Diplomasi Takhta Suci merupakan seni negosiasi antara Gereja dan negara dalam keharmonisan dengan norma hukum kanonik (Codex Iuris Canonici atau Kitab Hukum Kanonik (KHK)) dan hukum internasional dalam rangka promosi perdamaian, kemajuan-kemajuan serta upaya kooperatif bangsa-bangsa. Diplomasi Takhta Suci berdasar pada prinsip teologis dan yuridis. Prinsip-prinsip teologis bersumber dari ajaran-ajaran Gereja, termasuk primasi apostolik dan kolegialitas. Prinsip yuridis bersumber dari prinsip-prinsip umum politik, dan hukum internasional. Sebagai sebuah seni, diplomasi Takhta Suci bergantung pada intelegensi, pengalaman, dan strategi delegasi kepausan dalam melakukan negosiasi dengan negara-negara dan organisasi internasional.
Walaupun
istilah “Diplomasi Vatikan” atau “Diplomasi Takhta Suci” tidak digunakan dalam
KHK, diplomasi Takhta Suci haruslah dijalankan dalam keharmonisan dengan KHK
yang berkaitan dengan “Utusan Kepausan” (Kan 362-367) dan Pastor Bonus art. 39-47 yang menjabarkan peranan Sekretariat
Negara. Diplomasi Takhta Suci juga haruslah dijalankan sesuai dengan norma
hukum internasional sebagaimana yang diamanatkan dalam Kan.362.
Diplomasi
Takhta Suci “secara esensial berdiam dalam kedaulatan rohani yang dimiliki oleh
Takhta Suci dan bukan atas wilayah seluas beberapa hektar di dalam jantung kota
Roma.” (Graham, Vatican Diplomacy: A
Study of Church and State on the International Plane).
Sasaran Umum ‘Diplomasi Takhta Suci’
Seturut KHK Kan 364 poin 5, sasaran umum diplomasi Takhta Suci adalah: promosi perdamaian, kemajuan, dan upaya kooperatif bangsa-bangsa.Takhta Suci memiliki fokus pada lima tujuan spesifik:
1. Promosi dan rasa hormat akan martabat manusia dan HAM. Diplomasi Takhta Suci fokus pada martabat pribadi manusia, tidak hanya dengan mengedepankan prinsip-prinsip umum, melainkan juga dengan melayani kebutuhan konkret dan meterial umat manusia.
2. Promosi perdamaian dalam hubungan internasional dengan menyerukan perlawanan terhadap perang dan kekerasan senjata, terutama kekerasan yang mengatasnamakan agama. Takhta Suci menyerukan pengurangan anggaran militer, perlucutan senjata yang efektif, rasa hormat pada semua budaya dan tradisi agama, serta solidaritas, terutama dengan yang miskin. Takhta Suci menandatangani dan meratifikasi pakta Non-Proliferation of Nuclear Weapons (1971), pelarangan penggunaan lahan non-militer (1997), dan pelarangan senjata kimia (1999). Takhta Suci mengedepankan dialog, negosiasi, dan penggunaan instrumen yuridis ketimbang kekerasan.
3. Promosi rasa hormat terhadap hukum internasional sebagai instrumen berlandaskan perdamaian yang paling ampuh bagi pemecahan masalah antarnegara. Walaupun hukum internasional tidak menafikan konflik antarnegara yang dapat muncul secara alami, namun Takhta Suci meyakini bahwa segala permasalahan haruslah dapat diselesaikan secara damai dan berkeadilan. Jika negara-negara menghormati hukum internasional, maka konflik-konflik dapat diakhiri tanpa harus mengangkat senjata.
4. Promosi keadilan dan kemajuan umat manusia, termasuk segala upaya yang dijalankan dalam rangka memajukan bangsa-bangsa, menyuarakan distribusi kesejahteraan yang lebih merata, dan mendorong sikap berbagi teknologi. Takhta Suci secara eksplisit berurusan dengan permasalahan keadilan dan pertumbuhan ekonomi dalam cara-cara yang paling praktis dan spesifik.
5. Peningkatan hubungan persahabatan antarnegara, dengan komunitas Kristiani lainnya, serta dengan agama-agama dunia. Takhta Suci meyakini bahwa dengan hidup berdampingan secara damai, dan melalui dialog antarnegara, dialog ekumenis, dan dialog antaragama, Takhta Suci dapat mendorong kebebasan beragama, memajukan HAM, dan sasaran-sasaran Gereja lainnya yang lebih luas.
Disertasi
dengan judul Diplomatic Activity in
Service of Papal Teaching: The Promotion of Religious Freedom in Relations With
Selected Islamic States During The Pontificate of John Paul II oleh Jaclyn
O:Brien McEachern, The Catholic University of America
Tidak ada komentar:
Posting Komentar