Jumat, 21 Februari 2014

Intervensi Uskup Agung Francis A. Chullikatt pada Kelompok Kerja PBB (6/2/2014)

Intervensi Y.M. Uskup Agung Francis A. Chullikatt
Nuncio Apostolik dan Pengamat Tetap Takhta Suci untuk PBB

Sesi ke-8 Kelompok Kerja Terbuka tentang Sustainable Development Goals (SDG - Sasaran Pembangunan Berkelanjutan)
“Promosi Kesetaraan, termasuk Kesetaraan Sosial, Jenis Kelamin, dan Pemberdayaan Perempuan”
New York, 6 Februari 2014


Yang Terhormat Rekan Pimpinan Sidang, 

Pembangunan berkelanjutan -selalu didasarkan atas tiga pilar penting- tidak bisa dipisahkan dari perlunya memastikan bahwa keuntungan-keuntungan pembangunan dinikmati secara setara oleh semua anggota keluarga umat manusia. Sejalan dengan itu, prioritas pada urutan pertama,  haruslah tidak ada seorang pun yang tertinggal oleh proses pembangunan global. 

Pada ujung sejarah manusia ini, statistik mengungkapkan kepada kita ketidaksetaraan antara manusia meningkat dari apa yang pernah terjadi. Angka-angka yang muncul dari ketidaksetaraan ekonomi yang muncul dalam World Economic Forum 2014 menggarisbawahi kenyataan kemiskinan, kemelaratan, marjinalisasi, dan penderitaan yang membentuk skandal yang besar. Luputnya perhatian atas ketidaksetaraan, bahkan di dalam Millenium Development Goals (MDGs), telah menimbulkan kerugian dan memunculkan sebuah panggilan untung menyesuaikan rumusan kerangka kerja pembangunan pasca 2015. Development Agenda Synthesis Report melaporkan, sementara faktor-faktor struktural yang melahirkan ketidaksetaraan meluas -termasuk elemen-elemen ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lingkungan,  [1] dampak itu semua bersifat universal. Ketidaksetaraan mengesampingkan manusia dari partisipasi penuh dalam kehidupan komunitas mereka, menyangkal hak mereka untuk menikmati hak asasi manusia secara utuh, sebagaiamana pula peluang-peluang ekonomi dasariah yang situntut oleh martabat manusia.

Ketidaksetaraan global tidak lebih dari ekonomi yang steril atau kepedulian yuridis namun merupakan sepenuhnya krisis manusia yang mengancam kesejahteraan masyarakat umum. Paus Fransiskus telah mengidentifikasi ketidaksetaraan sebagai akar dari penyakit-penyakit sosial, yang menyediakan lahan subur bagi kekerasan, kejahatan, dan konflik. [2] Produk tertinggi dari ketidaksetaraan bukan hanya kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, kekacauan sosial, dan keputusasaan, melainkan sebuah penghancuran progresif atas pabrik masyarakat itu sendiri, dan mengancam kesejahteraan semua. 

Yang Terhormat Rekan Pimpinan Sidang, 
Dalam rangka kemerataan dan kesetaraan, kerangka kerja pembangunan pasca tahun 2015 baik untuk mencegah pendekatan dangkal dalam hal menanggapi akar penyebab ketidaksetaraan, kemiskinan, dan eksklusi. Pendekatan universal tidak melewatkan seorangpun, dan sebuah agenda pembangunan didasarkan secara kuat pada ketiga pilar SDG ini, harus merangkul tujuan-tujuan utamanya: mencapai pembangunan bagi kebaikan seluruh umat manusia, baik antarbangsa maupun di antara bangsa-bangsa, mewujudkan janji yang menyertakan semuanya tanpa pembedaan untuk ikut serta  dalam buah-buah pembangunan. Kemitraan harus diperkuat antara pemerintah lokal dan regional dan masyarakat sipil, termasuk organisasi-organisasi keagamaan, untuk mencapai mereka yang berada di lingkaran terluar masyarakat. 

Yang Terhormat Rekan Pimpinan Sidang, 

Para perempuan dan anak-anak perempuan berdiri mencolok di antara martabat manusia yang sering dilawan. Ini terutama terlihat pada waktu mereka yang paling rauh: ketika mereka menjadi target aborsi seleksi jenis kelamin; atau menjadi subyek pengerdilan dan penelantaran, tidak disekolahkan, subyek mutilasi alat kelamin perempuan, pernikahan paksa, dan trafficking. Kengerian kekerasan rumah tangga, penganiayaan, sterilisasi paksa dan aborsi, mengancam kesehatan dan nyawa para perempuan. Mereka yang berusia lanjut merasa sendiri dan miskin, tanpa keamanan sosial maupun ekonomi. Isu-isu yang melebar dari ketidaksetaraan ini membutuhkan sebuah pendekatan yang menanamkan dan mengamankan kesetaraan perempuan melalui kerangka kerja pembangunan. 
Namun demikian, akan naif apabila menyandingkan kesetaraan dan kesamaan. Pendekatan kepada para perempuan dalam Sasaran Pembangunan Berkelanjutan harus mengakui dan memampukan perempuan untuk menanggulangi penghalang-penghalang kepada kesetaraan tanpa memaksa mereka untuk menanggalkan apa yang esensial bagi mereka. Para perempuan di seluruh dunia tidak hidup dalam keterasingan, namun berada dalam konteks hubungan-hubungan yang menyediakan makna, kekayaan, identitas, dan cinta manusiawi. Hubungan-hubungan mereka, terutama peran mereka dalam keluarga -sebagai ibu, istri, pengasuh- telah berdampak mendalam pada pilihan-pilihan yang dibuat kaum perempuan dan prioritas mereka akan hak-hak yang mereka jalankan selama jangka hidup mereka. 


Dalam perumusan Sasaran Pembangunan Berkelanjutan, komunitas global harus mengesampingkan pendekatan simplistik yang shortfall ekonomi kaum perempuan dan pencapaian-pencapaian publik yang dapat diatasi hanya oleh penolakan terhadap kapasitas prokreasi mereka. Sebuah pendekatan berdasarkan hak kesetaraan perempuan menuntut bahwa masyarakat dan institusi-institusinya menyingkirkan halangan ekonomi dan sosial yang tidak berkeadilan dan memasukkan dikotomi palsu antara hubungan-hubungan yang memperkokoh kehidupan mereka dan partisipasi merela dan capaian-capaian pada hak manusiawi lainnya. Pembangunan bagi  kaum perempuan akan benar-benar berkelanjutan apabila hal tersbut menghormati dan memampukan kaum perempuan untuk memilih dan memprioritaskan tindakan-tindakan mereka menurut peluang-peluang yang serara dalam konteks hubungan keluarga yang nyata yang membingkai hidup mereka, dan bukan terlepas dari itu semua.

Sasaran Pembangunan Berkelanjutan harus menyediakan peluang untuk melawan ketidaksetaraan lewat promosi keterlibatan kaum perempuan atas hal-hal dasariah yang setara  dalam masyarakat tanpa mengabaikan keseluruhan hubungan keluarga di mana perempuan itu berada. Kebijakan buruh harus lebih dari memfasilitasi akses kerja dan menjamin rekonsiliasi antara kerja yang dibayar dengan tanggung jawab keluarga: melalui kebijakan keluarga dan maternitas, dan menjamin bahwa upah yang setara, keuntungan-keuntungan pengangguran, dan dana pensiun cukup untuk sebuah kehidupan keluarga yang berkelanjutan, akses kepada pendidikan yang setara dan pelatihan program vokasi harus mendampingi aturan-aturan yang mengakomodasi kerja keluarga dan pemenuhan kebutuhan. Upaya-upaya yang serius dibutuhkan untuk mendukung perempuan dalam pilihan-pilihan keluarga mereka. Partisipasi sipil harus dirancang untuk mengakomodasi partispasi semua perempuan, termasuk mereka yang memiliki tanggung jawab keluarga. 

Yang Terhormat Rekan Pimpinan Sidang,
Langkah-langkah untuk menghapuskan ketidaksetaraan dalam kerangka kerja Pembangunan Berkelanjutan harus menjamin bahwa setiap anggota keluarga umat manusia mengambil keuntungan pembangunan internasional. Melalui agenda pembangunan yang sungguh inklusif, yang menempatkan mereka yang tersisih pada posisi pertama, keluarga bangsa-bangsa dapat menjamin bahwa status manusia pada waktu lahir (tentunya juga sebelum lahir) tidak lagi diizinkan untuk menentukan taraf di mana mereka dapat mewujudkan hak-hak kesetaraan dan ketidakterasingan yang mereka warisi dari martabat manusiawi mereka.

Terima kasih Yang Terhormat Rekan Pimpinan Sidang. 


[1] UNICEF and UN Women, 2013. Addressing Inequalities: Synthesis Report of Global Public Consultation.  
[2] Apostolic Exhortation of Pope Francis, Evangelii gaudium, n. 202.

Sumber:
http://holyseemission.org/statements/statement.aspx?id=453

Uskup Agung Parolin: Sekretaris Negara Vatikan Akan Diangkat Menjadi Kardinal

Uskup Agung Pietro Parolin
Uskup Agung Pietro Parolin, Sekretaris Negara Vatikan, akan diangkat menjadi kardinal pada 22 Februari. Menurut sebuah wawancara baru-baru ini ia "sangat mengidentifikasikan (dirinya)" dengan gaya kepemimpinan Paus Fransiskus. 
"Sekretariat Negara .... harus memiliki hati dan kesediaan yang menyeluruh bagi pertobatan pastoral yang diusung oleh paus Fransiskus," tutur Uskup Agung Parolin kepada Stefania Falasca dari Avvenire dalam sebuah wawancara pada saat konferensi pers harian para Uskup Italia.

"Sepantasnyalah, (Sekretariat Negara) harus menjadi, dalam arti tertentu, sebuah teladan bagi seluruh Gereja," tambahnya. Departemen (-setingkat kementerian, ed) Negara Vatikan harus "bersinar dengan intensitas yang khusus, dalam orang-orang yang berada di belakangnya, dan aktivitas-aktivitas yang dilakukannya" dengan tiga kualitas yang dirinci Paus Fransiskus dalam pesan Natalnya kepada Kuria Roma: "profesionalisme, pelayanan, dan kesucian hidup."

Uskup Agung Parolin kembali ke Roma setelah bertugas selama empat tahun sebagai nuncio apostolik (duta besar) untuk Venezuela. Namun demikian, ia mengenal Kuria Roma dengan baik, karena ia telah mengabdi di ekretariat Negara selama 20 tahun.
Ia dilahirkan di Italia utara pada tahun 1955, dan merupakan anak dari seorang ayah yang menghadiri misa harian serta membuka toko perkakas dan mesin pertanian. Ibunya merupakan seorang guru SD. Ayahnya meninggal ketika Pietro berumur 10 tahun, dalam sebuah kecelakaan mobil. 

Uskup Agung Parolin melakukan pelayanan sebagai putra altar ketika masih kecil, dan panggilan imamatnya diteguhkan oleh pastornya, Rm.Augusto Fornasa.
Pada tahun 1969, ia masuk seminari, dan menerima tahbisan imamat sebagai imam diosesan Keuskupan Vicenza pada tahun 1980, di mana ia mengabdi selama dua tahun sebagai vikaris paroki. 

Uskup Agung Parolin kemudian dikirim untuk studi hukum kanonik di Universitas Kepausan Gregoriana, dan pada tahun 1983 dipindahkan ke Akademi Gerejawi Kepausan (Pontifical Ecleciastical Academy), yang mendidik korps diplomatik Vatikan. 
Pada tahun 1986, ia menyelesaikan pendidikan hukum kanoniknya, dan memulai pelayanan diplomatik. Pertama sebagai nuncio untuk Nigeria, kemudian Meksiko, di mana ia berkontribusi bagi pengakuan yuridis untuk Gereja di sana, dan bagi pembukaan hubungan diplomatik antara Takhta Suci dan Meksiko.

Uskup Agung Parolin, dipanggil kembali ke Roma pada tahun 1992 untuk bekerja di Sekretariat Negara, menangani dokumen-dokumen mengenai Spanyol dan Indonesia, dan juga hubungan dengan Italia. 
Pada tahun 2002, Uskup Agung Parolin ditunjuk sebagai undersecretary untuk hubungan dengan negara-negara, dan menangani dokumen-dokumen mengenai Israel, Vietnam, dan Tiongkok.

Hubungan Takhta Suci dengan Vietnam dan Tiongkok membaik di bawah kepemimpinannya. Benediktus XVI mengirim sebuah surat ke umat Katolik di Tiongkok pada tahun 2007, dan Uskup Agung Parolin mengunjungi Beijing dua kali untuk memimpin delegasi Takhta Suci pada sebuah pembicaraan resmi dengan pemerintahTiongkok mengenai kondisi umat Katolik di negara tersebut.

Ia kemudian ditunjuk sebagai nuncio untuk Venezuela pada tahun 2009, dan menahbiskan seorang Uskup. Dalam wawancara dengan Avvenire, ia menegaskan bahwa diplomasi adalah "sebuah alat untuk pelayanan misi Gereja," dalam hubungannya dengan kemerdekaan beragama dan perdamaian dunia. Dalam dunia yang pluralistik, diplomasi Takhta Suci harus "mendampingi manusia dan bangsa-bangsa untuk menyadari bahwa perbedaan mereka merupakan sebuah aset dan sebuah sumber daya," membantu mereka untuk"membangun dunia yang manusiawi dan bersaudara, yang di dalamnya ada ruang bagi setiap orang, khususnya bagi yang terlemah dan paling rapuh."

Uskup Agung Parolin merupakan satu di antara 19 orang yang akan diangkat menjadi Kardinal di Vatikan pada akhir bulan ini. Ia merupakan satu dari tiga orang yang diangkat menjadi kardinal dengan pertimbangan pengabdian mereka bagi Kuria Roma. 

Sumber:
http://vassallomalta.wordpress.com/2014/02/20/archbishop-parolin-vatican-secretary-of-state-soon-cardinal/#more-24658

Selasa, 18 Februari 2014

Anggota Parlemen Eropa Bersumpah Berjuang Sekuat Tenaga Menghapus Hukum Eutanasia Anak


Dalam sebuah wawancara dengan Avvenire, Luca Volonte, anggota berkebangsaan Italia dari  Parliamentary Assembly of the Council of Europe, menentang hukum baru tersebut, dan menyebutnya langkah ke arah yang salah.  "Kita tidak bisa berputar balik. Hukum yang membolehkan euthanasia bagi anak-anak merupakan langkah mundur di awal abad ke 20, ketika budaya eugenik seluas negara memicu tragedi-tragedi memilukan yang kita semua tahu," kata Volonte. 

Politisi Italia ini, yang berpartisipasi dalam malam renungan dalam rangka perlawanan terhadap hukum tersebut, sekarang menyampaikan dukungannya melalui sebuah petisi yang diusung oleh "CitizenGo" yang akan diajukan kepada Raja Phillipe (Belgia). Petisi tersebut menyarankan agar raja tidak menandatangani aturan hukum yang kontroversial itu. 
Volonte berkata bahwa hukum tersebut melahirkan "konsensus" bagi anak 4-5 tahun, sambil berpendapat bahwa konsensus tersebut dibuat di bawah tekanan dari komisi ahli yang memerikasa pengajuan permohonan eutanasia. 

"Setiap orang tahu bahwa sebelum menginjak 10 tahun, anak-anak belum memahami konsep kematian, banyak para pediatris dan psikolog anak yang menyatakan demikian. Banyak di antara mereka, tidak secara kebetulan menentang hukum tersebut, " katanya. 
Terlepas dari dukungan luas terhadap hukum tersebut di Parleman, Volonte menyatakan harapannya, agar suara rakyat Belgia dapat mengalahkan dukungan tersebut. Politisi Italia ini berkata bahwa jajak pendapat mengindikasikan bahwa 55% rakyat Belgia menentang hukum tersebut. "Pendek kata, rakyat Belgia, sudah mengalami kebangkitan kembali," katanya. 

Menyoal kampanye petisi yang akan diajukan kepada raja Belgia, Volonte berkata bahwa Raja Phillipe dapat mengirim kembali aturan hukum tersebut ke parlemen. "Hukum yang memalukan ini", katanya, diajukan oleh kelompok mayoritas, yang di atas segalanya, dalam beberapa bulan ke depan, tidak akan berada di sana lagi." Jika aturan hukum tersebut dikirim kembali ke parlemen, Parlemen Belgia nampaknya akan sangat mungkin tidak dapat meng-gol-kan aturan hukum tersebut jelang pemilu. 
Volonte yang juga adalah ketua Institut Dignitatis Humanae, juga mengangkat kemungkinan tekanan internasional terhadap aturan hukum tersebut, yang menurutnya, (berada dalam posisi menentang praktik-praktik eugenik yang telah dilarang keras oleh PBB.

Eugenik merupakan teori meningkatkan kualitas genetik, yang mengedepankan promosi pemilihan genetik yang dikehendaki dalam reproduksi sambil mengurangi jejak genetik yang negatif. Salah satu pendukung filosofi eugenik adalah Adolf Hitler, yang mencita-citakan "ras unggul" yang membawa pada sterilisasi dan pembunuhan jutaan nyawa. 
"Cukuplah sebuah intervensi internasional melawan pembantaian terhadap mereka yang dianggap "sampah manusia" yang hendak dienyahkan. Bagaimanapun, bukan hanya anak-anak, tapi juga banyak orang dewasa -di Belgia ada sejumlah kasus- yang melakukan eutanasia tanpa persetujuan dari mereka (sendiri)," katanya.

Sumber:
http://vassallomalta.wordpress.com/2014/02/18/european-parliamentarian-vows-to-fight-to-the-end-child-euthanasia-law/#more-24626

Sabtu, 15 Februari 2014

Geger Laporan Limabelas Halaman PBB yang Ditujukan pada Takhta Suci



Berikut adalah beberapa fakta mengenai laporan 15 halaman yang dibuat PBB untuk Takhta Suci:

1. Laporan tersebut memuat serangkaian tuduhan terhadap Takhta Suci tanpa bukti pendukung dalam bentuk catatan kaki, catatan akhir, atau sumber apapun. Dengan kata lain, dugaan dangkal tanpa argumen aatu bukti. Begi mereka yang mempelajari sejarah, istilah "Stalinisme" pasti langsung terpikirkan. 

2. PBB meminta Takhta Suci mematuhi otoritas PBB tidak hanya soal hak anak tapi juga soal homoseksualitas dan aborsi.

3. PBB menuntut Gereja Katolik untuk melakukan pengubahan atas Kitab Hukum Kanonik (KHK) dan menyesuaikannya dengan kebijakan dan ideologi PBB.

4. Laporan tersebut menyatakan bahwa Takhta Suci harus "mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menarik semua reservasi dan memastikan preseden-preseden dalam Konvensi PBB (diterapkan) dalam hukum dan regulasi internal".

5. Poin no.4 diperjelas dengan kalimat: "Komisi merekomendasikan agar Takhta Suci melakukan tinjauan ulang yang komprehensif pada kerangka kerjanya yang normatif, secara khusus Hukum Kanonik, dengan maksud memastikan kesesuaiannya yang utuh dengan Konvensi."

6. Laporan tersebut menuntut agar sekolah-sekolah Katolik mengubah buku pelajaran sehingga tidak ada lagi "stereotipe jenis kelamin".

7. Laporan tersebut menuntut agar Takhta Suci memulai awareness programs bagi mereka yang bekerja dengan anak-anak. (Tapi tidak disebutkan kasus yang melibatkan anak-anak di komunitas agama lain dan sekolah-sekolah negeri, di mana kasus-kasus ini sebagian besar tidak terlaporkan.)

8. Laporan tersebut menuntut Takhta Suci untuk melakukan amandemen terhadap Hukum Kanonik dan hukum Negara Kota Vatikan dalam rangka "mengakhiri hukuman badan (corporal punishment)". (Poin ini sebenarnya sangat membuat kita tertawa karena sepertinya PBB lebih sibuk mengurusi "Suster Mary Alice" yang memakai penggaris untuk menertibkan murid-muridnya ketimbang 10.000 anak-anak Suriah yang dibunuh dan disiksa selama tiga tahun terakhir.)

9. Laporan tersebut meminta Gereja Katolik untuk menghapus baby boxes. (Kotak yang ditaruh di panti asuhan tempat para ibu dapat meletakkan bayi yang tidak bisa mereka rawat). Apa alternatif baby boxes? Tidak lain adalah aborsi.

10. Takhta Suci dan Gereja Katolik dalam waktu dekat akan dipanggil menghadap Mahkamah Internasional untuk menyampaikan sejarah kejahatan terhadap anak-anak.

Bahan bacaan:
https://www.catholic.org/national/national_story.php?id=54141

Kamis, 13 Februari 2014

Materialisme: Penolakan terhadap Faktor-faktor Kristianitas dalam Perang Dunia I



Seorang akademisi dan penulis, George Weigel, mengungkapkan bahwa Perang Dunia I (PD I) disebabkan dan diperpanjang tidak hanya oleh geliat politik dan aliansi-aliansi antarbenua yang kompleks, tetapi juga oleh materialisme, Sosio-Darwinisme, dan penolakan akan Kristianitas.
Kondisi-kondisi budaya yang melatarbelakangi PD I, menurutnya, masih merupakan pelajaran yang berharga bagi kita saat ini. PD I bermula dan berlanjut "bukan sebagai bagian kecil, karena 'manusia telah melupkan Allah' " kata Weigel mengutip penulis Rusia, Aleksandr Solzenitsyn.

Dunia Eropa selama perang, lanjutnya, merupakan salah satu "yang melaluinya dipercaya secara luas bahwa orang-orang Eropa, para ahli peradaban maju dunia, dapat menciptakan dunia dan masa depan tanpa Allah-nya Kitab Suci." Namun apa yang sebenarnya mereka buktikan, katanya, "adalah bahwa mereka dapat membangun dunia melawan sesama di antara mereka, yang merupakan dunia tanpa masa depan."

Weigel menyampaikan Kuliah tahunan William E. Simon -di mana Ethics and Public Policy Center menjadi tuan rumah- pada 6 Februari di Washington D.C.
Apa yang disampaikannya fokus pada peran penting yang dimiliki PD I dalam mempelajari abad 20. Dikenal sebagai "Perang BEsar" katanya, PD I merupakan peristiwa signifikan tidak hanya dilihat dari cakupan global yang tidak pernah ada sebelumnya dan hilangnya nyawa, tetapi juga karena perang tersebut "secara gambar virtual (merupakan) segala dinamika yang bertanggung jawab dalam membentuk sejarah dunia dan budaya antara Agustus 1914 dan Agustus 1991".
Perang tersebut, yang diikuti lebih dari 65 juta tentara, meletupkan baik "tindakan besar valor" dan kekejaman seperti penggunaan gas beracun yang "menimbulkan pertanyaan etis yang mendalam tentang perang, nasionalisme, dan penilaian moral dalam urusan politik dan militer," kata Weigel.
Penafsiran terhadap perang telah memiliki rentang dari "tindakan kasat mata pembunuhan peradaban yang tidak dapat dimengerti" hingga "sebuah karya kekejaman penting yang harus dilakukan untuk mencegah militerianisme Jerman mendominasi Eropa secara politis maupun ekonomis," cermatnya.

Ketika pertanyaan mengapa perang tersebut bermula, menjadi perdebatan di berbagai buku, akademisi itu berkata, "saatnya untuk mempertimbangkan pertanyaan yang berbeda, jarang dieksplorasi namun tak kalah penting: 'mengapa Perang Besar berlanjut'?" Pada awal perang, "ada lebih dari cukup yang harus disalahkan," jelasnya, menunjuk pada pembunuhan Putra Mahkota Austria Franz Ferdinand oleh seorang radikalis Serbia, Gavrilo Princip, sebagai peristiwa pemicu perang, melalui berbagai aliansi dan salah perhitungan yang terjadi di seluruh benua Eropa.
Nasionalisme Serbia yang intens, kegagalan diplomatik Austria,  hubungan volatile yang sudah terjalin antara Jerman dan Rusia,  aliansi Perancis dan Rusia dan instabilitas di Inggris Raya, turut memiliki andil dalam tenggelamnya Eropa ke dalam perang global, tambahnya. 

Bagaimanapun, berlanjutnya perang, kata Weigel, lebih merupakan produk standoff ideologis ketimbang persaingan militer, mengingat dapat terlihat dengan segera bahwa "tidak mungkin menang dengan cepat; dan sebuah perang attrition menjadi tak terhindarkan, ideologi yang menuntun Eropa juga membawa negara-negara terus berkonflik dan menumpahkan darah. 

Salah satu kekuatan yang paling berpengaruh adalah teori evolusi Charles Darwin, yang "nampaknya mempengaruhi politik seperti halnya ilmu pengetahuan dan agama," ujarnya sambil menjelaskan bahwa "Xenofobia dan teori-teori rasisme bangsa" lahir dari Sosio-Darwinisme, mewarnai konflik dengan bobot perang yang lebih besar demi kemenangan ras.

Salah pemahaman akan teori ilmiah melebur dengan "irrasionalisme (Friedrich Nietzche) dan pernyataannya tentang matinya Tuhan, catatannya akan regenerasi melalui penghancuran, dan mungkin, di atas segalanya, perayaannya akan kehendak untuk berkuasa," tambah akademisi tersebut.
Hasil kombinasinya adalah perspektif "lethal" yang menafsirkan penyebab-penyebab teknologi militer mutakhir PD I debagai "bukti kehendak untuk memperpanjang penderitaan dan kehilangan," dan dengan demikian kehendak untuk bertahan dan menang, katanya. 

Xenofobia dan fatalisme sejarah ditambahkan pada  "memakan bulat-bulat kehormatan yang telah lama membentuk politik Eropa dan warmaking", dan menemukan kembali ide akan kehormatan untuk menjalankan kekejaman yang lebih besar. 

Erosi restraint ini mendapat mengaruh besar dari penolakan "otoritas agama tradisional" yang dihormati tidak hanya sebagai "struktur-strukutur otoritas dalam berbagai gereja" tetapi terbangun dalam "konsep Kristen terhadap kondisi manusia dan kehidupan moral," jelas Weigel. 

Ide postivisme didasarkan pada apa yang dapat diajarkan sains secara empiris, subyektivitas pengalaman manusia, dan materialisme yang menolak spiritualitas yang kemudian dicampur dengan "kehendak untuk berkuasa" nya Nietzsche, katanya mengesampingkan "pemahamam biblis dan teologis apapun tentang kehidupan publik dan tanggung jawab politis."

Pada saat yang sama, penekanan yang terus terjadi terhadap harga diri bangsa, bahkan di dalam gereja-gereja, menggantikan pemahaman budaya yang sudah berabad-abad tentang pribadi manusia, dan asal serta takdir umat manusia, yang telah mengikat otoritas politik kepada otoritas yang lebih tinggi. 

"Jadi," tambahnya, "dunia yang dikecewakan mengarah pada ketidakmanusiawian dalam skala yang tak terbayangkan sebvelumnya pada Perang Dunia - dan kemudian bahkan melahirkan kengerian yang lebih parah dalam komunisme dan sosialisme nasionalis Jerman."

Dunia modern memiliki banyak hal yang dapat dipelajari dari PD I, Weigel mengingatkan. Dengan memelajari Perang Besar, kita dapat melihat konsekuensi  yang dihasilkan dari erosi budaya Kristianitas. 
Ketika dunia yang berpusatkan pada Tuhan digantikan oleh nasionalisme, Sosio-Darwinisme, dan 'kehendak untuk berkuasa, sebuah perasaan ngeri muncul, "yang di dalamnya sebuah bangsa menjadi tidak manusiawi". Ide-ide yang melatarbelakangi Perang Dunia I memainkan "peranan penting dalam menciptakan kondisi moral dan budaya bagi kemungkinan (meletusnya) Perang Besar," Weigel menekankan, dna studi terhadap ide-ide tersebut menawarkan "pelajaran-pelajaran yang dapat direnungkan selama ratusan tahun dan seterusnya."

Sumber:
http://vassallomalta.wordpress.com/2014/02/11/materialism-rejection-of-christianity-factors-in-world-war-i-2/

Minggu, 09 Februari 2014

Sunday Breeze (2/9/2014)



My Self

Who is my self ?
“My self” is not the profession I’m doing
“My self” is not the respect people give to me
“My self” is not a satisfaction feeling of what I have achieved
“My self” is not all the good deed I did
“My self” is not about the measurement of what I have now
“My self” is not what people say about me
“My self” is not the wonderful dreams I want to realize
“My self” is not artificial proud of the past
“My self” is not a social status
“My self” is not about doing something which is anti-main stream for the sake of being anti-main stream person only

If people recognize the salt from its salty taste, then on what base “my self” should be recognized?

Have I found the base of my dignity?

I hope that I never forget to always seek “my true self”.

© Rafael Satria 2014

 
-------------------------------------------------------

Eucharistic readings (5th Ordinary Sunday):
Is 58:7-10
1 Cor 2:1-5
Mat 5:13-16

Sabtu, 08 Februari 2014

Takhta Suci Akan Merespon Observasi Akhir Komisi PBB untuk Hak Anak


Pada 6 Februari 2014, Uskup Agung Silvano Tomasi, Pengamat Tetap Takhta Suci untuk PBB di Jenewa, mengomentari simpulan observasi Komisi PBB untuk Hak Anak, yang merupakan observasi yang sangat penting terkait isu penganiayaan anak oleh para imam dan tindakan-tindakan yang diambil oleh Vatikan dan Takhta Suci mengenai masalah ini. Observasi tersebut juga mengusulkan revisi Gereja terhadap beberapa pokok  ajaran seperti kontrasepsi dan aborsi.

"Kesan pertama saya, kita harus menunggu, membaca dengan penuh perhatian dan menganalisa dengan rinci apa yang para anggota Komisi ini telah tulis," komentar sang nuncio. "Namun reaksi pertama saya adalah terkejut, karena aspek-aspek negatif dari dokumen yang telah mereka hasilkan dan sepertinya nampak bahwa itu sudah disiapkan sebelumnya dengan delegasi Takhta Suci, yang telah diberikan dalam respon yang rinci dan tepat terhadap berbagai poin, tidak dilaporkan pada dokumen akhir ini atau setidaknya nampak tidak dengan serius dipertimbangkan. Nyatanya, dokumen itu terlihat bukan dokumen yang termutakhirkan, mengingat apa yang telah, sepanjang tahun-tahun terakhir, dilakukan oleh Takhta Suci, dengan ukuran-ukuran yang diambil langsung dari otoritas Negara Kota Vatikan dan dalam berbagai negara oleh Konferensi Uskup. Dengan demikian kurang mencantumkan perspektif yang tepat dan termutakhirkan, yang pada kenyataannya telah mengalami perubahan dalam hal perlindungan anak, yang mana menurut saya, sulit ditemukan pada tingkat yang sama pada institusi ataupun negara lain. Ini merupakan persoalan fakta, bukti, yang tidak bisa didistorsi!"

Menyoal reaksi Takhta Suci terhadap dokumen tersebut, Uskup Agung memastikan bahwa "Takhta Suci akan merespon, karena Takhta Suci merupakan anggota, suatu State yang merupakan bagian dari Konvensi. Takhta Suci telah meratifikasi dan mengobservasi dokumen tersebut dalam semangat dan panduan Konvensi, tanpa menambahkan ideologi atau imposition yang berada di luar Konvensi itu sendiri.  Sebagai contoh, dalam Preamble, Konvensi Perlindungan Anak berbicara tentang pembelaan terhadap kehidupan dan perlindungan anak sebelum dan sesudah kelahiran, yang mana rekomendasinya diusulkan pada Takhta Suci untuk mengubah posisinya soal aborsi! Tentu saja, ketika seorang anak dibunuh, ia tidak lagi mempunyai hak! Dengan demikian ini nampak bagi saya sebagai kontradiksi yang nyata terhadap tujuan fundamental Konvensi ini, yaitu perlindungan anak. Komisi ini tidak melakukan pelayanan yang baik pada PBB, berharap untuk menggiring dan meminta Takhta Suci untuk mengubah ajarannya yang tidak bisa dinegosiasi! Jadi, sedih untuk melihat bahwa Komisi ini tidak menangkap dengan dalam, kodrat dan fungsi Takhta Suci, yang bagaimanapun, telah menyatakan dengan jelas pada Komisi, keputusannya untuk menaati permohonan Konvensi tentang hak-hak anak, tapi sambil mendefinisikan dengan jelas dan melindungi, pertama-tama, nilai fundamental yang memberikan perlindungan yang nyata dan efektif bagi anak."

Pengamat Takhta Suci juga mengomentari fakta bahwa PBB telah berkata suatu kali bahwa Vatikan telah merespon lebih baik dibandingkan dengan negara lain dalam hal perlindungan anak-anak, dan menyoal pengubahan opini yang dinyatakan dalam dokumen yang terbit kemarin (5/2), ia berkata, "Pengantar pada laporan akhir mengakui kejelasan jawaban yang diberikan, tidak ada upaya-upaya untuk mencegah permohonan yang dibuat oleh Komisi, berdasarkan pada bukti yang tersedia, dan ketika tidak ada informasi langsung, kami telah menjanjikan untuk menyediakannya di masa mendatang, sesuai arahan Takhta Suci, sebagaimana pula dilakukan negara-negara lain. Jadi, terlihat sebagai dialog konstruktif dan saya pikir seharusnya tetap demikian. Dengan demikian, mengingat kesan yang diterima melalui dialog langsung oleh delehgasi Takhta Suci dan Komisi, dan teks simpulan serta rekomendasi, kami tergoda untuk berkata bahwa mungkin teks yang telah ditulis tersebut, tidak mencerminkan input dan kejelasan, ketimbang penambahan yang licik, yang telah ditawarkan padanya. Jadi kami harus dengan tenang dan dengan berbasis bukti -karena kami tidak memiliki apapun untuk disembunyikan!- mengajukan penjelasan mengenai posisi Takhta Suci, menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang masih ada, sehingga tujuan fundamental yang dikejar -perlindungan anak- dapat tercapai. Kita berbicara mengenai 40  juta kasus penganiayaan anak di dunia, dan sayangnya beberapa kasus tersebut -bahkan jumlahnya kecil dibandingkan dengan semua penganiayaan yang terjadi di dunia - mempengaruhi orang-orang dalam Gereja. Dan Gereja telah merespon dan bereaksi, serta akan terus begitu! Kita harus memperjuangkan kebijakan transparansi, yang tanpa toleransi terhadap penganiayaan, sebab bahkan (penambahan) satu kasus pun sudah terlalu banyak!"

Sumber:


http://visnews-en.blogspot.com/2014/02/archbishop-tomasi-holy-see-will-respond.html