Sebagaimana lazimnya, seorang Paus memberikan audiensi tahunan pada setiap awal tahun bagi para perwakilan negara sahabat yang diakreditasi kepada Takhta Suci. Takhta Suci saat ini menjalin hubungan diplomatik dengan 180 negara, berikut Uni Eropa dan Sovereign Military Order of Malta, dan misi khusus Palestina. Dalam berbagai organisasi internasional, Takhta Suci duduk sebagai Pengamat Tetap (Permanent Observer).
Berikut adalah kutipan audiensi beliau pada tanggal 12 Januari 2014:
"Dalam pesan saya untuk Hari Perdamaian sedunia, yang didedikasikan bagi persaudaraan sebagai dasar dan jalan kepada perdamaian, saya menyadari bahwa 'persaudaraan lazimnya pertama kali dipelajari dalam keluarga', karena keluarga 'berdasarkan panggilannya...dimaksudkan untuk menyebarkan cintanya kepada dunia di sekitarnya' dan untuk berkontribusi bagi pertumbuhan semangat pelayanan dan berbagi dalam membangun perdamaian. Ini adalah pesan dari Palungan, di mana kita lihat Keluarga Kudus, tidaklah sendirian dan terisolasi dari dunia, namun dikelilingi oleh para gembala dan orang Majus, dengan kata lain oleh suatu komunitas terbuka yang di dalamnya terdapat ruang bagi setiap orang, baik miskin maupun kaya, mereka yang dekat dan yang jauh. Dengan cara ini, kita dapat mengapresiasi penekanan pendahulu saya, Benediktus XVI, bahwa 'bahasa keluarga merupakan bahasa perdamaian'.
Sayangnya, tidak selalu demikian adanya, seiring dengan bertambahnya jumlah keluarga bercerai dan bermasalah, bukan hanya karena melemahnya rasa kepemilikan yang merupan tipikal dunia saat ini, tetapi juga karena situasi pelik di mana banyak keluarga terpaksa harus hidup di dalamnya, bahkan sampai pada taraf kurangnya sarana-sarana mendasar yang pokok.
Juga terjadi bahwa para lanjut usia dilihat sebagai beban, sementara kaum muda kekurangan prospek yang cerah akan masa depan mereka. Meskipun demikian, kaum lansia dan kaum muda merupakan harapan kemanusiaan. kaum lansia membawa serta kebijaksanaan yang lahir dari pengalaman, kaum kuda membuka bagi kita masa depan dan mencegah kita menjadi larut dengan diri kita sendiri. Merupakan sikap kehati-hatian untuk menjaga kaum lansia dari keterasingan hidup bermasyarakat, juga untuk melestarikan kenangan yang hidup bagi setiap orang. Demikian pula, penting untuk menginvestasikan kepada kaum muda melalui inisiatif-inisiatif yang cocok guna membantu mereka menemukan pekerjaan dan mendirikan keluarga. Kita tidak boleh melemahkan antusiasme mereka! Saya ingat dengan jelas pengalaman saya pada World Youth Day ke-28 di Rio de Janeiro. Saya bertemu dengan begitu banyak kaum muda yang bahagia! Betapa harapan dan ekspektasi hadir dalam mata dan doa-doa mereka! Betapa besar rasa haus akan kehidupan dan hasrat untuk membuka diri bagi sesama! Menjadi tertutup dan dan terisolasi membuat lumpuh, suasana pekat yang cepat atau lambat berakhir menciptakan kesediahan dan tekanan. Apa yang dibutuhkan adalah komitmen untuk berbagi yang menunjang budaya perjumpaan, karena hanya mereka yang mampu menjangkau ke luar kepada orang lain yang mampu menghasilkan buah, menciptakan ikatan-ikatan paguyuban, memancarkan sukacita dan menjadi pembawa damai.
Gambaran kehancuran dan kematian yang selalu kita saksikan mngonfirmasi ini semua - jika kita membutuhkan konfirmasi semacam itu, Betapa besarnya derita dan keputusasaan yang disebabkan oleh pemusatan pada diri sendiri yang secara bertahap mewujud menjadi iri hati, egoisme, kompetisi, dan kehausan akan kekuasaan dan uang! Banyak kali terlihat bahwa sepertinya realita-realita ini telah ditentukan bagi mereka yang berada di atas. Natal, di sisi lain, menginspirasi kami, orang Kristen, kepastian final, sabda definitif yang dimiliki oleh Pangeran Damai, yang mengubah 'mata pedang menjadi bajak dan tombak menjadi pisau pemangkas', mengubah egoisme menjadi pemberian diri dan balas dendam menjadi pengampunan.
Dengan keyakinan seperti ini saya ingin melihat ke tahun mendatang. Saya terus berharap bahwa konflik di Suriah akan segera berakhir. Kepedulian bagi orang-orang terkasih itu, dan keinginan untuk mencegah kekerasan yang semakin memburuk, menggerakkan saya pada September yang lalu untuk mengumumkan hari berpuasa dan doa. Melalui Anda semua, dari lubuk hati saya berterima kasih kepada mereka di negara Anda - otoritas publik dan orang-orang yang berkehendak baik - yang bergabung dalam inisiatif ini. Apa yang kini dibutuhkan adalah kehendak politik yang terbarukan untuk mengakhiri konflik. Dalam kaitan dengan hal ini, saya menyatakan harapan saya bahwa Konferensi Geneva 2 yang akan diadakan pada 22 Januari, akan menandai, dimulainya proses damai yang diinginkan. Pada saat yang sama, penghormatan penuh bagi hukum kemanusiaan tetaplah esensial. Tidaklah dapat diterima bahwa kaum sipil yang tak bersenjata, terutama anak-anak, menjadi target. Saya juga mendorong semua pihak untuk mempromosikan dan menjamin dengan setiap cara yang mungkin, ketersediaan bagi bantuan darurat bagi banyak populasi, tanpa overlooking upaya yang patut dipuji negara-negara tersebut -khususnya Libanon dan Yordania - yang telah dengan murah hati menyambut ke dalam wilayah mereka, banyak pengungsi dari Suriah.
Masih di Timur Tengah, saya mencatat dengan kepedulian, ketegangan yang mempengaruhi wilayah ini dengan berbagai cara. Saya khususnya peduli akan masalah politik yang sedang terjadi di Libanon, di mana iklim kerjasama yang terbarukan antarkomponen rakyat sipil yang berbeda, dan kekuatan politik, penting untuk mencegah kekejaman yang lebih lanjut yang dapat mengancam stabilitas negara. Saya juga memikirkan Mesir, dengan kebutuhannya untuk mendapatkan kembali harmoni sosial, dan Irak, yang berjuang untuk memperoleh perdamaian dan stabilitas yang diharapkan. Pada saat yang sama, dengan puas saya mencatat, kemajuan signifikan yang dibuat dalam dialog antara Iran dan Grup 5+1 tentang isu nuklir.
Dimanapun, jalan untuk memecahkan permasalahan haruslah diplomasi dan dialog. Ini adalah jalan yang diutarakan dengan jelas oleh Paus Benediktus XVI ketika ia mengingatkan para pemimpin negara Eropa untuk membuat 'hukum yang berdaya moral' yang mengalahkan 'daya material kekuatan senjata' dalam rangka mengakhiri 'pembantaian yang tidak perlu' yang terjadi dalam Perang Dunia I, yang tahun ini kita peringati telah seabad berlalu. Apa yang dibutuhkan adalah keberanian 'untuk pergi melampaui permukaan konflik' dan untuk menganggap sesama dalam martabatnya yang terdalam, sehingga kesatuan tersebut akan mengalahkan konflik dan akan 'mungkin untuk membangun paguyuban di tengah ketidaksepahaman'. Dalam kaitan dengan hal ini, pembicaraan damai antara Israel dan Palestina merupakan tanda yang positif, dan saya menyampaikan harapan saya bahwa kedua pihak akan beritikad, dengan dukungan komunitas internasional, untuk mengambil keputusan-keputusan berani yang bertujuan menemukan solusi berkeadilan yang tahan lama bagi konflik yang mendesak untuk diakhiri. Saya sendiri bermaksud mengadakan ziarah perdamaian ke Tanah Suci pada tahun ini. Pengungsian umat Kristen dari Timur Tengah dan Afrika Utara tetap merupakan sumber keprihatinan. Mereka ingin tetap menjadi bagian kehidupan sosial politik dan kultural dari negara-negara yang telah mereka bantu dirikan, dan mereka berhasrat untuk memberikan kontribusia bagi kesejahteraan umum masyarakat di tempat mereka ingin diterima sebagai agen perdamaian dan rekonsiliasi.
Di bagian lain seperti juga di Afrika, umat Kristen dipanggil untuk memberikan kesaksian akan cinta dan kerahiman Allah. Kita harus tidak pernah berhenti berbuat baik, bahkan walaupun hal tersebut sulit dan memeras tenaga, dan ketika kita bertahan dari tindakan intoleransi jika bukan pembantaian yang sesungguhnya. Di area-area di Nigeria, kekerasan masih ada, dan banyak darah tak berdosa terus menerus tertumpah. Di atas segalanya, saya memikirkan Republik Afrika Tengah, di mana berbagai derita telah disebabkan oleh ketegangan negara, yang seringkali menuju pada kehancuran dan kematian. Saya jaminkan doa saya bagi para korban dna pengungsi, yang bertahan hidup dalam kemiskinan yang memilukan, saya sampaikan harapan saya bahwa kepedulian dari komunitas internasional akan membantu mengakhiri kekerasan, kembali pada kaidah hukum dan akses bantuan kemanusiaan yang terjamin, juga di daerah paling terpencil di negara tersebut. Untuk bagiannya, Gereja Katolik akan terus menjamin keberadaan dan kerja samanya, bekerja dengan murah hati untuk membantu umat manusia melalui setiap cara yang mungkin, dan di atas segalanya, untuk membangun iklim rekonsiliasi dan perdamaian di antara semua kelompok dalam masyarakat. Rekonsiliasi dan perdamaian merupakan prioritas fundamental dalam wilayah-wilayah lain di Afrika. Secara khusus saya memikirkan Mali, di mana kita juga setidaknya mencatat adanya perbaikan yang menjanjikan terhadap struktur demokrasi negara, dan akan Sudan Selatan, di mana kebalikannya, ketidakstabilan politik akhir-akhir ini telah mengarah ke banyak kematian dan krisis baru kemanusiaan.
Takhta Suci juga secara dekat mengikuti peristiwa-peristiwa di Asia, di mana Gereja berhasrat untuk membagikan sukacita dan harapan bagi semua orang dari benua yang luas dan mulia itu. Akan hal ini, pada peringatan 50 tahun hubungan diplomatik dengan Republik Korea,saya harap untuk memohon pada Tuhan, anugerah rekonsiliasi bagi semenanjung, dan saya percaya bahwa demi kebaikan seluruh bangsa Korea, partai yang terlibat akan tanpa lelah mencari titik kesepahaman dan solusi yang memungkinkan. Pada kenyataannya, Asia, memiliki sejarah panjang ko-eksistensi antara kelompok-kelompok sipil, etnik, dan agama. Rasa saling hormat semacam itu perlu didukung, terutama mengingat adanya tanda-tanda meresahkan bahwa situasi tersebut melemah, khususnya di mana sikap prasangka yang meningkat, atas alasan agama, cenderung untuk melemahkan kebebasan umat Kristen dan membahayakan ko-eksistensi masyarakat sipil. Walaupun demikian, Takhta Suci mendambakan dengan harapan yang hidup bahwa tanda-tanda keterbukaan datang dari negara-negara yang memiliki tradisi religiusitas dan budaya adiluhung, yang dengannya kita berharap untuk bekerja sama mencapai kesejahteraan umum.
Perdamaian juga terancam oleh setiap penyangkalan akan martabat manusia, pertama-tama kurangnya akses untuk mendapat nutrisi yang mencukupi. Kita tidak bisa acuh terhadap mereka yang menderita kelaparan, terutama anak-anak, ketika kita berpikir bagaimana makanan disia-siakan setiap hari di banyak tempat di dunia, tenggelam dalam apa yang saya istilahkan 'budaya buang'. Sayangnya, apa yang dibuang bukan hanya makanan dan obyek-obyek yang tergantikan, namun juga manusia itu sendiri, yang kita singkirkan sebagai 'tidak dibutuhkan'. Sebagai contoh, adalah mengerikan bahkan untuk memikirkan bahwa ada anak-anak, korban aborsi, yang tidak akan pernah melihat cahaya kehidupan, anak-anak yang dimanfaatkan sebagai tentara, dianiaya dan dibunuhdalam konflik bersenjata, dan anak-anak yang dibeli dan dijual dalam bentuk perbudakan modern 'human trafficking', yang adalah kejahatan melawan kemanusiaan.
Tidak juga kita dapat tak tergerak oleh tragedi-tragedi yang telah memaksa banyak orang mengungsi dari kelaparan, kekerasan, dan penekanan, khususnya di Tanduk Afrika dan Wilayah Great Lakes. Banyak dari mereka hidup sebagai buronan dan pengungsi di kamp-kamp di mana mereka tidak lagi dilihat sebagai pribadi namun sebagai statistik yang tak bernama. Lainya, dalam harapan akan kehidupan yang lebih baik, telah menempuh perjalanan yang berbahaya yang tidak jarang berakhir dengan tragedi. Saya memikirkan secara khusus banyak migran dari Amerika Latin di Amerika Serikat, namun terlebih mereka yang berasal dari Afrika dan Timur Tengah yang mencari perlindungan di Eropa.
Masih segar dalam ingatan saya, kunjungan singkat yang saya lakukan ke Lampedusa Juli yang lalu, untuk mendoakan banyak korban krisis pengungsian di Mediterania. Yang menyedihkan, ada keacuhan luas dalam menghadapi tragedi ini, yang merupakan tanda dramatis dari hilangnya 'rasa tanggung jawab terhadap saudara dan saudari kita', yang merupakan dasar dari setiap masyarakat sipil. Dalam kesempatan tersebut, saya menangkap keramahtamahan dan dedikasi yang ditunjukkan oleh banyak orang. Merupakan harapan saya, bahwa rakyat Italia, yang saya hormati dengan penuh kasih, bukan hanya sekadar kesamaan akar yang kita miliki, akan memperbarui komitmen solidaritas mereka yang pantas dipuji terhadap mereka yang paling lemah dan rapuh, dan dengan upaya yang bermurah hati dan terkoordinasi oleh masyarakat dan institusi, menanggulangi kesulitan-kesulitan saat ini dan mendapatkan kembali iklim panjang kreativitas sosial yang konstruktif.
Akhirnya saya ingin menyebutkan ancaman lain terhadap perdamaian, yang muncul dari eksploitasi serakah terhadap sumber daya alam. Bahkan sekalipun 'alam ada di bawah kuasa kita', seringkali kita tidak 'menghormati dan menganggapnya sebagai karunia patut disyukuri yang harus kita jaga dan kelola bagi pelayanan terhadap saudara dan saudari kita, termasuk generasi yang mendatang'. Di sini juga, yang krusial adalah tanggung jawab semua pihak dalam mengejar, dalam semangat persaudaraan, kebijakan-kebijakan yang menghormati bumi ini yang adalah rumah kita bersama. Saya ingat akan sebuah pepatah: ' Allah selalu mengampuni, kita kadang-kadang mengampunim tapi ketika alam -ciptaan- dirusak, dia tidak pernah mengampuni!' Kita juga telah menyaksikan efek yang menghancurkan dari beberapa bencana baru-baru ini. Secara khusus, saya akan sebutkan sekali lagi, sejumlah besar korban dan kehancuran massal akibat badai Haiyan yang terjadi di Filipina dan negara-negara lain di Asia Tenggara.
Paus Paulus VI mencatat bahwa perdamaian bukanlah 'sekadar tidak adanya perang, berdasarkan keseimbangan kuasa yang precarious, melainkan hal tersebut terbentuk dari upaya-upaya hari demi hari yang terarah menuju berdirinya suatu tatanan yang dikehendaki oleh Allah, dengan keadilan yang lebih sempurna antara pria dan perempuan'. Ini merupakan semangat yang membimbing aktivitas Gereja di seluruh dunia, yang dijalankan oleh para imam, misionaris, dan umat awam, yang dengan dedikasi yang tinggi memberikan dengan bebas diri mereka sendiri, tidak kurang di berbagai institusi pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kesejahteraan sosial, dalam pelayanan kepada orang miskin, sakit, yatim piatu, dan semua yang butuh bantuan dan penghiburan. Berdasar pada 'perhatian lembut' ini Gereja bekerja sama dengan semua institusi yang peduli demi kebaikan individu dan masyarakat.
Pada awal tahun baru ini, saya yakinkan Anda akan kesiapan Takhta Suci, dan secara khusus, Sekretariat Negara, untuk bekerja sama dengan negara-negara Anda dalam memperkuat ikatan persaudaraan yang merupakan pantulan cinta Allah dan dasar kerukunan dan perdamaian. Semoga berkat Tuhan dengan melimpah turun atas Anda, keluarga, dan bangsa yang Anda wakili. Terima kasih."
Sumber:
http://visnews-en.blogspot.com/2014/01/pope-francis-address-to-diplomatic-corps.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar