Rabu, 12 November 2014

'Menteri Luar Negeri' Vatikan: Diplomat Kepausan Merupakan Sebuah Panggilan di dalam Gereja






Sabtu yang lalu (8/11/2014), Paus Fransiskus menunjuk seorang Uskup Agung kelahiran Liverpool, yaitu Uskup Agung Paul Gallagher untuk menempati posisi Sekretaris Hubungan dengan Negara-negara. Dengan demikian, ia menjadi seorang penutur asli bahasa Inggris pertama yang menduduki posisi yang berfungsi sebagai 'Menteri Luar Negeri Vatikan'.

Dalam sebuah wawancara dengan Emer McCarthy, Uskup Agung Gallagher berkata bahwa dirinya “merasa terhormat dan tidak layak” hingga Bapa Suci memilihnya, namun pada saat yang sama “mengalami ketakutan yang luar biasa” diserahi tanggung jawab sebesar itu. 

Tanggung jawab yang diembannya termasuk mengawasi Seksi Kedua Sekretariat Negara, yang mana memiliki tugas spesifik untuk terlibat dengan pemerintah-pemerintah sipil dan organisasi internasional. Uskup Agung Gallagher akan langsung bekerja di bawah kepemimpinan Sekretaris Negara, Kardinal Pietro Parolin. Lazimnya, Sekretaris untuk Hubungan dengan Negara-negara dipilih dari korps diplomatik Takhta Suci, mengingat pengalaman mereka sebagai perwakilan Takhta Suci bagi bangsa-bangsa di dunia. 

Dalam konteks itulah, posisi Uskup Agung Gallagher menjadi unik. Ia telah menghabiskan 30 tahun pelayanan nunciatura (kedutaan besar Takhta Suci) di Tanzania, Uruguay, Filipina, dan sebagai sebagai nuncio di Burundi, Guatemala, dan Australia. 

Nyatanya, Uskup Agung Gallagher menyatakan bahwa “banyak orang yang telah bekerja dengan saya, Nuncio-nuncio yang saya layani bertahun-tahun lalu” telah menjadi inspirasi dalam hidupnya. “Yang paling jelas,” katanya, “ketika saya ditugaskan di Burundi pada tahun 2004, saya bekerja di bawah Uskup Agung Michael Courtney yang kemudian dibunuh. Bekerja di bawah seseorang yang telah melakukan pengorbanan yang luar biasa adalah sungguh-sungguh sesuatu yang sangat signifikan”. 

Uskup Agung Gallagher melanjutkan, “Ketika Anda berkeliling dunia dalam Nunciatura-nunciatura –entah sebagai imam atau sebagai Nuncio –Anda melihat mikrokosmos masalah yang sedang dialami dunia, dan mereka semua saling berhubungan. Saat ini kita sekarang menghadapi masalah serius dalam hal pertumbuhan bangsa-bangsa dan masyarakat, aspirasi-aspirasi mereka, ke mana mereka melangkah. Kita memiliki banyak konflik yang muncul karena kemiskinan dan ketertinggalan pembangunan. Dunia ini menjadi semakin terpolarisasi, dan maka dari itu, mereka merasa bahwa ambisi mereka hancur dan inilah yang kemudian membawa banyak orang kepada situasi keputusasaan.”

Uskup Agung Gallagher juga melayani sebagai Pengamat dalam Parlemen Eropa di Strassbourg. Selain itu, ia juga memiliki pengalaman dalam Kuria, bekerja di Seksi Kedua, sejak 1995 sampai 2000 bersama dengan Kardinal Parolin, yang kini menjabat Sekretaris Negara. “Saya juga sangat diperkaya oleh banyak orang di Sekretariat Negara ketika saya di sana,” katanya. “Anda memiliki karier yang sewaktu-waktu, tetapi saya merasa bahwa kebanyakan orang yang bekerja bersama saya, bekerja dengan motivasi yang sungguh-sungguh tinggi.” 

Semua pengalaman ini, katanya, telah meyakinkannya bahwa peranan Diplomat Kepausan merupakan “suatu pelayanan dan kontribusi yang valid”. “Saya tidak yakin sepakat dengan gagasan bahwa menjadi seorang diplomat kepausan merupakan sebuah panggilan, karena saya pikir Anda harus dengan sangat ‘cemburu’ menjaga panggilan imamat di tengah ini semua jika Anda ingin berbuat sesuatu yang benar-benar positif. Akan tetapi, tentu saja (Diplomat Kepausan) merupakan sebuah panggilan di dalam Gereja, yang sungguh valid dan dapat sangat berkontribusi bagi Gereja dalam hal komunikasi, representasi, dan menjelaskan Gereja lokal kepada Roma dan menjelaskan Roma kepada Gereja lokal, seperti yang sering saya katakan.”

Uskup Agung Gallagher menyimpulkan bahwa lingkup diplomatik merupakan soal pembangunan kekayaan sejarah Gereja, “Pengalaman saya adalah bahwa ada sangat sedikit kekejaman kepada Takhta Suci sebagai sebuah entitas, malahan mereka melihat ada sebuah nilai di dalamnya. Kami bekerja untuk bersumbangsih atas dasar iman kami, tetapi juga atas pengalaman dan sejarah Gereja kita.”


Kamis, 06 November 2014

Pernyataan Takhta Suci tentang Pengembangan Pertanian, Ketahanan Pangan, dan Nutrisi (28/10/2014)




Pernyataan Y.M. Uskup Agung Bernadito Auza
Pengamat Tetap Takhta Suci untuk PBB 
pada Komisi Kedua Sesi ke-69 Sidang Umum PBB
Agenda Item 25: Pengembangan Pertanian, Ketahanan Pangan, dan Nutrisi
New York, 28 Oktober 2014


#Teremahan tidak resmi

Bapak Ketua Sidang,
Datang berkumpul untuk mendiskusikan pengembangan pertanian, ketahanan pangan, dan nutrisi adalah bukan dan seharusnya bukan menjadi sebuah rutinitas tugas tahunan, melainkan menjadi sebuah kesempatan bagi kita untuk menggemakan tangisan ratusan dari jutaan orang di seluruh dunia yang menderita kelaparan kronis dan kelemahan pangan. Seharusnya juga mengingatkan kita akan paradoks bahwa sementara begitu banyak yang meninggal karena kelaparan, suatu jumlah pangan yang luar biasa disia-siakan setiap hari.
Menurut laporan Sekretaris Jenderal mengenai Pengembangan Pertanian, Ketahanan Pangan, dan Nutrisi(A/69/279), sejak 1990 telah ada penurunan jumlah orang yang menderita kelaparan kronis sebanyak 17%. Sementara penurunan ini mengindikasikan sebuah langkah efektif dari upaya-upaya selama lebih dari dua dekade dalam mengurangi kelaparan kronis, hal ini juga berarti bahwa kita masih memiliki hampir 850 juta orang yang menderita kelaparan akut. Angka ini saja sendiri sudah mengejutkan, tetapi apa yang lebih mengejutkan kita adalah fakta di balik angka-angka itu adalah orang-orang nyata, dengan martabat dan hak-hak dasar mereka. Maka dari itu penghapusan kelaparan bukan hanya priotitas utama tujuan pembangunan, namun merupakan desakan moral.
Namun demikian, bukanlah kekurangan pangan di dunia yang membuat mereka menderita kelaparan akut, karena tingkat produksi pangan dunia saat ini adalah cukup bagi semua orang. Masalahnya ada di mana-mana, seperti kurangnya konservasi teknologi di pihak produsen skala kecil, lemahnya atau tidak adanya dukungn pemerintah untuk member insentif bagi komersialisasi produk, ataupun kurangnya infrastruktur bagi distribusi pangan dan pemasaran yang lebih baik. Yang tak kalah menyedihkan, paradoks ini juga akibat dari budaya buang dalam masyarakat, penghacuran produk pangan secara semena-mena dalam skala besar demi menjaga harga dan margin profit tetap tinggi, serta kebijakan-kebijakan lain yang menghalangi tujuan bersama ketahanan pangan bagi semua.
Beban biaya manusia dan sosio-ekonomi dari kelaparan dan malnutrisi adalah luar biasa besar. Seharusnya tidak ada prioritas yang lebih besar dari ini, karena makanan dan nutrisi mengatasi semua yang lain, entah itu kesehatan, pendidikan, pemeliharaan perdamaian ataupun dinikmatinya hak-hak. Sementara kita membarui upaya-upaya kita untuk menghapuskan kelaparan dan malnutrisi di dunia, segenap “Keluarga Perserikatan Bangsa-bangsa” harus mengusungnya, meletakkannya di garda depan upaya-upaya kolektif. Untuk  alasan inilah Takhta Suci menyambut baik inkorporasi ketahanan pangan, nutrisi, dan pertanian yang berkelanjutan, sebagai komponen-komponen tujuan pembangunan berkelanjutan dan pencantumannya dalam Agenda Pembangunan pasca 2015.
Bersama ini juga, Takhta Suci menyambut baik fokus yang diarahkan dalam laporan Sekretaris Jenderal Pengembangan Pertanian, Ketahanan Pangan, dan Nutrisi (A/69/279) kepada kawasan-kawasan di dunia di mana kelaparan dan malnutrisi mencapai tingkat yang tidak bisa diterima. Takhta Suci menghargai fokus laporan terhadap kelompok-kelompok yang paling rentan akan malnutrisi, seperti perempuan hamil dan anak-anak di bawah lima belas tahun. Malnutrisi kronis dan nutrisi rendah terrus menerus memengaruhi begitu banyak anak-anak di dunia. Nyatanya, setiap tahun 51 juta anak di bawah lima belas tahun disia-siakan akibat malnutrisi, yang mana hampir tujuh juta di antaranya meninggal. Laporan Sekretaris Jenderal dengan demikian memperingatkan kita akan adanya tantangan-tantangan yang luar biasa ke depan.
Bapak Ketua Sidang,
Tema Hari Pangan Sedunia tahun ini adalah “Pertanian Keluarga: Memberi Makanan bagi Dunia, Merawat Bumi” (Family Farming: feeding the world, caring for the earth) menyadarkan kita bahwa keluarga adalah kunci dalam perjuangan mengakhiri kelaparan. Keluarga memainkan peranan kunci dalam mencapai masa depan berkelajutan yang kita inginkan. Keluarga merupakan komponen kunci sistem pangan yang kita butuhkan mencapai hidup yang lebih sehat.  Kehadiran keluarga yang membumi menjadikannya agen khusus bagi peningkatan lingkungan hidup yang lebih sehat bagi generasi saat ini dan mendatang. Pengakuan peran keluarga ini harus disertai dengan kebijakan-kebijakandan inisiatif-inisiatif yang sungguh-sungguh merespon kebutuhan akan keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas yang bertani.  

Bapak Ketua Sidang,
Sebagai penutup, izinkan saya meminta perhatian Anda untuk konferensi internasional bulan depan mengenai nutrisi di Roma. Tujuannya adalah agar para pemimpin pemerintahan, pembuat kebijakan pada tingkat atas, dan perwakilan-perwakilan organisasi non-pemerintah, serta masyarakat sipil, duduk bersama untuk ambil bagian dalam kemajuan yang dibuat dalam peningkatan nutrisi dan untuk melihat cara-cara baru untuk meningkatkan upaya-upaya nasional dan globalbagi peningkatan kesehatan. Paus Fransiskus berencana untuk menyampaikan sambutan kepada konferensi untuk mengungkapkan komitmen Beliau bagi masa depan yang kita inginkan, sebuah masa depan yang dimulai dari pemecahan masalah bersama demi menjamin tak seorang pun pergi tidur dalam keadaan lapar. 

Terima kasih, Bapak Ketua Sidang.



Selasa, 04 November 2014

Pernyataan Takhta Suci tentang Globalisasi dan Interdependensi (27/10/2014)




Pernyataan Y.M. Bernadito Auza
Pengamat Tetap Takhta Suci untuk PBB 
pada Komisi Kedua Sesi ke-69 Sidang Dewan Umum PBB
Agenda Item 21: Globalisasi dan Interdependensi
New York, 27 Oktober, 2014


#Terjemahan tidak resmi

Bapak Ketua Sidang,

Delegasi saya membagikan pandangan yang disampaikan dalam laporan terbaru Sekretaris Jenderal mengenai topic ini bahwa tantangan pokok dalam agenda pembangunan pasca 2015 adalah menjamin bahwa globalisasi menguntungkan semua orang. Delegasi saya secara berkeadilan membagikan pandangan bahwa kita perlu untuk memperkuat multilateralisme untuk membantu mencapai tujuan ini dan menangani risiko-risiko yang beragam dan menghubungkan tantangan-tantangan yang diasosiasikan dengan globalisasi.

Laporan Sekretaris Jenderal menyoroti keuntungan luar biasa yang dapat diperoleh dari globalisasi, tetapi juga ketidaksetaraan globalisasi yang meluas. Ketika globalisasi membawa orang-orang sebagai rekan yang setara, globalisasi menciptakan hasil yang saling menguntungkan, sebuah rekanan yang bersifat win-win bagi semua. Jika tidak, globalisasi menimbulkan ketidaksetaraan dan marginalisasi yang semakin besar, eksploitasi, dan ketidakadilan. Benarlah, dengan segala daya upaya manusia, globalisasi berdampak baik atau buruk, bergantung pada etika dan kebijakan yang mendasarinya dan kemudian mengendalikan prosesnya.

Bapak Ketua Sidang,

Delegasi saya beharap untuk menggarisbawahi dua isu di dalam konteks globalisasi dan interdependensi (saling ketergantungan), yaitu peran budaya dan fenomena migrasi.

1.  Laporan Sekretaris Jenderal mengenai Budaya dan Pembangunan Berkelanjutan menginformasikan kepada kita bahwa budaya adalah penggerak utama dalam globalisasi dan interdependensi. Turisme budaya mencatat 40% dari penghasilan turisme yang bertumbuh pesat. Lebih lanjut, kekuatannya untuk memobilisasi tidak hanya dapat diukur berdasarkan istilah ekonomi, tetapi juga keuntungan tak berwujud (intangible) dan non-uang. Turisme budaya memperluas cakrawala kita dan memperdalam pengetahuan kita mengenai bangsa-bangsa dan tempat-tempat, memajukan saling pengertian antarbangsa, memajukan inklusivitas dan keberakaran (rootedness), mendorong pelestarian warisan budaya dan tradisi, memperkuat kreativitas dan inovasi, mengendalikan *gentrifikasi di dalam kota-kota, memajukan kesadaran akan kebutuhan perlindungan keajaiban alam. Singkatnya, budaya merupakan wahana utama untuk mengekspresikan dan berbagi kemanusiaan kita. Sangatlah penting jika pengembangan manusia yang otentik merupakan tujuan akhir aktivitas ekonomi dan pembangunan.  

Maka dari itu, delegasi saya percaya bahwa mangingat semua keuntungan dan nilai budaya ini, kita seharusnya tidak menguranginya hingga sampai pada pertukaran pasar. Di satu sisi, kegiatan ekonomi, mengikuti kelangkaan yang logis, sebagaimana kelangkaan menuntut ketersediaan yang lebih besar. Di sisi lain, budaya datang dari logika keberlimpahan. Ketika kita mengatakan budaya, kita melihat keindahan, dan keindahan, dalam definisi metafisiknya, tidak lain merupakan keberlimpahan luar biasa dari apa yang benar dan baik. Budaya tidaklah dimaksudkan untuk dimiliki secara pribadi atau menjadi eksklusif, tetapi untuk dibagikan dan untuk didialogkan dengan budaya lainnya. Budaya sebuah masyarakat merupakan anugerah mereka bagi kebaikan bersama, karena merupakan ungkapan kemanusiaan mereka, dan melalui budaya kita dapat masuk ke dalam dialog yang sejati karena ia berbicara kepada kemanusiaan kita bersama.

2. Salah satu tantangan terbesar globalisasi adalah migrasi. Ketika individu dan bangsa-bangsa telah bergerak sejak waktu lampau, migrasi telah sungguh-sungguh menjadi fenomena pada zaman kita, hingga sampai pada taraf di mana hanya krja sama yang sistematis dan kooperatif antara negara-negara dan organisasi-organisasi internasional yang dapat meregulasi dan mengatur pergerakan migrasi secara efektif. Laporan Sekretaris Jenderal mengenai Migrasi Internasional dan Pembangunan menyatakan kepada kita akan banyaknya tantangan yang diajukan gerakan-gerakan migrasi kepada negara-negara dan kepada komunitas internasional secara keseluruhan. Sesungguhnya, Takhta Suci meyakini bahwa hal tersebut memengaruhi semua orang, tidak hanya karena taraf fenomenanya, melainkan juga karena masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama yang ditimbulkannya.
Takhta Suci hendak menyoroti khususnya kasus-kasus perdagangan manusia yang meresahkan dan bentuk-bentuk kontemporer perbudakan yang ditimbulkan oleh migrasi. Data statistik menunjukkan bahwa lebih dari 27 juta orang hidup dalam kondisi perbudakan di seluruh dunia, menghadapi eksploitasi seksual, kerja paksa, dan penyangkalan hak-hak asasi mereka, Diperkirakan dua juta perempuan menjadi korban perdagangan seksual setiap tahunnya, dan banyak, termasuk anak-anak, yang menjadi korban perdagangan organ tubuh. Masih lebih banyak lagi mereka yang bekerja memeras keringat untuk jam kerja yang panjang, dibayar dengan sangat rendah, dan tanpa perlindungan sosial dan hukum.
Bentuk-bentuk modern perbudakan ini merupakan lawan dari globalisasi yang dikemudikan oleh budaya perjumpaan dan nilai-nilai solidaritas dan keadilan. Paus Fransiskus memastikan bahwa bentuk-bentuk modern perbudakan ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan sebuah luka menganga pada tubuh masyarakat kontemporer kita.
Delegasi saya sepenuhnya sadar akan kompleksitas migrasi, khususnya menyangkut aspek hukum, atau dalam kasus-kasus di mana migrasi paksa atau pengusiran yang disebabkan oleh konflik ataupun bencana. Bagaimanapun, di atas semua pertimbangan, selalu perlu untuk melihat wajah manusia yang bermigrasi, untuk melihat para migran sebagai sesama manusia, yang dianugerahi martabat dan hak yang sama seperti kita. Hanya dengan demikian, kita dapat menanggapi globalisasi migrasi dengan globalisasi solidaritas dan kerja sama. Lebih lanjut, solidaritas dengan migran saja tidaklah cukup, jika tidak dilengkapi dengan upaya-upaya yang membawa perdamaian dalam kawasan-kawasan konflik dan yang membawa tatanan ekonomi dunia yang lebih berkeadilan.

Jika globalisasi telah menyusutkan dunia menjadi sebuah desa, selayaknyalah kita juga menjadi tetangga-tetangga yang baik.

Terima kasih, Bapak Ketua Sidang.