Secara umum, kita mengetahui bahwa unsur konstitutif kenegaraan mencakup adanya: penduduk yang tetap, wilayah tertentu, pemerintah, dan kemampuan untuk masuk ke dalam relasi dengan negara lain. Dari keempat unsur ini, unsur terpenting adalah adanya pemerintah. Keberadaan tiga unsur lainnya dengan sendirinya akan mengikuti. Akan tetapi keempat unsur ini tidak dapat dijadikan parameter ketika kita berbicara mengenai Takhta Suci. Keberadaan Takhta Suci bersama dengan Negara Kota Vatikan yang merupakan dua entitas berbeda namun saling terkait, tidak dapat
serta merta dijelaskan dengan sudut pandang tradisional tentang negara. Dalam tatanan hukum dan hubungan internasional, Takhta Suci memiliki status International Personality sekaligus Subyek Hukum Internasional.
Istilah "Takhta Suci" (Ing: Holy See) merupakan istilah yang lazim digunakan dalam ranah hukum internasional dan hubungan internasional. Kata See berasal dari kata bahasa latin Sedes dan merujuk pada takhta Sto.Petrus. Semua penerus Petrus menduduki takhta ini. Takhta Suci juga merujuk pada keberadaan Paus bersama dengan Kuria Roma (Curia Romana) dalam menjalankan dan mengatur Gereja Katolik.
Istilah "Takhta Suci" (Ing: Holy See) merupakan istilah yang lazim digunakan dalam ranah hukum internasional dan hubungan internasional. Kata See berasal dari kata bahasa latin Sedes dan merujuk pada takhta Sto.Petrus. Semua penerus Petrus menduduki takhta ini. Takhta Suci juga merujuk pada keberadaan Paus bersama dengan Kuria Roma (Curia Romana) dalam menjalankan dan mengatur Gereja Katolik.
Takhta Suci yang kita kenal sekarang, tidak serta merta berada dalam
posisinya yang "megah". Agama Kristen sendiri awal berkembang dari
komunitas kecil yang hidup dalam aniaya selama ratusan tahun di bawah
kepemimpinan seorang dari dua belas murid Yesus, yaitu Petrus. Gereja
Katolik mengimani, seperti yang juga disaksikan oleh Kitab Suci, bahwa hanya kepada Petrus, Yesus
menyerahkan tampuk kepemimpinan Gereja pada tahun 33. Paus pertama Gereja Katolik
tidak hidup dengan "megah", namun justru wafat sebagai martir pada masa
pemerintahan Kaisar Nero. Bagaimana lantas perkembangan agama Kristen?
Agama Kristen yang dipimpin oleh rasul Sto.Petrus ini mendapat angin
segar ketika Kaisar Konstantin naik takhta sebagai Kaisar Romawi, dan
kemudian agama Kristen diresmikan sebagai agama resmi negara. Sejak saat
itu Kaisar dan Pimpinan Gereja hidup berdampingan.Disadari atau tidak,
Gereja Katolik diuntungkan dengan kondisi tersebut. Ketika Kekaisaran
Romawi Barat runtuh, maka rakyat mencari alternatif kepemimpinan. Saat
itulah, posisi Paus mulai "menggantikan" posisi Kaisar Romawi karena
memang tidak bisa dipungkiri banyak Paus yang cukup memiliki keahlian
kepemimpinan dan administratif yang andal. Kondisi seperti inilah yang
kurang lebih terus mewarnai dunia pada abad pertengahan.
Pada awal abad kesebelas, Paus Gregorius VII melakukan transformasi
kekuasaan dan otoritas Takhta Suci. Berbagai penyempurnaan dilakukan
dalam hal kedaulatan Takhta Suci, dan kekuasaan Paus terus meluas,
tentu saja juga ada pengecualian-pengecualian. Takhta Suci menjadi
semacam monarki kecil, dan dipandang dengan rasa hormat oleh
kerajaan-kerajaan sekular. Tercatat beberapa peristiwa penting dalam abad pertengahan seperti
misalnya pernyataan sukarela Raja Inggris Henry IV yang dibuat pada
Oktober 1076, dihadapan Tuhan, Paus, dan Kerajaan, untuk tunduk kepada
Takhta Suci. Pengaruh Takhta Suci yang lain juga nampak pada tahun 1155
ketika Paus Adrian IV mengeluarkan bulla yang mendukung Raja Henry II,
untuk menaklukkan Irlandia. Sementara itu, Paus Bonifasius III
menegaskan primasi kepausan yang dimilikinya terhadap Raja Phillip dari
Prancis pada tahun 1302. Perlahan namun pasti, seiring dengan mantapnya
hubungan Takhta Suci dengan kerajaan-kerajaan sekular, sistem hukum di
banyak kerajaan mulai dibangun, dan ketika kerajaan-kerajaan tersebut
berelasi satu sama lain, mereka tetap mengistimewakan kedudukan Takhta
Suci.
Bagi kita yang hidup di zaman modern, tentunya kondisi yang terjadi
pada abad pertengahan mungkin tak terbayangkan. Namun kondisi pada abad
pertengahan tersebut menjadi masuk akal, mengingat perkembangan ilmu
pengetahuan yang masih terbatas. Belum banyak orang yang bisa membaca.
Kitab Suci belum diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Dalam situasi
dan kondisi seperti ini Gereja Katolik (baca: Takhta Suci) mau tidak mau
diterima sebagai satu-satunya mercusuar moral dunia dan bahkan sumber
ilmu pengetahuan.
Berakhirnya abad pertengahan berakhir dan dimulainya babak penjelajahan dunia baru dan kolonialisasi oleh bangsa-bangsa Eropa yang mengusung semboyan gold, glory, and gospel, membuka peluang bagi Takhta Suci untuk memainkan peran di dunia internasional. Takhta Suci berpartisipasi dalam upaya penaklukkan dunia baru. Tidak bisa disangkal bahwa gerakan penaklukan besar-besaran ini membawa dampak negatif yaitu munculnya perbudakan. Takhta Suci ditengarai berpartisipasi atau setidaknya menjadi penonton bisu ketika terjadi perbudakan. Namun demikian, adalah suara dari dalam Gereja Katolik sendiri yang akhirnya berhasil menunjukkan sikap Takhta Suci terhadap perbudakan. Ketika itu, Paus Paulus III menerbitkan dokumen Sublimus Dei, yang mendesak pihak koloni Eropa untuk mengakui penduduk pribumi sebagai sesama manusia dan bukan obyek perbudakan. Pernyataan sikap Takhta Suci ini tidak lepas dari seorang rohaniwan Dominikan, Fransisco de Vitoria.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar