Sabtu
yang lalu (8/11/2014), Paus Fransiskus menunjuk seorang Uskup Agung kelahiran Liverpool, yaitu
Uskup Agung Paul Gallagher untuk menempati posisi Sekretaris Hubungan dengan
Negara-negara. Dengan demikian, ia menjadi seorang penutur asli bahasa Inggris pertama
yang menduduki posisi yang berfungsi sebagai 'Menteri Luar Negeri Vatikan'.
Tanggung jawab yang diembannya termasuk
mengawasi Seksi Kedua Sekretariat Negara, yang mana memiliki tugas spesifik untuk
terlibat dengan pemerintah-pemerintah sipil dan organisasi internasional. Uskup
Agung Gallagher akan langsung bekerja di bawah kepemimpinan Sekretaris Negara,
Kardinal Pietro Parolin. Lazimnya, Sekretaris untuk Hubungan dengan
Negara-negara dipilih dari korps diplomatik Takhta Suci, mengingat pengalaman
mereka sebagai perwakilan Takhta Suci bagi bangsa-bangsa di dunia.
Dalam konteks itulah, posisi Uskup Agung Gallagher
menjadi unik. Ia telah menghabiskan 30 tahun pelayanan nunciatura (kedutaan
besar Takhta Suci) di Tanzania, Uruguay, Filipina, dan sebagai sebagai nuncio
di Burundi, Guatemala, dan Australia.
Nyatanya, Uskup Agung Gallagher menyatakan bahwa “banyak orang yang telah bekerja dengan saya, Nuncio-nuncio
yang saya layani bertahun-tahun lalu” telah menjadi inspirasi dalam hidupnya. “Yang
paling jelas,” katanya, “ketika saya ditugaskan di Burundi pada tahun 2004,
saya bekerja di bawah Uskup Agung Michael Courtney yang kemudian dibunuh.
Bekerja di bawah seseorang yang telah melakukan pengorbanan yang luar biasa
adalah sungguh-sungguh sesuatu yang sangat signifikan”.
Uskup Agung Gallagher melanjutkan, “Ketika Anda
berkeliling dunia dalam Nunciatura-nunciatura –entah sebagai imam atau sebagai
Nuncio –Anda melihat mikrokosmos masalah yang sedang dialami dunia, dan mereka
semua saling berhubungan. Saat ini kita sekarang menghadapi masalah serius
dalam hal pertumbuhan bangsa-bangsa dan masyarakat, aspirasi-aspirasi mereka,
ke mana mereka melangkah. Kita memiliki banyak konflik yang muncul karena
kemiskinan dan ketertinggalan pembangunan. Dunia ini menjadi semakin terpolarisasi,
dan maka dari itu, mereka merasa bahwa ambisi mereka hancur dan inilah yang kemudian
membawa banyak orang kepada situasi keputusasaan.”
Uskup Agung Gallagher juga melayani sebagai
Pengamat dalam Parlemen Eropa di Strassbourg. Selain itu, ia juga memiliki pengalaman
dalam Kuria, bekerja di Seksi Kedua, sejak 1995 sampai 2000 bersama dengan
Kardinal Parolin, yang kini menjabat Sekretaris Negara. “Saya juga sangat
diperkaya oleh banyak orang di Sekretariat Negara ketika saya di sana,”
katanya. “Anda memiliki karier yang sewaktu-waktu, tetapi saya merasa bahwa
kebanyakan orang yang bekerja bersama saya, bekerja dengan motivasi yang
sungguh-sungguh tinggi.”
Semua pengalaman ini, katanya, telah meyakinkannya
bahwa peranan Diplomat Kepausan merupakan “suatu pelayanan dan kontribusi yang
valid”. “Saya tidak yakin sepakat dengan gagasan bahwa menjadi seorang diplomat
kepausan merupakan sebuah panggilan, karena saya pikir Anda harus dengan sangat
‘cemburu’ menjaga panggilan imamat di tengah ini semua jika Anda ingin berbuat
sesuatu yang benar-benar positif. Akan tetapi, tentu saja (Diplomat Kepausan)
merupakan sebuah panggilan di dalam Gereja, yang sungguh valid dan dapat sangat
berkontribusi bagi Gereja dalam hal komunikasi, representasi, dan menjelaskan
Gereja lokal kepada Roma dan menjelaskan Roma kepada Gereja lokal, seperti yang
sering saya katakan.”
Uskup Agung Gallagher menyimpulkan bahwa lingkup diplomatik merupakan soal pembangunan kekayaan sejarah Gereja, “Pengalaman saya adalah bahwa ada sangat sedikit kekejaman kepada Takhta Suci sebagai sebuah entitas, malahan mereka melihat ada sebuah nilai di dalamnya. Kami bekerja untuk bersumbangsih atas dasar iman kami, tetapi juga atas pengalaman dan sejarah Gereja kita.”