Jumat, 24 Oktober 2014

Bilateral Talks of the Week (20-24/10/2014)




Audiensi dengan Perdana Menteri Grenada
 
Kamis, 23 Oktober 2014, Paus Fransiskus menerima Perdana Manteri Grenada Keith Mitchell, yang kemudian menemui Kardinal Sekretaris Negara Pietro Parolin dan Uskup Agung Dominique Mamberti, Sekretaris Hubungan dengan Negara-negara.
 
Dalam pembicaraan tersebut, kedua pihak fokus pada hubungan yang baik antara Takhta Suci dan Grenada, dan juga kontribusi penting yang dibuat oleh Gereja Katolik dalam lingkup pendidikan, sosial, dan karya kemanusiaan, menjawab tantangan yang sedang dihadapi negara Grenada, khususnya menyangkut kaum muda. Dalam hal ini, dipastikan adanya kebutuhan akan kerja sama antara semua lembaga pelayanan sosial, dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan pembangunan negara 

 
 

Intervensi Takhta Suci dalam Debat Terbuka PBB menyoal Situasi TImur Tengah (21/10/2014)





Intervensi Y.M. Uskup Agung Bernadito Auza


Nuncio Apostolik, Pengamat Tetap Takhta Suci untuk PBB
pada Debat Terbuka Dewan Keamanan mengenai
Situasi di Timur Tengah termasuk Soal Palestina
(New York, 21 Oktober 2014)


#Terjemahan tidak resmi

Ibu Presiden,

Delegasi saya mengucapkan selamat pada Anda atas keketuaan Argentina dalam Dewan Kemanan bulan ini, dan memberikan penghargaan terhadap diselenggarakannya debat terbuka  mengenai “Situasi di Timur Tengah termasuk Soal Palestina” ini.

Takhta Suci selalu mengikuti situasi di Timur Tengah dengan minat dan kepedulian yang besar. Takhta Suci selalu memohon adanya negosiasi-negosiasi dan dialog di antara pihak-pihak yang terlibat.  Takhta Suci selalu mencoba melakukan segalanya untuk menolong korban kekerasan.

Mengingat situasi yang memburuk dengan cepat di kawasan beberapa bulan belakangan, Paus Fransiskus telah mengintensifkan upaya-upaya Beliau untuk mendorong adanya negosiasi-negosiasi dan menyerukan kepada semua pihak untuk menghormati hukum kemanusiaan internasional dan HAM. Selama pekan pertama bulan ini, Paus memanggil ke Vatikan, para Nuncio Apostolik (Duta Besar Kepausan) untuk negara-negara Timur Tengah, para Pengamat Tetap untuk Organisasi Internasional dan pejabat-pejabat tingkat tinggi di Vatikan untuk mendiskusikan isu yang sama. Sebagai  tindak lanjut pertemuan-pertemuan tersebut, Takhta Suci menegaskan kembali pendiriannya bahwa perdamaian di Timur Tengah hanya dapat dicari melalui penyelesaian negosiasi dan bukan melalui pilihan-pilihan unilateral yang diterapkan dengan kekuatan senjata.

  1. Menyangkut soal Israel-Palestina, Takhta Suci menegaskan kembali dukungannya bagi solusi dua negara. Isarel dan Palestina, dengan dukungan kuat badan-badan PBB yang berkompeten dan seluruh komunitas internasional, harus bekerja mencapai tujuan akhir, yaitu realisasi hak rakyat Palestina untuk memiliki negara mereka sendiri, berdaulat, dan merdeka, dan hak rakyat Israel akan perdamaian dan keamanan. Paus Fransiskus juga memastikan kembali hal ini dalam kunjungan Beliau ke Timur Tengah pada bulan Mei yang lalu: “Saatnya telah tiba bagi semua orang untuk menemukan (...) keberanian untuk mengusahakan perdamaian yang berdasar pada pengakuan hak kedua negara untuk eksis dan hidup dalam perdamaian dan keamanan di dalam batas-batas yang diakui secara inetrnasional.”  (1) 
  2.  Menyangkut soal situasi mengerikan di Syria, Takhta Suci menyerukan dengan mendesak agar semua pihak menghentikan kekerasan masif terhadap hukum kemanusiaan internasional dan HAM, dan agar komunitas internasional membantu pihak-pihak tersebut menemukan sebuah solusi. Tidak ada cara lain untuk mengangkat dan mengakhiri penderitaan tak terkatakan yang dialami seluruh negeri, di mana setengah populasinya membutuhkan pendampingan kemanusiaan dan sekitar dua pertiganya terusir dari sana. 
  3. Menyangkut soal Lebanon, Takhta Suci menyerukan solidaritas internasional, pada saat ini di mana negara tersebut mengalami dampak hebat krisis Syria dan oleh kehadiran pengungsi yang masif, agar mendorong Lebanon menemukan sebuah solusi secepat mungkin atas kekosongan jabatan presiden republik. Takhta Suci menegaskan kembali dukungannya bagi Lebanon yang berdaulat dan bebas. Lebanon adalah sebuah “pesan”, sebuah “tanda” harapan akan ko-ekistensi beragam kelompok yang membentuknya. 
  4.  Menyangkut soal kekerasan dan penyalahgunaan berat yang dilakukan oleh mereka yang dinamakan “Negara Islam” di Irak dan Syria, badan-badan PBB yang berkompeten harus bertindak guna mencegah kemungkinan genosida yang baru serta mendampingi pengungsi yang jumlahnya meningkat. Takhta Suci memohon secara khusus bagi perlindungan kelompok etnis pribumi dan kelompok agama. Takhta Suci mendesak rasa hormat terhadap hak komunitas-komunitas ini, dan bagi semua orang yang terusir agar kembali ke rumah mereka serta hidup dengan bermartabat dan aman 
  5. Takhta Suci berharap agar PBB mengambil fenomena terorisme internasional yang meningkat dan kejam, sebagai sebuah kesempatan untuk segera memperkuat kerangka yuridis internasional dalam hal aplikasi multilateral terhdap tanggung jawab untuk melindungi manusia dari genosida, kejahatan perang, pemusnahan etnis, tindak kriminal terhadap kemanusiaan dan segala bentuk agresi yang tidak berkeadilan. Dengan hikmah yang dipetik dari kegagalan kita untuk menghentikan kengerian genosida belakangan ini dan dihadapkan dengan pelanggaran terhadap HAM yang terang-terangan dan masif, serta pelanggaran terhadap hukum kemanusiaan internasional, sekarang waktunya untuk mengambil keputusan yang berani. 
  6. Akhirnya, Takhta Suci menegaskan kembali seruannya kepada semua pemimpin agama di kawasan dan di manapun di dunia untuk mengambil peran kepemimpinan yang memajukan dialog antaragama dan antarbudaya, dengan segera meninggalkan setiap penggunaan agama untuk membenarkan kekerasan, dan mendidik semua orang untuk saling memahami dan saling menghormati.


 Ibu Presiden, saya ingin mengakhiri ini dengan mengutip kata-kata Paus Fransiskus selama pertemuan  Beliau kemarin dengan para Kardinal: “Situasi (Timur Tengah) yang tidak adil ini selain membutuhkan doa kita yang tak putus, juga membutuhkan respon yang memadai dari komunitas internasional.”

Terima kasih, Ibu Presiden.


 1. Paus Fransiskus, Pertemuan dengan Otoritas Palestina, Bethlehem, 25 Mei 2014



Kamis, 23 Oktober 2014

Pernyataan Takhta Suci tentang Hak-hak Masyarakat Pribumi (20/10/2014)




Pernyataan Y.M. Uskup Agung Bernadito Auza
Pengamat Tetap Takhta Suci untuk PBB
pada Sesi ke-69 Sidang Umum PBB
Komisi Ketiga
Agenda Item 65: Hak-hak Masyarakat Pribumi

New York, 20 Oktober 2014


#Terjemahan tidak resmi
Ibu Ketua Sidang, 
Takhta Suci menyambut baik penutupan Konferensi Dunia tentang Masyarakat Pribumi baru-baru ini, dan mencatat hasil keluaran dokumennya, yang akan membantu memajukan dan melindungi hak-hak masyarakat pribumi.
Lebih lanjut, delegasi saya dengan senang hati melakukan observasi terhadap Laporan Sekretaris Jenderal mengenai pencapaian-pencapaian terkait sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan Dekade Kedua Internasional Masyarakat Pribumi Dunia (Second International Decade of the World’s Indigenous Peoples).
Bagaimanapun, masih banyak yang perlu dilakukan untuk melindungi HAM dan kebebasan-kebebasan dasariah Masyarakat Pribumi di banyak tempat di dunia, dan upaya-upaya yang lebih besar masih harus dibuat –pada tingkat internasional, nasional, dan lokal –dalam merancang kebijakan-kebijakan pembangunan yang sungguh-sungguh melibatkan masyarakat pribumi dan menghormati identitas dan budaya mereka yang khusus.
Takhta Suci memiliki keyakinan yang kuat bahwa tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, jenis kelamin, agama, maupun etnis yang dapat ditoleransi. Maka dari itu, delegasi saya menyambut baik upaya-upaya yang dibuat di beberapa negara untuk menghapuskan segala diskriminasi terhadap masyarakat pribumi dan memajukan partisipasi mereka yang penuh dan efektif dalam proses pengambilan keputusan, khususnya dalam isu-isu yang secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi mereka.
Ibu Ketua Sidang,
Memperkuat kekhasan dan budaya pribumi tidak harus berarti kembali ke masa lalu, sesungguhnya hal tersebut membawa serta hak masyarakat pribumi untuk maju ke depan, dituntun oleh nilai-nilai kolektif mereka yang telah teruji waktu, seperti hormat terhadap hidup dan martabat manisai, proses pengambilan keputusan yang representatif, dan pelestarian ritual komunitas. Dalam menghadapi globalisasi, industrialisasi, dan urbanisasi, nilai-nilai ini tidak harus dikesampingkan begitu saja.
Dalam konteks ini, delegasi saya hendak menggarisbawahi prinsip-prinsip berikut: 
  • Masyarakat pribumi di dunia memiliki pendakuan (claim) sebagai mana setiap orang, masyarakat, ataupun bangsa, terhadap hak asasi mereka akan pembangunan.
  • Realisasi hak akan pembangunan yang mereka miliki haruslah sedapat mungkin koheren dan selaras dengan identitas dan nilai-nilai mereka yang khusus;
  •  Masyarakat pribumi sendiri harus berpendapat mengenai pembangunan mereka sendiri.
Dalam kerangka inilah, kita harus berhenti menerapkan kriteria atau merancang kebijakan-kebijakan yang asing atau tidak dapat diterima oleh keprihatinan mereka. Kebijakan-kebijakan yang disusun bagi masyarakat pribumi tanpa partisipasi aktif mereka dalam proses pengambilan keputusan bisa jadi lebih membahayakan ketimbang berdampak baik, khususnya apabila hal tersebut tidak mencerminkan atau menghormati identitas dan sistem nilai mereka. Godaan untuk sekadar atau sepenuhnya menisbahkan efek folklorik kepada mereka haruslah ditahan. Masukan mereka dalam proses pengambilan keputusan adalah penting, karena identitas dan warisan mereka yang paling bertahan dapat terancam.
Sementara upaya-upaya internasional terhadap peningkatan standar menyangkut HAM masyarakat pribumi adalah penting, dalam banyak segi, kebijakan-kebijakan nasional dan lokal bahkan jauh lebih desisif menyangkut identitas dan budaya masyarakat pribumi yang khusus serta perlindungan hak-hak mereka. Dalam konteks inilah, delegasi saya hendak menyoroti pentingnya hukum yang berkeadilan untuk mengatur hubungan antara masyarakat pribumi dan industri-industri ekstraktif yang beroperasi di tanah-tanah leluhur. Tanah-tanah tersebut, dalam banyak kasus, juga merupakan signifikansi budaya dan lingkungan yang luhur.
Ibu Ketua Sidang,
Sebagaimana yang digarisbawahi oleh Sekretaris Jenderal dalam Laporannya, agenda pasca 2015 akan menyediakan kesempatan untuk mengadakan inisiatif-inisiatif yang menjawab kebutuhan masyarakat pribumi. Selain itu, Takhta Suci menyarankan agar hasil dokumen pasca 2015 harus memberi perhatian terhadap situasi masyarakat pribumi, dan bahwa semua inisiatif menyangkut mereka harus dinspirasikan dan dituntun oleh prinsip hormat akan identitas dan budaya mereka, termasuk tradisi-tradisi khas, keyakinan religi, dan kemampuan untuk memutuskan pembangunan mereka sendiri dalam kerja sama dengan pemerintah nasional masing-masing dan lembaga-lembaga internasional yang relevan.
Sebagai penutup, Ibu Ketua Sidang, delegasi saya berharap untuk membaharui komitmen jangka panjang Takhta Suci terhadap kemajuan pembangunan integral lebih dari 370 juta masyarakat pribumi di 90 negara di seluruh wilayah dunia.
Terima kasih, Ibu Ketua Sidang.

Rabu, 22 Oktober 2014

Pernyataan Takhta Suci dalam Sidang Umum PBB Mengenai Hak Anak (17/10/2014)




Pernyataan Y.M. Uskup Agung Bernadito Auza
Pengamat Tetap Takhta Suci untuk PBB
pada Sesi ke-69 Sidang Umum
Komisi Ketiga: Agenda Item 64 (a,b): Hak Anak
New York, 17 Oktober 2014




#Terjemahan tidak resmi


Ibu Ketua Sidang,

Bulan lalu, ketika membuka sesi regular kedua Dewan Eksekutif UNICEF, Direktur Eksekutif Duta Besar Anthony Lake tidak berpijak pada peningkatan yang dicapai tahun lalu dalam hal kondisi kehidupan anak-anak dalam area-area di mana lazimnya UNICEF berkarya. Alih-alih, ia fokus pada peningkatan angka krisis kemanusiaan yang memengaruhi dunia kita saat ini, menjaga kita tetap waspada terhadap tantangan dahsyat yang dihadapi komunitas internasional dalam penyediaan perlindungan terhadap anak-anak yang dipercayakan pada mereka.

Adalah sebuah kenyataan yang menyedihkan bahwa setiap konflik, setiap pecahnya epidemic, setiap bencanan alam memiliki potensi untuk memundurkan keajegan langkah maju yang telah dibuat dunia pada decade terakhir ini dalam hal pengurangan angka kematian anak dan peingkatan akses terhadap nutrisi, air bersih, dan pendidikan.

Tetapi lebih tragis lagi ketika kemunduran tersebut disebabkan oleh tragedi-tragedi yang diciptakan oleh manusia, yang mana melaluinya, anak-anak secara khusus menjadi target, menjadi korban, dan diperalat. Hal inilah yang disampaikan dalam sesi ini oleh Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal mengenai anak-anak dan konflik bersenjata dan mengenai kekerasan terhadap anak, dan juga Laporan Khusus mengenai penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak. Dalam beberapa tahun terakhir, hampir tiga juta anak-anak telah terbunuh dalam konflik bersenjata, enam juta telah ditinggalkan dalam keadaan cacat, sepuluh dari seribu dimutilasi oleh ranjau anti personil. Terlepas dari upaya-upaya terpuji yang dilakukan oleh banyak pihak dan pemerintah, rekrutmen tentara anak-anak tetap ada. Bahkan yang lebih membuat kita waspada adalah fakta bahwa hal ini telah menyebar di beberapa wilayah di mana fenomena ini tidak merajalela dan bahwa belakangan ada kasus-kasus anak-anak yang dipaksa melakukan tindakan terorisme seperti bom bunuh diri.

Lebih lanjut, delegasi saya mengingatkan bahwa terlalu banyak ana-anak yang diabaikan hak dasariahnya untuk hidup, dan bahwa seleksi pra-kelahiran menyingkirkan bayi-bayi yang diduga akan menyandang disabilitas dan anak-anak perempuan hanya karena jenis kelamin mereka, dan bahwa terlalu banyak anak-anak yang masih kekuarangan pangan dan sandang, dan bahwa di banyak negara mereka tidak memiliki akses obat-obatan, dan bahwa mereka dijual dalam perdagangan manusia, dieksploitasi secara seksual, direkrut menjadi tantara-tentara khusus, tercerabut karena pemindahan paksa, atau dipaksa melakukan kerja yang melelahkan.

Penghapusan kekerasan terhadap anak menuntut negara-negara, pemerintah-pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas religius untuk mendukung dan memampukan keluarga-keluarga untuk menjalankan tanggung jawab yang sepantasnya. Maka dari itu, delegasi saya menekankan betapa pentingnya peringatan ke-20 Tahun Keluarga Internasional. Peringatan itu menawarkan sebuah kesempatan untuk kembali focus pada peran keluarga dalam pembangunan dan untuk merefleksikan apa yang dapat dilakukan institusi primordial ini untuk menghadapi beragam tantangan yang mengancam pembangunan holistik anak-anak, baik dalam negara-negara berkembang maupun negara-negara maju.

Senada dengan hal tersebut, delegasi saya sangat menyetujui rekomendasi yang terkandung dalam Laporan Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal mengenai kekerasan terhadap anak yang direncanakan dan orang tua serta pengasuh yang mendukung dan menyarankan akses internet kepada anak-anak, dan penggunaan ICT untuk pengalaman online yang lebih aman. Mediasi pengasuhan yang dilakukan orangtua meminimalisasi risiko tanpa membatasi keterampilan dan kesempatan belajar anak. Menjadi orang tua bukan hanya soal membesarkan anak dalam dunia, tetapi juga mendidik mereka agar menjadi anggota masyarakat yang kreatif dan warga negara yang bertanggung jawab.

Delegasi saya juga menyambut baik rencana Laporan Khusus mengenai penjualan anak-anak, prostitusi anak, dan pornografi anak, untuk memajukan, memfasilitasi, dan mengatur aktivitas-aktivitas peningkatan kesadaran dan pendampingan, dalam rangka memperkokoh pengetahuan dan visibilitas seputar isu-isu ini. Lebih lanjut, mendengarkan permohonan Perwakilan Khusush Sekretaris Jenderal mengenai anak-anak dan konflik bersenjata, Gereja Katolik terus mendedikasikan dirinya untuk bekerja demi pembebasan tentara anak-anak, melalui pendidikan dan reintegrasi ke dalam keluarga dan masyarakat mereka.

Bulan November, kita merayakan 25 tahun Konvensi Hak Anak, yang tetap menjadi standar teruji dalam promosi dan perlindungan hak anak-anak. Takhta Suci memandangnya sebagai pengakuan yang sepantasnya dan patut dipuji terhadap hak-hak dasariah dan martabat inheren setiap manusia yang diakui oleh PBB dalam berbagai instrumennya. Konvensi Hak Anak mengandung prinsip-prinsip mendasar sebagai perlindungan hak anak, sebelum maupun juga setelah kelahiran, keluarga sebagai lingkungan alami bagi pertumbuhan dan pendidikan anak, dan hak anak akan perawatan kesehatan dan pendidikan. Lebih lanjut, delegasi saya menyerukan kepada pemerintah-pemerintah dan masyarakat sipil untuk mendorong segala inisiatif dan aktivitas-aktivitas yang bertujuan memajukan dan melindungi hak anak, dan dalam konteks ini, menyambut baik pemilihan pemenang hadiah Nobel tahun ini.

Gereja Katolik dalam bagiannya, utamanya melalui lebih dari 300.000 institusi sosial dan pendidikan di seluruh dunia, khususnya dalam wilayah-wilayah yang mengalami tekanan dan dilanda perang, akan terus bekerja setiap hari untuk memastikan pendidikan dan makanan bagi anak-anak, sebagaimana juga reintegrasi korban kekerasan ke dalam keluarga dan masyarakat mereka.

Terima kasih, Ibu Ketua Sidang. 


English