Takhta Suci Jelang Perjanjian Lateran 1929

Tidak adanya wilayah negara, tidak membuat Takhta Suci kehilangan kedaulatan sebagai Subyek Hukum Internasional selama tiga dekade awal abad ke-20. Seorang komentator pada tahun 1920 menulis:
"Pemerintah-pemerintah berjuang, masing-masing dari pusatnya, untuk mengontrol dunia dan dengan rendah hati menyadari betapa mereka tidak berdaya dalam kebingungan akan banyak hal -- bagaimana apa yang mereka tuliskan tidak berjalan jauh dan efektif di luar batas-batas keberadaan mereka, sementara Vatikan, yang tidak memiliki batas-batas keberadaan, yang hanya memiliki pusat, memiliki kerajaan rohaninya dimana-mana."
Namun demikian, perlu ditegaskan bahwa peran Takhta Suci sebagai kedaulatan non-teritorial yang memiliki persona internasional tetap ada. Sejauh tidak murni mengenai hal-hal fana, Takhta Suci melihat dirinya sebagai komponen esensial dalam ajang diskusi internasional dan aksi-aksi yang memajukan perdamaian dunia. 

Sebagai dampak meningkatnya ketegangan di Eropa, Pius X mengirim surat menyangkut perdamaian kepada Delegasi Apostolik di Washington D.C. sehingga mendapat perhatian dari dunia religius maupun sekular. Pius X juga menyampaikan keprihatinannya mengenai isu-isu global yang tidak berfokus pada meningkatnya ketegangan di kawasan Eropa. Mengikuti jejak pendahulunya, Paulus III yang hidup pada abad ke-16,  beliau menerbitkan ensiklik ekshortasi pada negara-negara Amerika Latin untuk bertindak dengan lebih berkeadilan dalam ranah sosial ekonomi, khususnya menyangkut rakyat pribumi. Secara khusus, beliau berbicara mengenai praktik-praktik melampaui batas kewajaran dalam kasus trafficking yang menimpa kaum perempuan dan anak-anak. Beliau kemudian menambahkan bahwa cinta kasih Kristiani menuntut umat Katolik untuk: 
"memandang setiap manusia, tanpa pembedaan bangsa dan warna kulit, sabagai saudara-saudara sejati.. Cinta kasih ini harus  dinyatakan dengan sedikit kata dibandingkan dengan perbuatan."
 Paus Benediktus XV dan penerus berikutnya, Pius X, menghadapi rangkaian peristiwa yang mendahului, terjadi pada saat, dan sesudah Perang Dunia I. Beliau berusaha membujuk partai-partai untuk menentang perang. Walaupun upaya-upayanya menentang perang terbukti gagal, upaya-upaya tersebut terbukti ampuh untuk mencegah dimulainya berbagai kekejaman. Ketika PD I berakhir, Paus Benediktus mengemukakan pandangan-pandangannya mengenai perdamaian dunia ketika menyatakan:
"Kami menangkap kesempatan ini untuk membaharui alasan-alasan protes yang juga dikemukakan oleh para pendahulu kami, bukan untuk mengarahkannya demi kepentingan pribadi, namun sebagai pemenuhan tugas suci dan tanggung jawab mereka dalam membela hak-hak dan martabat Takhta Apostolik."
Para Paus di abad ke-20 menegaskan kembali tugas suci ini dari waktu ke waktu. Peninggalan perang menjadi kepedulian Benediktus XV, dan ia menetapkan langkah-langkah konsekuen untuk mencegah dan eminimalisasi konflik militer. Paus Benediktus juga mengambil langkah-langkah untuk meringankan beban pra korban perang dan memfasilitasi langkah-langkah tersebut untuk mewujudkan perdamaian. Sebagai hasilnya, ia mengeluarkan dua ensiklik tentang hal ini selama masa kepausannya. Ensiklik yang pertama mendorong dunia internasional untuk berperan serta dalam sebuah konferensi internasional  yang akan menjamin terwujudnya perdamaian. Ensiklik yang kedua menyerukan kepada segenap individu untuk mempraktikkan pengampunan dan rekonsiliasi. Ensiklik tersebut juga mendesak negara-negara untuk mngesampingkan segala rasa curiga dan bersatu dalam satu liga keluarga bangsa-bangsa "yang diperhitungkan baik untuk menjaga kemerdekaan mereka sendiri dan panduan tata masyarakat umat manusia." Negara-negara melalui pendirian "asosiasi bangsa-bangsa" dapat:
"menghapuskan atau mengurangi beban berlebih dalam hal pengeluaran biaya militer yang tidak lagi dapat mereka tanggung, dalam rangka mencegah bencana perang atau setidaknya menyingkirkan bahayanya sejauh mungkin. Dengan demikian setiap bangsa tidak hanya akan terjamin kemerdekaannya tetapi juga integritas teritorialnya dalam batas-batas keadilan."
Paus Benediktus juga mendorong mereka untuk bergabung dengan Takhta Suci dalam menyediakan bantuan kemanusiaan bagi banyak korban perang tak bersalah. Pemahamannya akan pentingnya hubungan diplomatik dan kontribusinya mewujudkan perdamaian dunia menyebabkannya meningkatkan jumlah pertukaran misi diplomatik dari empat belas menjadi dua puluh enam, selama masa kepausannya.

Dalam konferensi Liga Bangsa-Bangsa, negara seperti Jerman menghendaki agar Takhta Suci mendampingi mereka dalam beberapa penyelesaian perselisihan di antara bangsa-bangsa. Italia dalam hal ini berkeberatan, sebagian besar ditengarai alasan bahwa partisipasi Takhta Suci akan menciptakan status internasional bagi Takhta Suci, yang belum siap dihadapi oleh Italia. Walaupun demikian, usaha-usaha untuk mengabaikan status international personality yang dimiliki Takhta Suci tidak menghalangi kontribusi mereka dalam menghalangi perdamaian dan keadilan dalam dan luar negeri. 

Beberapa aspek penting karya kepausan selama abad ke-20 termasuk upaya luar biasa yang dilakukan oleh Paus Pius XI dan Pius XII untuk mencegah Perang Dunia II dan Holocaust. Tidak lama setelah diangkat menjadi Paus, Pius XI menyatakan dalam ensikliknya yang diterbitkan pada tahun 1922, Ubi Arcamo Dei Consilio bahwa individu-individu, kelas-kelas sosial, dan bangsa-bangsa dunia tidak menemukan "perdamaian sejati" sejak diakhirinya Perang Dunia I. Ensiklik ini membabarkan dan memperingatkan akan ketegangan yang terus berlanjut yang membahayakan stabilitas global dan regional serta perdamaian yang berkeadilan. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar