Sabtu, 24 Mei 2014

Signifikansi Ziarah Paus Fransiskus ke Yerusalem





Ziarah yang dilakukan oleh Paus Fransiskus ke Yerusalem (waktu kunjungan efektif: 24-26 Mei) dilakukan pertama-tama dalam rangka memeringati 50 tahun pertemuan Paus Paulus VI dengan Patriark Konstantinopel Athenagoras di Yerusalem. Seperti yang kita tahu, Gereja Katolik menerima luka perpecahan’ nya yang pertama pada tahun 1054 melalui apa yang disebut Skisma Besar (The Great Schism). Melalui peristiwa ini, Patriark Konstantinopel memutuskan hubungan dengan Paus (“Patriark Latin/Barat” –gelar yang ditanggalkan oleh Paus Emeritus Benediktus XVI), sehingga muncullah “Gereja Ortodoks”.  

Dari sudut pandang doktrinal, dalam dokumen-dokumen gerejawi yang diterbitkan Gereja Katolik pasca Skisma Besar, Gereja Katolik di bawah kepemimpinan penerus Rasul Petrus (Paus), tetap menyebut komunitas Kristiani yang lahir akibat Skisma Besar sebagai (G)ereja Saudari (“Sister Church”).  Hal ini berbeda dengan cara penyebutan yang diterapkan bagi komunitas-komunitas Kristiani pasca Reformasi Luther, di mana komunitas-komunitas tersebut –dari sudut pandang Katolik –hanyalah merupakan “persekutuan gerejawi”  yang tidak membawa serta dalam dirinya hakikat (G)ereja, terlepas dari validitas Sakramen Baptis dalam “persekutuan gerejawi” tersebut yang juga tetap diakui Gereja Katolik dan banyak hal di dalam “persekutuan gerejawi” yang sebenarnya mengarah kepada kesatuan Katolik. Gereja Ortodoks dalam tata laksana gerejawinya tetap mewarisi beberapa karakteristik yang sah dari sebuah Gereja, yaitu utamanya adalah Suksesi Apostolik, Sakramen Imamat, dan Sakramen Ekaristi. Dalam hal suksesi apostolik, Gereja Ortodoks merupakan Gereja yang dibangun berdasarkan suksesi Rasul Andreas. 

Lantas, apa signifikansi dari ziarah Paus Fransiskus ke Yerusalem kali ini?

Dari Sudut Pandang Takhta Suci (Gereja Katolik)

Seperti yang dikemukakan oleh Kardinal Parolin, diharapkan bahwa dengan ziarah kali ini:

  1. Paus menginspirasi “semua pemimpin dan bangsa-bangsa yang berkehendak baik agar mengambil keputusan nyata dalam mengambil jalan damai”.  
  2. Takhta Suci dapat melihat “hak bangsa Israel untuk eksis dan menikmati perdamaian dan keamanan di dalam batas-batas wilayah yang diakui secara internasional, selain itu juga  hak rakyat Palestina untuk dapat memiliki tanah air yang berdaulat dan merdeka, hak untuk bergerak dengan bebas, hak untuk hidup secara bermartabat”.  Perhatikan bahwa (!) Takhta Suci dalam memimpin Gereja Katolik mengambil jalan yang berbeda dari denominasi-denominasi Protestan (utamanya yang beraliran fundamentalis) –yang dalam banyak cara cenderung berpihak penuh pada Israel. Ada perbedaan teologi krusial yang mendasari perbedaan cara pandang ini.  
  3. Takhta Suci dapat mendesak agar “karakteristik kesucian  dan universalitas Yerusalem, serta warisan budaya dan keagamaannya” dapat diakui  “agar menjadi tempat ziarah bagi penganut tiga agama monoteistik”.
  4. Dalam kaitan dengan hubungan antara Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks, ziarah kali ini merupakan upaya ekumenisme yang diamanatkan Konsili Vatikan II yang diharapkan dapat membangkitkan “antusiasme perjalanan ekumenis”.


Dari Sudut Pandang Partiarkat Ekumenis (Gereja Ortodoks)

Patriark Ekumenis Bartolomeus menyimpulkan apa yang hendak dicapai oleh Gereja Ortodoks dengan sangat indah melalui gambaran hubungan persaudaraan Rasul Petrus dan Andreas:
 “Perayaan 50 tahun pertemuan menyejarah antara mendiang Paus Paulus VI dan pendahulu kami Patriark Athenagoras merupakan sebuah kesempatan yang langka untuk memperdalam ikatan persaudaraan antara Petrus dan Andreas, karena kedua takhta kita, dalam hal pendiriannya,  berutang (budi) kepada mereka (berdua). Atas dasar alasan inilah, mengikuti jejak Paus Paulus VI dan Patriark Athenagoras, kami menyampaikan harapan kami untuk mempererat hubungan antara Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks.”

Dalam kaitan dengan Yerusalem:
“Dua ribu tahun yang lalu, adalah di Yerusalem, di mana Cahaya menyingsing dari Makam. Semoga di Yerusalem kembali, bersinar cemerlang cahaya perdamaian, saling percaya, dan cinta persaudaraan, demi kedua Gereja kita, dan demi seluruh dunia.”

Dari Sudut Pandang Negara Israel

Harus dipahami dahulu, bahwa Negara Israel yang berdiri saat ini, didirikan pada tahun 1948 –sehingga dengan demikian bukan penerusan dari Kerajaan Israel yang pernah dipimpin oleh Raja Daud ataupun Raja Salomo.  Tetapi dalam perkembangan sejarah, paham zionisme, utamanya yang diusung oleh Theodor Herzl, akhirnya melahirkan sebuah negara Yahudi yang dideklarasikan pada 14 Mei 1948.
Dalam ziarahnya ke Yerusalem, Paus Fransiskus akan meletakkan karangan bunga di atas makam Theodor Herzl. Dengan demikian, Pemerintah Israel akan memandang kunjungan Paus Fransiskus sebagai bukti pengakuan akan pentingnya negara Israel, seperti yang dikatakan Rabbi Abraham Skorka, rabbi berkebangsaan Argentina sahabat Paus Fransiskus yang diajaknya serta bersama dengan Imam Omar Abboud, pemimpin komunitas Muslim Argentina, “Beliau mengerti pentingnya tanah Israel dan negara Israel bagi orang Yahudi.”

Dari Sudut Pandang Negara Palestina

Sebagaimana Paus Fransiskus menghargai keberadaan negara Israel, ia juga menghargai negara Palestina. Perjalanan dari Yordania, tidak langsung dilanjutkan ke Yerusalem –yang sebenarnya bisa diakses dari Yordania –melainkan dengan helikopter pribadi, Paus akan langsung menuju Betlehem untuk melakukan courtesy visit kepada Presiden Mahmoud Abbas, Presiden Palestina. Menjadikan Betlehem yang berada dalam wilayah Palestina sebagai pintu masuk rute ziarah, secara tidak langsung sudah  mengisyaratkan pengakuan Takhta Suci atas negara Palestina. 

Dr. Nabil Shaath, mantan PM Palestina dan anggota senior Komisi Pusat Fatah mengatakan bahwa, “Gestur apapun yang ia (Paus) buat untuk mendukung perdamaian akan menjadi penting.” Dr.Nabil Shaath juga percaya bahwa kunjungan Paus akan membantu menyediakan solidaritas dan menjadi penyokong moral bagi umat Kristiani di Betkehem dengan “mendukung diakhirinya perebutan wilayah” dan juga dengan menyemangati komunitas Kristiani untuk tetap tinggal di Tanah Suci dan tidak melakukan migrasi ke luar negeri. 

Lebih lanjut, Dr. Nabil Shaath mengatakan bahwa kunjungan Paus akan menghasilkan nilai spritual dan juga menghasilkan pengaruh (pada level politik) untuk “mendukung rakyat Palestina dan Israel dalam perjuangan mereka untuk damai yang berkeadilan”.

-----
Analisis:  
Dari dinamika yang terjadi antara empat entitas, yaitu Gereja Katolik, Gereja Ortodoks, Negara Israel, dan Negara Palestina, sebenarnya dapat dilihat bahwa highlight ziarah Paus Fransiskus ke Yerusalem kali ini pertama-tama adalah demi reunifikasi Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks. 

Walaupun demikian, karena di sisi lain Paus juga memiliki kapasitas sebagai pimpinan negara, ziarah yang dilakukannya mau tidak mau akan diwarnai dengan sentimen politik. Sebagaimana tindakan PM Jepang yang mengunjungi kuil Yasukuni murni untuk penghormatan leluhur namun akhirnya menuai sentimen negatif dari Tiongkok dan Korea, tindakan Paus Fransiskus yang meletakkan karangan bunga di atas makam pencetus Zionisme, kemungkinan dapat menimbulkan kesalahpahaman bagi banyak pihak.  

Seperti yang diungkapkan Rabbi Abraham Skorka, agaknya Paus Fransiskus hanya ingin menunjukkan bahwa beliau juga menghargai aspirasi bangsa Yahudi membentuk negara Israel.  Agaknya perlu dicatat pula bahwa sejak tahun 1993, sejalan dengan Perjanjian Oslo yang ditandatangani Israel dan PLO, Takhta Suci tidak pernah mengakui klaim negara Israel atas Yerusalem. Posisi Takhta Suci mulanya berpijak pada rencana PBB untuk membagi Yerusalem menjadi tiga zona, yaitu zona Palestina, zona  Israel, dan zona Internasional. Namun demikian, Takhta Suci mengubah posisinya pada tahun 1993 dengan tidak lagi mengusung gagasan corpus separatum untuk Yerusalem, melainkan mendukung baik negara Israel maupun negara Palestina untuk memutuskan hal-hal yang menyangkut kedaulatan dengan mengandaikan adanya jaminan internasional untuk dapat secara bebas mengakses semua situs-situs suci.  

Di sisi lain, courtesy visit yang dilakukan kepada Presiden Mahmoud Abbas dan  kunjungan Paus kepada komunitas Kristiani Palestina juga semakin menguatkan posisi Takhta Suci yang tidak memihak siapapun, selain hanya memihak perdamaian.

Bahan bacaan:














Tidak ada komentar:

Posting Komentar