Jumat, 31 Januari 2014

Kardinal Zen: Penghancuran Gereja Katolik Berlanjut di RRT


Uskup Emeritus Hong Kong, Kardinal Joseph Zen
Terlapas dari harapan-harapan yang berhembus seiring dengan terpilihnya Paus Fransiskus, hubungan Takhta Suci dan RRT tetap bergeming. Pemimpin baru RRT, Xi Jinping, tidak menepati janji-janjinya. Asosiasi Katolik Patriotik China dan Kementerian Urusan Agama tetap berusaha mengubah para uskup dan umat menjadi "budak". 

Kardinal Joseph Zen, Uskup Emeritus Hong Kong dalam sebuah wawancara dengan agen berita AsiaNews, berkata bahwa Beijing mengemban "karya penghancuran" terhadap Gereja Katolik lokal.

"Dengan kekuatan posisi yang mereka dapatkan dalam hal berurusan dengan agama-agama, mereka menghancurkan tidak hanya agama-agama tapi juga nama baik bangsa kita," kata Kardinal. "Satu-satunya tujuan pekerjaan mereka nampaknya adalah "memperbudak" Gereja kita (sayangnya seringkali tidak berhasil) dengan memaksa para uskup dan imam untuk mengkhianati nurani, iman mereka."

"Nampaknya tak dapat disangkal bahwa (Xi Jinping) telah menunjukkan kebulatan tekadnya untuk mereformasi partainya dengan secara berani memerangi korupsi dan mendirikan sebuah rezim yang bersahaja dan ugahari bagi rekan sejawat komunisnya". Kardinal Zen menambahkan bahwa "kejelasan posisi nampaknya menjadi fitur khas Paus Yesuit kita... Sebagian orang berkata bahwa Paus menyukai tango, tapi butuh dua (orang) untuk ber-tango. Apakah kita juga dapat mengharapkan kehendak baik yang sama dari counterpart nya?" 

Sumber:
http://vassallomalta.wordpress.com/2014/01/30/cardinal-zen-says-destruction-of-the-catholic-church-continues-in-china/


Selasa, 28 Januari 2014

Intervensi Takhta Suci Tentang Promosi dan Perlindungan Hak Anak-anak

Nuncio Apostolik untuk PBB, Uskup Agung Francis Chullikat Menyampaikan Intervensi dalam Sidang Umum PBB
Berikut disajikan teks lengkap "intervensi" Takhta Suci dalam Sidang Umum PBB 18 Oktober 2013. Rangkaian Sidang Umum PBB ke-68 dimulai pada 17 September 2013 dan berakhir pada 15 September 2014
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
                            
Intervensi Uskup Agung Francis Chullikatt
Nuncio Apostolik Pengamat Tetap Takhta Suci untuk PBB
Komisi Ketiga Sidang Umum ke-68
Item 65: Promosi and Perlindungan Hak Anak-anak
 

Yang Terhormat Ketua Sidang,                 


      Laporan Sekretaris Jenderal tahun ini tentang Status Konvensi Hak-hak Anak-anak (A/68/257) telah membantu untuk menarik perhatian akan kematian anak-anak, yang merupakan inti dari apa yang di amanatkan Konvensi dalam artikel 6 sebagai "hak anak untuk hidup, bertahan hidup, dan berkembang". Memang, tanpa kehidupan, semua hak-hak yang lain menjadi tanpa makna. Itulah latar belakang dorongan agar Laporan beliau menyimpulkan, bahwa tujuan dari diakhirinya semua kematian anak yang dapat dicegah adalah berada dalam jangkauan kita saat ini. [1]

Laporan mengindentifikasi kesehatan maternal, di antara faktor kunci tercapainya tujuan ini. [2] Ini diperkuat dengan (dasar) logis dari Konvensi sendiri, yaitu memberikan kepada anak hak, baik pelayanan kesehatan sebelum dan pasca melahirkan (artikel 24(d)). Provisi ini memiliki arti bila bayi belum lahir adalah yang pertama diberikan hak hidup dan hak bertahan hidup. Ini sesuai dengan pemahaman Delegasi saya akan definisi Konvensi tentang istilah "anak", yang secara eksplisit ditujukan bagi terminus ad quem 18 tahun, dan terminus a quo yang tersirat dalam referensi yang jelas pembukaan (Laporan) menunjuk pada hak anak "sebelum dan sesudah dilahirkan".

Kemudian setelah itu, setiap anak harus diberikan hak untuk dilahirkan pada tempat pertama. Ini adalah sebuah hak, lebih lanjut, (sebuah hak) yang harus dilindungi dengan setara -tanpa diskriminasi dengan dasar apapun, termasuk jenis kelamin, atau kecacatan, atau  kebijakan yang didiktekan oleh eugenic. Dengan demikian diagnosis pra-natal diambil dengan maksud untuk memutuskan apakah bayi diizinkan untuk lahir atau tidak adalah tidak konsisten dengan Konvensi, yang oleh Delegasi saya dihormati sebagai instrumen normatif fundamental mengenai hak anak,  Bayi yang belum lahir, merupakan anggota dari keluarga manusia dan bukan milik "manusia sub-kategori (tertentu)".


Yang Terhormat Ketua Sidang,

Delegasi saya mengambil pandangan holistik terhadap kesehatan dan pendidikan, yang dapat kita temukan dalam Laporan Sekretaris Jenderal sebagai (sesuatu yang) fundamental bagi kewajiban Negara. Sebagaimana Sekretaris Jenderal akui dalam Laporan tahun lalu  (A/67/225, par 41), kesehatan itu "terbentang melampaui kesejahteraan fisik dan mental individu hingga mencapai keseimbangan spiritual(nya) serta kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan". Ini mencakup kewajiban untuk mengambil langkah-langkah konkret untuk mendukung para orang tua dalam peran mereka yang pantas untuk membesarkan anak-anak mereka, sehingga sebagaimana yang diamanatkan Deklarasi Hak-hak Anak, setiap anak dapat diberikan "kesempatan dan fasilitas, oleh hukum dan oleh sarana-sarana lainnya, untuk memampukannya berkembang secara fisik, mental, moral, spiritual, dan sosial dalam cara yang sehat dan normal, serta dalam kondisi bebas dan bermartabat".

Yang Terhormat Ketua Sidang, 

          Delegasi saya sepakat dengan Laporan Raportase Khusus mengenai penjualan anak, prostitusi anak, dan eksploitasi sosial. Dalam kaitan dengan hal ini, laporan mencurahkan perhatian yang signifikan kjepada peran keluarga yang tak tergantikan bagi perlindungan anak-anak. Memang, "Keluarga mewakili lapisan pertama lingkungan yang protektif" [3] Para orangtua, pada saat pertama, memiliki tanggung jawab untuk mengamankan kondisi kehidupan, yang dibutuhkan bagi kehidupan anak, ketahanan hidupnya, dan perkembangannya. [4]
Negara  memiliki kewajiban untuk melindungi, mendukung, dan menguatkan keluarga demi kepentingan anak yang terbaik. Ini terlebih penting -sebagaimana yang diamati dalam Laporan -mengingat bahwa kemiskinan, pengangguran, penyakit, ketidakmampuan dan kesulitan mengakses pelayanan sosial sebagai dampak diskriminasi dan eksklusi dapat memengaruhi kemampuan para orangtua untuk merawat anaknya; dan gangguan mentak ataupun perilaku, konflik, kecanduan, dan kekerasan rumah tangga dapat melemahkan kemampuan keluarga untuk menyediakan lingkungan yang harmonis dan aman, serta membuat anak lebih rentan terlibat dalam perilaku berisiko. [5]


Yang Terhormat Ketua Sidang
Sementara perlindungan hak anak dimulai dengan rasa hormat yang penuh kepada anak-anak itu sendiri di semua tahap perkembangannya, sejak pengandungan, para orang tua, pada bagian mereka, memiliki peran tak tergantikan dalam pembentukan dan pendidikan, dan keluarga adalah tempat yang cocok bagi perkembangan mereka, sebagaimana diakui dalam Laporan Sekretaris Jenderal [6]. Pembelaan hak-hak anak menuntut, sebagaimana pula membutuhkan, pembelaan (untuk) keluarga, di mana keuntungan sosial terlihat jelas. Adalah keluarga dan bukan Negara, yang merupakan rumah bagi anak-anak kita, yang memberi mereka makan, mengajar mereka, dan membesarkan generasi masyarakat selanjutnya,

Dalam hal mengasuh dan mendidik anak-anak, dengan demikian, provisi Konvensi tidak bisa mengabaikan hak-hak dan tanggung jawab orang tua yang spesifik. Konvensi secara sempurna mencerminkan Deklarasi Universal HAM, yang dalam pembukaannya mengistimewakan 'hak utama' para orang tua (artikel 26.3) dalam mendidik ank-anak mereka -yang dapat dikatakan, sebuah hak dari Negara atau pelaku lainnya -khususnya dalam arena penting kemerdekaan agama yang mencakup seksualitas manusia, pernikahan, dan lembaga keluarga.


Dengan perhatian khusus pada "perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial" (artikel 27, CRC), Konvensi (artikel 18.1) juga mengistimewakan para orang tua dengan "tanggung jawab primer" bagi pengasuhan anak, Hak dan tangung jawab ini. dalam hukum internasional merupakan tiang fundamental hak kebebasan beragama (art. 14, CRC) dalam kaitan dengan para orang tua yang sepenuhnya memiliki mandat untuk memilih sekolah "entah itu yang didirikan oleh otoritas publik, inklusif atau home schooling, yang sebangun dengan standar minimum pendidikan yang ditetapkan atau disetujui oleh Negara dan untuk menjamin pendidikan agama dan moral anak-anak mereka, sejalan dengan tekad mereka sendiri" (art.13.3, ICESCR).


Yang Terhormat Ketua Sidang, 


Dalam terang output baru-baru ini dari Komisi Hak Anak, Delegasi saya ingin menyampaikan beberapa eleman dari Pendapat Umum 14 dan 15. Pendapat ini, yang dengan hormat dirujuk oleh Delegasi saya, hanya mewakili opini Komisi, Pendapat ini tidak memiliki kesepakatan istilah dan memiliki kekuatan preseden yuridis yang kurang. Apapun  tercantum di dalamnya yang tidak konsisten dengan teks normatif Konvensi dan instrumen internasional lain menghasilkan adanya suatu (kondisi di mana) kepentingan terbaik anak-anak, tidak terlayani. Ungkapan seperti "orientasi seksual" atau "identitas kelamin" (Pendapat Umum No. 14 [2013], par. 55, and No. 15 [2013], par. 8)), yang di dalamnya tidak terdapat konsensus yuridis internasional, digunakan dengan palsu dan dengan sangat disayangkan, pada Pendapat ini. Misalnya, rekomendasi-rekomendasi agar Negara menyerahkan anak-anak pada pendidikan dan pengarahan kesehatan seksual, kontrasepsi dan apa yang disebut aborsi "yang aman" (par 31) tanpa persetujuan orang tua mereka, pengasuh atau wali; aborsi dipromosikan Negara sebagai metode keluarga berencana  (par. 54, 56, 70), dan apa yang disebut "informasi atau pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi" disediakan oleh Negara dengan mengabaikan keberatan nurani para penyelenggara sarana (par. 69). Rekomendasi semacam itu secara khusus, (merupakan tindakan) tercela. Tidak pernah ada aborsi yang "aman" karena aborsi membunuh nyawa anak-anak dan membahayakan ibu. 


Takhta Suci mendesak Komisi untuk merevisi Pendapat Umum dalam keselarasan dengan rambu-rambu instrumen internasional; dimulai dengan Konvensi itu sendiri, yang menegaskan bahwa hak hidup anak "sebelum sebagaimana juga sesudah kelahiran" (Preamble, par. 9), hak nurani [7], dan penghormatan yang penuh terhadap hak, tanggung jawabm dan kewajiban para orang tua mengenai anak-anak mereka [8]; dan termasuk juga afirmasi eksplisit oleh International Conference on Population and Development (ICPD) bahwa aborsi haruslah tidak pernah dipromosikan sebagai metode keluarga berencana (par. 7.24).

Yang Terhormat Ketua Sidang, 

Delegasi saya mengajak komunitas internasional untuk mengusung prinsip-prinsip yang jelas dari Konvensi yang diratifikasi dalam hukum internasional, sehingga prinsip-prinsip tersebut pada bagian mereka  dapat memajukan keterbukaan terhadap anugerah dan kelimpahan hidup yang diwakili oleh (keberadaan) anak, dan dengan demikian memajukan kesejahteraan umum semua orang, suatu pencapaian yang tetap merupakan "satu-satunya alasan bagi keberadaan otoritas sipil". [9].

Terima Kasih, Bapak Ketua Sidang. 






[1] ad para. 68 a.
[2] ad para. 57.
[3] ad para. 36
[4] cf. articles 6 and 27 of CRC
[5] ad para. 37
[6] ad para. 61.
[7] CRC, Article 14; cf. also UDHR, Article 18 and ICCPR, Article 18
[8] CRC, Articles, 3, 5, 7, 9, 14, 18, 27, and 29, c; cf. also UDHR, Article 26,3 and ICCPR Article 18,3
[9] John XXIIII, Encyclical Pacem in terris, 54


Sumber:
http://petersmithpro-lifeministries.blogspot.com/2013/10/the-archbishops-speech-from-yesterday.html
 

                                             

Senin, 27 Januari 2014

AS Peringati 30 Tahun Hubungan Diplomatik dengan Takhta Suci


Uskup Agung Dominique Mamberti dan Duta Besar AS untuk Takhta Suci, Ken Hackett
Pada peringatan 30 tahun Kedutaan AS untuk Takhta Suci (23 Januari 2014), Kepala Perwakilan yang baru dilantik, Ken Hackett memuji banyaknya buah yang didapat dari hubungan kedua pihak, ia pun menyatakan harapannya akan buah yang lebih berlimpah. 

"Hubungan yang telah terjalin di antara pemerintahan kami dan Takhta Suci pada periode tersebut merupakan hal yang luar biasa," ungkap Hackett dalam sebuah jamuan kehormatan. 
 
"Lihatlah apa yang terjadi pada peristiwa runtuhnya Tembok Berlin, lihatlah pada kolaborasi asistensi kemanusiaan, isu-isu seperti trafficking, dan sekarang di bawah Paus Fransiskus, isu-isu perdamaian yang lebih luas," kata sang duta besar. 
 
"Jadi, kami berharap akan hanya ada pertumbuhan, dan lebih banyak kesempatan untuk berkolaborasi dan bekerja sama. Pada awalnya disetujui oleh Presiden Ronald Reagen dan Beato Paus Yohanes Paulus II pada 10 Januari 1984, kantor Kedutaan Besar AS untuk Takhta Suci yang pertama dibuka pada tanggal 9 April 1984 dengan William A. Wilson sebagai Kepala Perwakilan yang pertama. 

Dalam sambutannya untuk peringatan tersebut, Duta Besar Hackett menyoroti bahwa walaupun kedutaan besar baru berusia 30 tahun, namun hubungan AS dengan Vatikan sudah ada sejak awal negara ketika Paus Pius VII menugaskan seorang Yesuit bernama John Carroll sebagai "Superior Misi untuk Tiga Belas Negara".
 
Setelah Presiden AS yang pertama, George Washington, setuju agar Paus menunjuk para uskup bagi negara baru itu, John Carroll menjadi uskup pertama yang pernah ditunjuk untuk AS.

Sambil menunjuk pada pameran panel foto dan komentar rinci  tentang hubungan diplomatik kedua negara yang ditampilkan di resepsi tersebut, Duta Besar berkata bahwa hubungan antara AS dan Takhta Suci selama ini "kuat dan positif". 

"Ini adalah kisah jalinan kerja sama pada abad terakhir dalam cakupan isu global penting yang luas."

Pentingnya hubungan ini, catatnya, "ditegaskan baru-baru ini oleh kunjungan Sekretaris Negara AS,  John Kerry ke Vatikan untuk bertemu dengan Uskup Agung Parolin," dan Hackett berkata bahwa ia berharap hubungan tersebut dapat diperkuat dengan kunjungan Presiden Obama pada bulan Maret mendatang.

"Ide-ide saya, dalam seluruh hidup saya dengan banyak cara, selaras dengan Paus Fransiskus dan apa yang beliau katakan, khususnya kepedulian kepausan terhadap orang-orang yang terpinggirkan dan diasingkan," kata Duta Besar Hackett -- yang kemudian menambahkan bahwa isu-isu itulah yang agaknya menjadi sorotan pada pertemuan bulan Maret antara Paus dan Presiden Obama. 
 
"Saya rasa hal-hal itulah (yang akan menjadi sorotan)," kata Hackett memastikan, "mengingat kepedulian Presiden terhadap orang-orang yang berkesusahan."

"Kaum migran, dan tuna wisma, dan apa yang kami diskusikan hari-hari ini di AS, menaikan upah minimum...Yang saya maksud, kita harus melakukan hal ini. Orang-orang bekerja empat puluh bahkan lima puluh jam seminggu dan tidak mampu untuk menafkahi keluarga mereka," jelasnya. 

Walaupun pertemuan utamanya akan menjadi  "kesempatan (dalam sebuah) hubungan, di mana Presiden Obama dan Paus Fransiskus benar-benar dapat berkomunikasi pada tingkat personal', Duta Besar Hackett menyebutnya "momen istimewa", dan itu "saya yakin akan berarti banyak bagi Presiden Obama."

Sumber:
http://vassallomalta.wordpress.com/2014/01/25/us-celebrates-30-years-of-diplomacy-with-the-vatican/#more-24126


Pertemuan Dua Fransiskus



Jumat, 24 Januari 2014, Paus Fransiskus mengadakan pertemuan dengan Presiden Republik Perancis, François Hollande, yang secara terpisah menemui Uskup Agung Pietro Parolin, Sekretaris Negara, yang didampingi oleh Uskup Agung Dominique Mamberti, sekretaris Hubungan dengan Negara-negara.

Diskusi ringan kedua tokoh ini, fokus pada kontribusi agama bagi kesejahteraan umum. Sambil menekankan pada relasi baik yang dijalin antara Perancis dan Takhta Suci, kedua pihak menegaskan komitmen mutual untuk melestarikan dialog rutin antara pemerintah Perancis dan Gereja Katolik, dan juga untuk berkolaborasi secara konstruktif dalam permasalahan yang menyangkut kepentingan bersama. Dalam konteks pembelaan dan promosi martabat manusia, beragam persoalan mengenai relevansi(nya) masa kini, didiskusikan (oleh kedua pihak), seperti keluarga, bioetik, hormat kepada komunitas religius, dan perlindungan terhadap tempat ibadah.

Perhatian kemudian tertuju pada masalah-masalah internasional, seperti kemiskinan dan pembangunan, migrasi dan lingkungan hidup, dan secara khusus, isu konflik Timur Tengah dan beberapa wilayah di Afrika, dan (kedua pihak) berharap agar hidup sosial yang saling berdampingan dengan damai dapat didirikan kembali di negara-negara yang mengalami dampaknya, (menuju kepada) penghormatan terhadap hak-hak semua manusia, khususnya (terhadap) kelompok etnis dan agama minoritas. 

Sumber: 
http://visnews-en.blogspot.com/2014/01/the-pope-receives-president-hollande.html

Minggu, 26 Januari 2014

Pesan Paus yang Disampaikan dalam World Economic Forum 2014

Dalam pesannya kepada Klaus Schwab, Presiden Eksekutif World Economic Forum, yang dibacakan oleh Kardinal Peter Kodwo Appiah Turkson, Presiden Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian di depan pertemuan ke-44 World Economic Forum di Davos-Klosters, 22 Januari 2014,  yang dihadiri 40 Kepala Negara serta lebih dari 2,500 peserta dari sekitar 100 negara, di mana 1.500 di antaranya merupakan para pemimpin bisnis dari berbagai perusahaan, organisasi internasional, masyarakat sipil, media, pendidikan dan seni,  Paus mengajak para Kepala Negara, pelaku ekonomi dan bisnis untuk melakukan pendekatan inklusif terhadap ekonomi dengan mempertimbangkan martabat setiap manusia dan kesejahteraan umum. Paus juga menyatakan harapannya bahwa perjumpaan ini dapat mengisyaratkan kesempatan bagi permenungan yang lebih dalam akan penyebab krisis ekonomi yang dihadapi dunia tahun-tahun belakangan ini :

"Saya sangat berterima kasih atas undangan Anda untuk menghadiri pertemuan tahunan World Economic Forum, yang sebagaimana lazimnya diselenggarakan di Davos-Kosters pada akhir bulan ini. Percaya bahwa pertemuan ini akan menyediakan kesempatan untuk refleksi yang lebih dalam atas penyebab krisis ekonomi yang memengaruhi dunia beberapa tahun belakangan, Saya ingin mengajukan beberapa pertimbangan dengan harapan bahwa pertimbangan-pertimbangan ini akan memperkaya diskusi yang terjadi dalam Forum, dan memberikan kontribusi yang berguna bagi karyanya yang penting.

Zaman kita adalah zaman ketika perubahan-perubahan mencolok dan kemajuan-kemajuan yang signifikan di berbagai bidang memilki konsekuensi yang penting bagi hidup kemanusiaan. Nyatanya, 'kita harus memuji langkah-langkah yang diambil untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dalam berbagai bidang seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan komunikasi' (Evangelii Gaudium, 52), ditambah pula berbagai bidang aktivitas kemanusiaan lainnya, dan kita harus mengakui peran fundamental yang dimiliki aktivitas bisnis terhadap perubuahan-perubahan ini, dengan menstimulasi dan membangun sumber daya intelegensi manusia yang berlimpah. Selain itu, sukses yang telah diraih, bahkan apabila hal itu telah mengurangi kemiskinan bagi sejumlah besar orang, seringkali mengarah pada eksklusi sosial yang meluas. memang, kebanyakan pria dan perempuan pada zaman kita terus mengalami  ketidakamanan dalam hidup sehari-hari, yang seringkali disertai konsekuensi-konsekuensi yang dramatis.

Dalam konteks pertemuan Anda, saya ingin menekankan kepentingan yang dimiliki berbagai sektor politik dan ekonomi dalam memajukan pendekatan inklusif dalam pertimbangan martabat setiap manusia dan kesejahteraan umum. Saya merujuk pada kepedulian yang seharusnya membentuk setiap keputusan politik dan ekonomi,  namun seringkali tidak sedikit terpikirkan belakangan. Pekerjaan dalam bidang-bidang ini  memiliki tanggung jawab tersendiri kepada sesama, terutama mereka yang terpinggirkan, lemah dan rapuh. Adalah tidak dapat ditoleransi bahwa ribuan orang mati setiap harinya karena kelaparan, bahkan ketika jumlah makanan pokok tersedia, dan seringkali disia-siakan. Pun, kita tidak dapat tidak tergerak oleh banyak pengungsi yang mencari kondisi hidup yang lebih sedikit bermartabat, yang tidak hanya gagal untuk menemukan hospitalitas, namun seringkali, secara tragis, meregang nyawa ketika berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Saya tahu bahwa kata-kata ini tajam, dan bahkan dramatis, namun kata-kata ini bertujuan untuk mengafirmasi dan menantang kemampuan sidang ini untuk membuat perubahan. Nyatanya, mereka yang menunjukkan tindakan inovatif dan menaikkan derajat hidup banyak orang melalui keahlian merka yang tulus namun profesional, dapat berkontribusi lebih jauh dengan menempatkan keterampilan mereka demi pelayanan bagi mereka yang masih hidup dalam kemiskinan yang parah."

Apa yang dibutuhkan adalah sebuah rasa tanggung jawab yang terbarukan, mendalam, dan lebih luas di setiap bagian. 'Bisnis -nyatanya - merupakan sebuah panggilan, sebuah panggilan yang mulia mengandaikan bahwa semua yang terlibat di dalamnya melihat diri mereka sendiri ditantang oleh makna hidup yang lebih agung' (Evangelii Gaudium, 203). Pria dan perempuan demikian mampu melayani lebih efektif bagi kesejahteraan umum dan membuat benda-benda duniawi lebih terakses bagi semua. Selain itu, pertumbuhan kesetaraan menuntut sesuratu yang lebih dari sekadar pertumbuhan ekononomi, walaupun hal tersebut juga diandaikan di dalamnya.  Pertumbuhan kesetaraan membutuhkan keputusan, mekanisme, dan proses yang diarahkan bagi distribusi kesejahteraan yang lebih baik, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan (taraf hidup) orang miskin yang melampaui mentalitas kesejahteraan belaka.

Saya yakin bahwa dari keterbukaan kepada yang transenden, sebuah mentalitas politik dan bisnis yang baru dapat mewujud, manusia mampu untuk memandu semua aktivitas ekonomi dan finansial dalam cakrawala pendekatan etis yang sungguh-sungguh manusiawi. Komunitas bisnis internasional dapat mencakup banyak pria dan perempuan yang memiliki kejujuran dan integritas, yang karyanya dinspirasi dan dituntun oleh cita-cita tinggi akan keadilan, kemurahan hati dan kepedulian akan pembangunan otentik keluarga umat manusia. Saya mendorong Anda untuk mengambil sumber daya manusia dan moral yang besar ini dan untuk mengambil tantangan ini dengan tekad dan pandangan jauh ke depan. Tentu saja tanpa mengabaikan, prasyarat sains dan profesional yang dibutuhkan dalam setiap konteks, saya meminta anda untuk memastikan bahwa manusia dilayani oleh kesejahteraan dan bukan diatur olehnya. 

Bapak Presiden dan para sahabat, saya berharap agar Anda dapat melihat dalam kata-kata yang singkat ini, tanda kepedulian pastoral saya dan kontribusi yang konstruktif untuk membantu aktivitas Anda agar lebih mulia dan berbuah. Saya sampaikan harapan saya untuk pertemuan yang sukses, dan saya menyertakan berkat ilahi atas Anda dan peserta Forum, dan juga semua keluarga Anda, serta karya-karya Anda."

Sumber:
http://visnews-en.blogspot.com/2014/01/popes-message-for-world-economic-forum.html

Sabtu, 25 Januari 2014

Petinggi Gereja Menyambut Baik Dibukanya Kembali Perwakilan Irlandia untuk Takhta Suci


Sebuah pengumuman yang menyatakan bahwa pemerintah Irlandia akan membuka kembali perwakilannya untuk Takhta Suci disambut bailk oleh para petinggi Gereja, yang meyakini bahwa hal tersebut merupakan gerakan "konstruktif" bagi Gereja. 

"Ini merupakan sebuah keputusan yang luar biasa bagi rakyat Irlandia dan akan menguntungkan bagi Irlandia dalam hal kontribusinya yang khas  dan penting bagi hubungan internasional," kata Nuncio Uskup Agung Charles Brown dalam sebuah pernyataan yang dimuat di Irish Times pada 21 Januari. 

"Kami berterima kasih kepada mereka yang telah bekerja keras sehingga membuat hari ini mungkin."
 
Perwakilan Irlandia untuk Takhta Suci ditutup pada November 2011, dan merupakan sebuah keputusan yang diambil oleh Deputi PErdana Menteri Eamon Gilmore hanya karena alasan-alasan ekonomi semata.

Gilmore menyatakan bahwa akibat ekonomi yang tidak menentu, pemerintah Irlandia harus "mengencangkan ikat pinggang". Keputusan tersebut dipertanyakan oleh banyak negara Katolik, bagaimanapun, negara-negara tersebut yakin bahwa sikap tersebut berhubungan dengan putusnya hubungan Dublin dan Roma setelah diterbitkannya laporan resmi penanganan kasus pelanggaran yang dilakukan oleh para imam di Keuskupan Cloyne, County Cork.
 
Dipolomat senior Irlandia menyebutkan bahwa pembukaan kembali kantor perwakilan dikarenakan karena konteks kepausan yang menekankan kemiskinan, isu hak asasi manusia, dan kepedulian terhadap negara berkembang, lansir Irish Times.

Sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Keuskupan Dublin atas nama Uskup Agung Diarmuid Martin  pada 21 Januari --yang saat itu sedang menghadiri World Economic Forum -- mennyebutkan bahwa keputusan tersebut "disambut baik" dan pembukaan perwakilan tersebut "dalam skala yang lebih kecil" adalah "tindakan yang sangat konstruktif".

Uskup Agung Martin juga menyadari bahwa pemerintah Irlandia telah "senantiasa berkomitmen untuk membuka kembali kantor perwakilan ketika kondisi ekonomi mengizinkan", dan ia menyampaikan penghargaan khusus kepada Mr. David Cooney, yang bertindak selaku Kepala Perwakilan (non-residen) untuk Takhta Suci  selama masa lowong.

Menyadari bahwa Paus Fransiskus, "dari kerangka kepausannya, telah mendedikasikan dirinya menjadi suara yang kuat yang berjuang melawan kemiskinan," Uskup Agung menyadari bahwa Vatikan merupakan "sebuah tempat yang peting bagi pertukaran permasalahan pembangunan global."

Ia juga menambahkan bahwa seorang Kepala Perwakilan (tetap) Irlandia  aan "memperkuat hubungan antara Vatikan dan Irlandia". 
Menurut Irish Times, tidak ada tanggal yang pasti kapan kantor perwakilan akan secara resmi dibuka, mengingat pertama-tama harus ditunjuk seorang duta besar terlebih dulu, dan pemerintah masih mencari lokasi yang dekat dengan Vatikan.

Terlepas dari hal tersebut, surat kabar melaporkan bahwa juru bicara Kementerian Luar Negeri, menyatakan harapannya bahwa Duta Besar yang baru akan sudah dipilih  pada musim panas mendatang. 

Kementerian Luar Negeri juga mengklaim bahwa Kepala Perwakilan untuk Vatikan yang baru akan merupakan orang yang "bersahaja" dan bekerja seorang diri, yang mana selaras dengan "sikap kepala dingin dan ugahari yang dihembuskan oleh Vatikan di bawah kepemimpinan Paus Fransiskus," tulis Irish Times.


sumber:
http://vassallomalta.wordpress.com/2014/01/24/church-officials-laud-re-opening-of-irish-embassy-to-vatican/.

Ribuan Orang Yahudi Telah Diselamatkan di dalam Gereja dan Biara


Kontroversi atas "diamnya" Paus Pius XII sedang terkuak. Fakta berbicara bagi diri mereka sendiri. Gereja katolik telah memberikan perlindungan bagi sejumlah besar orang Yahudi.  Sebuah komentar dari sejarawan Yahudi, Anna Foa.

Disegarkan dengan kunjungannya kepada Jorge Mario Bergoglio, teman lamanya dan yang akan segera menjadi teman dalam perjalanannya di Israel, seorang rabbi berdarah Argentina, Abraham Skorka, menyampaikan pada Sunday Times, menyoal masa kepausan XII: "Saya percaya, Paus akan membuka berkas-berkasnya."

Dengan berkata demikian, Skorka tidak menyampaikan sesuatu yang baru, namun kata-kata ini cukup membuat antisipasi akan dibukanya arsip menyangkut paus Eugenio Pacelli, menjadi semakin mendebarkan. Pembukaan ini dijadwalkan akan dilakukan setelah kepulangan Paus Fransiskus dari perjalanan mengunjungi Tanah Suci, pada 24-26 Mei nanti. 

Selama tahun 1960, Paus Paulus VI telah memerintahkan penerbitan --jadi sangat jauh sebelum jadwal yang sekarang-- dari dua belas volume dokumen Vatikan sejak periode Perang Dunia II.

Namun sekarang diharapkan bahwa Paus Fransiskus akan menyediakan dokumentasi yang lengkap masa kepausan Paus Pius XII sejak tahun 1939 sampai 1958, sebuah dokumentasiu yang terdiri dari 16 juta halaman, lebih dari 15.000 folder, dan 2.500 file. 

Pekerjaan untuk mengatur kumpulan kertas ini telah dilakukan oleh Vatikan selama enam tahun dengan tujuan untuk menyediakannya bagi para cendekiawan. Prefek Arsip pribadi Vatikan, Sergio Pagan, memberi tahu Corriere dela Sera bahwa "itu akan memakan waktu satu tahun lagi, satu setengah tahun."

Adalah Paus Benediktus XVI yang memberikan isyarat akan dibukanya arsip mengenai Paus Pius XII. Namun ketika pada tahun 2009, ia mengumumkan kebajikan heroik Paus tersebut,  yang merupakan langkah pertama dari proses kanonisasi, kontroversi mengenai sikap diamnya selama tragedi Shoah, menimbulkan reaksi yang mengejutkan. Museum peringatan Yad Vashem di Yerusalem menilai bahwa mengumumkan kebajikan paus tersebut sebelum publikasi dokumen merupakan hal yang "tercela". 

Masa itu merupakan masa "ketidaksabaran" Uskup Agung Buenos Aires ketika itu, Bergoglio, -- dalam banyak percakapan dengan Rabbi Skorka yang kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku -- menyoal pembukaan arsip terkait Paus Pius XII demi "pemahaman bahwa hal ini adalah masalah kekeliruan pandangan akan apa yang sebenarnya terjadi," karena "kita telah membuat suatu kesalahan tentang sesuatu yang harus kita katakan: 'Kami salah tentang hal ini', 'Kami harus tidak takut untuk melakukannya' ".

Dalam pada itu, studi tentang masa kepausan Pius XII dan orang-orang Yahudi telah menghasilkan langkah yang signifikan menuju arah yang lain, kurang ideologis dan lebih konkret, yaitu melakukan reka ulang akan apa yang terjadi dengan ribuan orang Yahudiyang nyawanya terselamatkan ketika mereka menemukan perlindungan dalam gereja-gereja dan biara-biara di Roma dan Italia.

Riset mengenai hal ini masih terus ditingkatkan, dan dari hal ini, bahkan menjadi semakin jelas bahwa menyelamatkan banyak orang Yahudi bukan hanya diizinkan melainkan juga dikoordinasi oleh pimpinan tertinggi Gereja. 

"Ini menghapuskan gambaran yang dikemukakan pada tahun 1960, di mana Paus Pius XII acuh tak acuh terhadap nasib nasib bangsa Yahudi atau bahkan berkomplot dengan Nazi," tegas seorang sejarawan terkemuka, Anna Foa.

Bukan hanya iu. Riset ini menyinarkan cahaya solidaritas akan kehidupan yang terjadi pada periode antara para imam dan para biarawati dan orang Yahudi yang bersembunyi di kediaman mereka, yang merupakan bayang-bayang dialog antara Gereja dan Yudaisme yang dimulai berpuluh tahun kemudian.
Anna Foa menjelaskan kenyataan ini dalam sebuah konferensi yang diadakan di Florence pada 19 dan 20 Januari, yang diikuti dengan dimuatnya teks presentasinya secara hampir lengkap di harian L'Osservatore Romano edisi 20-21 Januari. 

Anna Foa adaleh seorang kontributor reguler harian Takhta Suci. Ia mengajar sejarah modern di University of Rome La Sapienza.

sumber:


Debat Umum pada Sidang Dewan HAM PBB Mengenai “Korporat Transnasional dan Hak Asasi Manusia”

Pernyataan Yang Mulia Uskup Agung Silvano M.Tomasi

Pengamat Tetap Takhta Suci di Jenewa untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Organisasi Internasional Lainnya 
Pada Sesi ke-23 Dewan Hak Asasi Manusia

Debat Umum – Poin 3

“Korporat Transnasional dan Hak Asasi Manusia”

Jenewa, 31 Mei 2013

Yang Terhormat Ketua Dewan, 

Urgensi panggilan untuk meningkatkan Tanggung Jawab Korporat Sosial dan Lingkungan memasuki babak genting yang baru ketika berita mengenai hancur terpuruknya pabrik garmen di pinggiran kota Dhaka pada tanggal 24 April, menyebar dengan sangat cepat ke seluruh dunia. Hilangnya lebih dari 1.100 nyawa kaum muda berikut penderitaan tak terkatakan yang dialami kaum kerabat mereka, dan penderitaan serta impian lebih dari ratusan orang yang terkoyak, merupakan pengingat akan tindakan-tindakan korektif yang perlu diambil oleh smua korporat yang ikut serta dalam proses rantai ketersediaan global, yang terus menerus mengandalkan kontribusi para pekerja. Gambaran-gambaran bencana tersebut juga merupakan peringatan akan saling ketergantungan yang dibawa oleh globalisasi dalam aktivitas ekonomi antarbangsa. 

Tersentuh oleh peristiwa tragis di Dhaka, Paus Fransiskus menyatakan kepeduliannya mengenai kondisi-kondisi di mana “rakyat kurang penting dibandingkan dengan hal-hal yang mendatangkan keuntungan bagi mereka yang memiliki kekuatan politik, sosial, dan ekonomi”. Menunjuk pada kasus inti yang seringkali hadir dalam kehidupan pabrik saat ini, beliau berkata bahwa, “tidak membayarkan upah dengan adil, tidak menyediakan pekerjaan, fokus pada pernyataan-pernyataan, hanya mencari keuntungan pribadi, itu semua melawan Allah!”, dan di sisi lain, menggambarkan kondisi-kondisi di mana para pekerja kehilangan nyawa sebagai “buruh yang diperbudak”.

Berbagai tantangan muncul melalui evolusi industrialisasi dan kehadiran proses produksi massalnya selama tiga ratus tahun terakhir. Pemerintah, rakyat sipil, perserikatan-perserikatan, pemangku kepentingan dan korporat-korporat seringkali bekerja sama dan pada waktu yang lain bahu-membahu bekerja mengurangi dampak negatif kenyataan-kenyataan tersebut. Walaupun demikian, masih pada masa kita juga, jumlah nyawa manusia yang hilang atau binasa dengan kejam sebagai hasil kondisi kerja yang tidak aman, tetaplah terlalu banyak.

Pada tahun-tahun belakangan ini, berbagai inisiatif telah diambil oleh berbagai pemabgku kepentingan untuk menghadapi beberapa tantangan yang masih ada dalam model bisnis rantai ketersediaan yang mengenai hampir semua sektor bisnis. Mereka dengan sukses memangkas kebijakan-kebijakan sampai pada taraf tertentu dan lebih penting lagi, praktik-praktik yang perlu untuk diubah. Para pemegang saham ini, baik dari sektor publik maupun swasta, serta dari komunitas penanam modal berbasis iman, layak untuk menerima penghargaan atas pencapaian-pencapaian mereka untuk melindungi martabat manusia, memajukan hak asasi manusia, dan pelestarian lingkungan. 

Baru-baru ini pada tahun 2009, dalam ensiklik “Caritas in Veritate”, Paus Benediktus XVI mengingatkan kita semua bahwa “di antara mereka yang seringkali gagal untuk menghormati hak asaasi para pekerja adalah perusahaan-perusahaan multinasional dan juga produsen lokal.” Oleh karena itu, tetaplah penting bagi semua, untuk mengakui standar buruh sebagai bagian integral dan penting dari tanggung jawab sosial korporat. Kemerdekaan berserikat, penghapusan segala bentuk kerja paksa dan wajib, penghapusan buruh anak dan diskriminasi kepegawaian serta pengupahan haruslah dihormati dan dijalankan dalam segala yurisdiksi. 

Aspek penting lain dari pekerjaan yang harus tetap dilakukan dalam arena ini adalah sebuah konsensus yang lebih lengkap dan bebas mengenai peran dan tanggung jawab korporat dalam masyarakat. Sementara sejumlah besar orang dan para pemimpin korporat telah dengan sukses bergeser melampaui pandangan bahwa maksimalisasi keuntungan merupakan alasan dan tujuan korporat satu-satunya, dukungan dan adopsi kerangka kerja legal yang dapat melayani sebagai pijakan bagi visi yang baru ini, masihlah dalam tahap balita. Pencarian akan konsensus yang akan menyediakan keseimbangan yang diidam-idamkan antara peran dan tanggung jawab pemerintah dan sektor publik, dan pada saat yang sama juga sektor swasta,  untuk membuat kontribusi yang bernilai bagi kesejahteraan umum, terus berlanjut. Kita harus menunjang komitmen kita pada pencarian itu dan mengizinkannya untuk menghasilkan solusi yang cocok dan berbeda namun jelas, bagi beragam situasi, budaya, dan wilayah yang ada di seluruh dunia. 

Dorongan yang dilakukan oleh Dewan HAM PBB pada Juni 2011 melalui “Prinsip-prinsip Arahan dalam Bisnis dan Hak Asasi Manusia: Menerapkan Kerangka Kerja Lindungi, Hormati, dan Tanggulangi PBB” merupakan torehan tanda yang penting. Ini kemudian diikuti pada November 2011 dengan diluncurkannya “Tanggung Jawab Korporat untuk Menghormati Hak Asasi Manusia: Sebuah Panduan Interpretif” oleh Dewan Tinggi bagi Hak Asasi Manusia. Dengan demikian, komitmen akan implementasi menjadi nyata. Platform dasar yang memanggil semua negara untuk melindungi, semua korporat untuk menghormati dan semua pemangku kepentingan untuk menanggulangi berbagai penyalahgunaan yang terjadi pada masa lampau terhadap hak asasi manusia adalah jelas dan disambut baik. 

Proses kolaboratif dan inklusif yang menuju pada adopsi kebijakan-kebijakan yang penting ini bagi PBB merupakan indikasi bahwa semua pemangku kepentingan, yang beberapa di antaranya sempat berada pada sisi yang berlawanan dalam banyak debat terkait isu-isu yang ditujukan pada komitmen-komitmen ini siap, baik untuk merangkul komitmen sosial korporat-korporat dan menciptakan alat sarana dan mekanisme yang memfasilitasi pencapaian tanggung jawab tersebut. Komitmen berkelanjutan oleh para pemangku kepentingan yang berbeda-beda bagi keuletan tersebut yang tak terpisahkan dari promosi hak asasi manusia, merupakan kontribusi penting bagi karya strategis yang saat ini sedang diselesaikan.

Tanggung Jawab Sosial Korporat bukan hanya diperlukan karena baik organisasi internasional dan opini publik terus menuntut bahwa perusahaan swasta mengambil peran yang lebih besar dalam memajukan kesajhteraan di manapun mereka beroperasi, tetapi juga karena hal tersebut merupakan isu keadilan sosial.
Takhta Suci mengambil kesempatan ini, untuk mengingat kembali tanggung jawab korporat transnasional dan perusahaan bisnis lainnya untuk menghormati hak asasi manusia. Regulasi yang tepat dapat berkontribusi bagi kemajuannya, dan rasa hormat terhadap hak asasi manusia serta kesejahteraan umum bagi semua. Setiap bisnis, tanpa memandang jumlah pegawai, entah itu didirikan di negara pendiri atau negara tempat beroperasi, haruslah mendukung, menghormati, dan melindungi hak asasi manusia yang secara internasional telah didengungka, dalam cakupan pengaruh mereka. 

Transparansi yang lebih luas oleh semua korporat juga diperlukan agar semua pemangku kepentingan memiliki informasi yang dibutuhkan untuk membuat penilaian yang masuk akal mengenai cara-cara hak asasi manusia dihormati dan dilindungi. Konsumen juga diuntangkan dengan meningkatnya transparansi, dan menjadi berada di posisi yang lebih baik untuk membuat penilaian berdasar-informasi terhadap pilihan pembelian mereka. Dengan cara demikian, mereka dapat mengapresiasi perusahaan yang proaktif dalam menghormati hak asasi manusia, dan mencegah mereka yang hanya memberikan janji mulut manis terhadap prioritas tersebut. Sertifikasi yang lebih baik dan standarisasi internasional juga dapat membantu untuk mengatasi tantangan global ini dengan mendirikan suatu acuan dan kerangka kerja dalam rangka pemantauan terhadap mereka yang menghormati hak asasi manusia dan tanggung jawab sosial korporat.

Sebagai simpulan, Bapak Ketua Dewan, dengan gambaran hancur terpuruknya pabrik di Bangladesh yang masih ada di depan mata penduduk dunia, kami berharap untuk membuat permohonan khusus bagi pendirian, pengembangan, dan pertukaran praktik-praktik yang baik dan inovatif yang disarikan dari berbagai pihak, baik sektor publik maupun swasta, sehingga penghormatan yang tinggi terhadap hak asasi manusia akan menjadi prioritas bagi semua korporat. Pencapaian tujuan-tujuan ini akan menguntungkan manusia di manapun dan mendukung kesejahteraan umum universal. Praktik-praktik bisnis yang bertanggung jawab yang menghormati hak asasi manusia dan melindungi lingkungan akan mendukung ekonomi yang berkelanjutan dan merata. 

Terima kasih,  Ketua Dewan.