratifikasi memberikan kerangka waktu kepada negara-negara yang bersangkutan untuk dapat meninjau persetujuan yang diperlukan pada tingkat domestik dan untuk melakukan legislasi yang diperlukan dalam rangka memberikan kekuatan hukum pada agreement.
- Persetujuan melalui Acceptance atau Approval. Acceptance atau approval dari sebuah agreement memiliki efek hukum yang sama sebagaimana ratifikasi dan sebagai konsekuensinya, keduanya menyatakan persetujuan negara untuk diikat dengan pakta. Acceptance dan approval digunakan sebagai pengganti ratifikasi ketika pada tingkat nasional, hukum konstitusi tidak menyaratkan pakta untuk diratifikasi oleh kepala negara.
- Persetujuan melalui Accession. Accession merupakan sikap negara yang menerima tawaran kesempatan untuk menjadi pihak dari sebuah pakta yang telah dinegosiasi dan ditandatangani oleh negara lain. Accession juga memiliki efek yang sama dengan ratifikasi. Accession hanya dapat dilakukan setelah agreement berlaku. Pakta-pakta multilateral yang penting seringkali menyatakan bahwa entitas tertentu dapat melakukan accession setelah tanggal tertentu. Sebagai contoh, Konvensi Laut Jenewa tahun 1958 terbuka terhadap accession oleh negara anggota PBB ataupun badan-badan khusus PBB.
Pakta menjadi berlaku seturut waktu
dan cara yang ditetapkan oleh negara-negara negosiator,
namun dalam ketiadaan provisi atau persetujuan apapun mengenai hal ini, sebuah pakta akan berlaku (Ing: entry into force, EIF) segera setelah dicapainya persetujuan yang
mengikat melalui pakta oleh negara-negara negosiator.Pakta bilateral
seringkali menyatakan dengan spesifik tanggal EIF atau setelah periode tertentu dari tanggal ratifikasi
yang terakhir telah dilampaui. Dalam banyak kasus,konvensi multilateral membolehkan EIF melalui ratifikasi
oleh negara-negara dalam jumlah
tertentu. Dalam situasi seperti ini, hanya negara-negara yang benar-benar meratifikasi paktalah yang
benar-benar terikat.
4. Praktik Takhta Suci dalam hal penandatanganan diplomatic agreement juga seperti halnya pakta internasional manapun. Kitab Hukum Kanonik (KHK) tahun 1983 menyatakan bahwa
4. Praktik Takhta Suci dalam hal penandatanganan diplomatic agreement juga seperti halnya pakta internasional manapun. Kitab Hukum Kanonik (KHK) tahun 1983 menyatakan bahwa
Kan. 3 Kanon-kanon Kitab Hukum ini tidak menghapus seluruhnya atau sebagian perjanjian-perjanjian yang telah diadakan oleh Takhta Apostolik dengan negara atau masyarakat politik lain. Karena itu, perjanjian-perjanjian tersebut masih tetap berlaku seperti sekarang, walaupun bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Kitab Hukum ini.
Diplomatic Agreement yang ditandatangani oleh Takhta Suci, menjadi hukum gereja segera setelah diterbitkan.
Kan. 8 § 1 Undang-undang gerejawi universal diundangkan dengan diterbitkannya dalam lembaran Acta Apostolicae Sedis, kecuali untuk kasus tertentu cara pengundangannya ditentukan lain. Undang-undang itu baru mulai mempunyai kekuatan setelah tiga bulan, terhitung dari tanggal yang tercatat pada nomor Acta itu, kecuali dari hakikatnya serta-merta mengikat atau dalam undang-undang itu sendiri secara khusus dan jelas ditentukan masa tenggang yang lebih pendek atau lebih panjang.
Takhta
Suci menerbitkan sebagian besar, namun tidak semua, diplomatic agreement yang ditandatangani Takhta Suci ke dalam Acta Apostolicae
Sedis (semacam Lembar Negara RI).Dikarenakan Takhta Suci merupakan entitas universal
sebagaimana negara kebanyakan, diplomatic
agreement yang ditandatangani Takhta Suci, tidak harus mengikat umat
Katolik seluruh dunia. Beberapa agreement hanya mengikat umat Katolik di negara
tertentu seperti tertulis dalam
Kan.12 § 1 Undang-undang universal mengikat di mana saja semua orang baginya undang-undang itu dibuat.
Sebagai
contoh, dalam pertukaran Nota Diplomatik antara Raja Hassan II dan Paus Yohanes
Paulus II, Paus secara spesifik menegaskan bahwa ia memberikan persetujuan atas
agreement agar “Gereja dan umat
Katolik dalam kerajaan menyesuaikan dengan norma-norma yang telah disetujui
yang akan dikomunikasikan sepatutnya kepada seluruh pemimpin spiritual yang
berkepentingan”.
Sumber:
Disertasi
dengan judul Diplomatic Activity in
Service of Papal Teaching: The Promotion of Religious Freedom in Relations With
Selected Islamic States During The Pontificate of John Paul II oleh Jaclyn
O:Brien McEachern, The Catholic University of America
Tidak ada komentar:
Posting Komentar