Intervensi Y.M. Uskup Agung Francis
A. Chullikatt
Nuncio Apostolik dan Pengamat Tetap Takhta Suci untuk PBB
Sesi ke-8 Kelompok Kerja Terbuka tentang Sustainable Development Goals (SDG - Sasaran Pembangunan Berkelanjutan)
“Promosi Kesetaraan, termasuk Kesetaraan Sosial, Jenis Kelamin, dan Pemberdayaan Perempuan”
New York, 6 Februari 2014
Yang Terhormat Rekan Pimpinan Sidang,
Pembangunan berkelanjutan -selalu didasarkan atas tiga pilar penting- tidak bisa dipisahkan dari perlunya memastikan bahwa keuntungan-keuntungan pembangunan dinikmati secara setara oleh semua anggota keluarga umat manusia. Sejalan dengan itu, prioritas pada urutan pertama, haruslah tidak ada seorang pun yang tertinggal oleh proses pembangunan global.
Pada ujung sejarah manusia ini, statistik mengungkapkan kepada kita ketidaksetaraan antara manusia meningkat dari apa yang pernah terjadi. Angka-angka yang muncul dari ketidaksetaraan ekonomi yang muncul dalam World Economic Forum 2014 menggarisbawahi kenyataan kemiskinan, kemelaratan, marjinalisasi, dan penderitaan yang membentuk skandal yang besar. Luputnya perhatian atas ketidaksetaraan, bahkan di dalam Millenium Development Goals (MDGs), telah menimbulkan kerugian dan memunculkan sebuah panggilan untung menyesuaikan rumusan kerangka kerja pembangunan pasca 2015. Development Agenda Synthesis Report melaporkan, sementara faktor-faktor struktural yang melahirkan ketidaksetaraan meluas -termasuk elemen-elemen ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lingkungan, [1] dampak itu semua bersifat universal. Ketidaksetaraan mengesampingkan manusia dari partisipasi penuh dalam kehidupan komunitas mereka, menyangkal hak mereka untuk menikmati hak asasi manusia secara utuh, sebagaiamana pula peluang-peluang ekonomi dasariah yang situntut oleh martabat manusia.
Ketidaksetaraan global tidak lebih dari ekonomi yang steril atau kepedulian yuridis namun merupakan sepenuhnya krisis manusia yang mengancam kesejahteraan masyarakat umum. Paus Fransiskus telah mengidentifikasi ketidaksetaraan sebagai akar dari penyakit-penyakit sosial, yang menyediakan lahan subur bagi kekerasan, kejahatan, dan konflik. [2] Produk tertinggi dari ketidaksetaraan bukan hanya kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, kekacauan sosial, dan keputusasaan, melainkan sebuah penghancuran progresif atas pabrik masyarakat itu sendiri, dan mengancam kesejahteraan semua.
Yang Terhormat Rekan Pimpinan Sidang,
Dalam rangka kemerataan dan kesetaraan, kerangka kerja pembangunan pasca tahun 2015 baik untuk mencegah pendekatan dangkal dalam hal menanggapi akar penyebab ketidaksetaraan, kemiskinan, dan eksklusi. Pendekatan universal tidak melewatkan seorangpun, dan sebuah agenda pembangunan didasarkan secara kuat pada ketiga pilar SDG ini, harus merangkul tujuan-tujuan utamanya: mencapai pembangunan bagi kebaikan seluruh umat manusia, baik antarbangsa maupun di antara bangsa-bangsa, mewujudkan janji yang menyertakan semuanya tanpa pembedaan untuk ikut serta dalam buah-buah pembangunan. Kemitraan harus diperkuat antara pemerintah lokal dan regional dan masyarakat sipil, termasuk organisasi-organisasi keagamaan, untuk mencapai mereka yang berada di lingkaran terluar masyarakat.
Yang Terhormat Rekan Pimpinan Sidang,
Para perempuan dan anak-anak perempuan berdiri mencolok di antara martabat manusia yang sering dilawan. Ini terutama terlihat pada waktu mereka yang paling rauh: ketika mereka menjadi target aborsi seleksi jenis kelamin; atau menjadi subyek pengerdilan dan penelantaran, tidak disekolahkan, subyek mutilasi alat kelamin perempuan, pernikahan paksa, dan trafficking. Kengerian kekerasan rumah tangga, penganiayaan, sterilisasi paksa dan aborsi, mengancam kesehatan dan nyawa para perempuan. Mereka yang berusia lanjut merasa sendiri dan miskin, tanpa keamanan sosial maupun ekonomi. Isu-isu yang melebar dari ketidaksetaraan ini membutuhkan sebuah pendekatan yang menanamkan dan mengamankan kesetaraan perempuan melalui kerangka kerja pembangunan.
Namun demikian, akan naif apabila menyandingkan kesetaraan dan kesamaan. Pendekatan kepada para perempuan dalam Sasaran Pembangunan Berkelanjutan harus mengakui dan memampukan perempuan untuk menanggulangi penghalang-penghalang kepada kesetaraan tanpa memaksa mereka untuk menanggalkan apa yang esensial bagi mereka. Para perempuan di seluruh dunia tidak hidup dalam keterasingan, namun berada dalam konteks hubungan-hubungan yang menyediakan makna, kekayaan, identitas, dan cinta manusiawi. Hubungan-hubungan mereka, terutama peran mereka dalam keluarga -sebagai ibu, istri, pengasuh- telah berdampak mendalam pada pilihan-pilihan yang dibuat kaum perempuan dan prioritas mereka akan hak-hak yang mereka jalankan selama jangka hidup mereka.
Dalam perumusan Sasaran Pembangunan Berkelanjutan, komunitas global harus mengesampingkan pendekatan simplistik yang shortfall ekonomi kaum perempuan dan pencapaian-pencapaian publik yang dapat diatasi hanya oleh penolakan terhadap kapasitas prokreasi mereka. Sebuah pendekatan berdasarkan hak kesetaraan perempuan menuntut bahwa masyarakat dan institusi-institusinya menyingkirkan halangan ekonomi dan sosial yang tidak berkeadilan dan memasukkan dikotomi palsu antara hubungan-hubungan yang memperkokoh kehidupan mereka dan partisipasi merela dan capaian-capaian pada hak manusiawi lainnya. Pembangunan bagi kaum perempuan akan benar-benar berkelanjutan apabila hal tersbut menghormati dan memampukan kaum perempuan untuk memilih dan memprioritaskan tindakan-tindakan mereka menurut peluang-peluang yang serara dalam konteks hubungan keluarga yang nyata yang membingkai hidup mereka, dan bukan terlepas dari itu semua.
Sasaran Pembangunan Berkelanjutan harus menyediakan peluang untuk melawan ketidaksetaraan lewat promosi keterlibatan kaum perempuan atas hal-hal dasariah yang setara dalam masyarakat tanpa mengabaikan keseluruhan hubungan keluarga di mana perempuan itu berada. Kebijakan buruh harus lebih dari memfasilitasi akses kerja dan menjamin rekonsiliasi antara kerja yang dibayar dengan tanggung jawab keluarga: melalui kebijakan keluarga dan maternitas, dan menjamin bahwa upah yang setara, keuntungan-keuntungan pengangguran, dan dana pensiun cukup untuk sebuah kehidupan keluarga yang berkelanjutan, akses kepada pendidikan yang setara dan pelatihan program vokasi harus mendampingi aturan-aturan yang mengakomodasi kerja keluarga dan pemenuhan kebutuhan. Upaya-upaya yang serius dibutuhkan untuk mendukung perempuan dalam pilihan-pilihan keluarga mereka. Partisipasi sipil harus dirancang untuk mengakomodasi partispasi semua perempuan, termasuk mereka yang memiliki tanggung jawab keluarga.
Yang Terhormat Rekan Pimpinan Sidang,
Langkah-langkah untuk menghapuskan ketidaksetaraan dalam kerangka kerja Pembangunan Berkelanjutan harus menjamin bahwa setiap anggota keluarga umat manusia mengambil keuntungan pembangunan internasional. Melalui agenda pembangunan yang sungguh inklusif, yang menempatkan mereka yang tersisih pada posisi pertama, keluarga bangsa-bangsa dapat menjamin bahwa status manusia pada waktu lahir (tentunya juga sebelum lahir) tidak lagi diizinkan untuk menentukan taraf di mana mereka dapat mewujudkan hak-hak kesetaraan dan ketidakterasingan yang mereka warisi dari martabat manusiawi mereka.
Terima kasih Yang Terhormat Rekan Pimpinan Sidang.
[1]
UNICEF and UN Women, 2013. Addressing
Inequalities: Synthesis Report of Global Public Consultation.
[2]
Apostolic Exhortation of Pope Francis, Evangelii
gaudium, n. 202.
Sumber:
http://holyseemission.org/statements/statement.aspx?id=453
Sumber:
http://holyseemission.org/statements/statement.aspx?id=453