Pada pertengahan abad ke-16, Takhta Suci dapat dikatakan memasuki masa genting. Act of Succession yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Inggris, Henry VIII memicu konflik dengan Takhta Suci terutama menyangkut kuasa kedaulatan temporal yang dimiliki oleh monarki sebagaimana dimiliki pula oleh Takhta Suci. Konflik ini berujung pada munculnya Anglikanisme. Perjanjian Ausburg pada 1555, Edict Nantes pada 1598, dan Perjanjian Westphalia pada 1648, mendorong keengganan restorasi kepausan. Pada awal abad ke-17, Eropa yang sempat menjadi wilayah Kristen, nyata-nyata sudah tidak dipersatukan lagi oleh Roma dan Takhta Suci. Walaupun demikian, dalam ranah hukum internasional, tidak ada upaya untuk melawan atau menghapuskan keberadaan Takhta Suci. Sementara Revolusi Amerika dan Perancis meningkatkan kekuasaan otoritas sekular pemerintah, Konferensi Wina pada awal abad ke-19, mengakui bahwa Takhta Suci tetap merupakan sebuah kedaulatan, yang dengannya harus dijalin relasi.
Abad ke-19 membawa tantangan yang serius bagi Takhta Suci. Pada awal abad ini, misalnya, Napoleon Bonaparte berusaha mengontrol Negara Kepausan di bawah Perancis dari tahun 1809 hingga tahun 1814. Di sisi lain, gerakan penyatuan Italia membawa krisis tersendiri, dan benar-benar berhasil menjadi ancaman bagi keberadaan Negara Kepausan. Pada 8 Desember 1849, Paus Pius IX mengeluarkan ensiklik Nostis Et Nobiscum yang membahas eskalasi ketegangan antara sekularisme dan Negara Kepausan. Pada tahun 1870, Paus Pius IX mengeluarkan ensiklik Respicientes sebagai protes terhadap pencaplokan wilayah kepausan oleh Italia. Dengan dikeluarkannya ensiklik ini, status Takhta Suci sebagai subyek hukum internasional tidak hilang, walaupun Negara Kepausan bubar pada 1870.
Bahkan tanpa memiliki wilayah, Takhta Suci meningkatkan hubungan diplomatik dengan negara lain. pada masa ini banyak misi diplomatik yang dikukuhkan, Seorang pengamat mencatat, "Pemerintah yang tadinya tidak mempunyai hubungan (dengan Takhta Suci), mengadakan hubungan; pemerintah yang memiliki hubungan yang terputus (dengan Takhta Suci), memperbaikinya kembali; pemerintah yang mempunyai hubungan kelas dua (dengan Takhta Suci), meningkatkan hubungannya menjadi kelas satu." Hubungan diplomatik pada masa ini bahkan meluas bukan hanya kepada monarki Katolik, namun juga dengan negara-negara demokrasi yang memiliki parlemen dan Perdana Menteri.
Bahkan tanp memiliki wilayah, negara-negara lain meminta bantuan pada Takhta Suci dengan berbagai cara, dan dengan demikian Takhta Suci tetap melestarikan keterlibatannya dalam mediasi dan arbitrasi internasional. Misalnya, pada tahun 1885, Jerman dan Spanyol terlibat dalam perselisihan sehingga mereka kemudian meminta Takhta Suci untuk terlibat dalam proses mediasi atas klaim terhadap Caroline Islands. Negara-negara lain di Eropa, Amerika Latin, atau dimana pun, seringkali juga meminta bantuan Takhta Suci untuk menyelesaikan perselisihan antar mereka. Bahkan negara-negara yang secara tradisional bukan negara Katolik, seperti Inggris, AS, dan Jerman. Banyak negara tersebut yang bergantung pada netralitas dan suara moral Takhta Suci dalam memecahkan sengketa internasional. AS misalnya, berpaling pada Takhta Suci untuk meminta bantuan bagi penyelesaian masalah sengketa kepemilikan harta gerejawi di Filipina yang timbul akibat perang Spanyol-Amerika. Gubernur Taft bertandang ke Roma pada musim panas 1901 sebagai upaya penyelesaian sengketa. Sementara seorang komentator menyarankan agar dirinya melakukan negosiasi dengan pihak swasta dari properti tersebut daripada berdiskusi dengan sebuah entitas internasional, komentator lainnya memiliki pendapat yang berbeda.
Pada akhir abad ke-19, Paus Leo XIII, tanpa bermaksud mencari keuntungan untuk memperoleh wilayah, mengingatkan dunia akan status international personality dan subyek hukum internasional yang dimiliki oleh Takhta Suci:
"Tidak bisa dipungkiri, bahwa dalam membuat suatu perjanjian, dalam transaksi bisnis, dalam pengiriman dan penerimaan duta besar, dan dalam pertukaran kesepakatan resmi yang lain, para penguasa dunia fana, memperlakukan Gereja sebagaimana berhubungan dengan kuasa tertinggi dan legitim. Dan tentunya, semua pihak harus berpegang bahwa hal tersebut bukanlah tanpa disposisi penyelenggaran Ilahi sehingga kuasa Gerejawi ini diperlengkapi dengan kedaulatan sipil sebagai penjamin pasti dari kemerdekaannya."
Paus ini, sebagaimana pula penerusnya di abad ke-20, memahami bahwa perdamaian dunia harus didampingi dengan keadilan pada level domestik dan internasional. Paus Leo XIII juga mengakui prinsip-prinsip ini dalam ensiklik Rerum Novarum. Paus yang sama juga menginstruksikan agar tidak mengutuk pemerintahan tertentu, dan bahwa tujuan mutualisme antarstruktur politik adalah memajukan kesejahteraan umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar