Takhta
Suci sebagai sebuah entitas, sebenarnya tidak lain merupakan perwujudan primasi Petrus,
salah seorang dua belas rasul dalam masa Gereja
awal. Tentu saja, pada masa Gereja awal, belum ada terminologi “Takhta Suci”. Kepemimpinan Petrus ini diteruskan dengan
setia, yaitu melalui apa yang kemudian disebut sebagai suksesi apostolik. Seiring
berjalannya waktu, penerus Petrus seringkali mengirimkan duta gereja kepada pemerintah
sekular ataupun yurisdiksi Gereja lain yang mewarisi suksesi kepemimpinan kesebelas
rasul lainnya selain Rasul Petrus. Pengiriman duta inilah, yang akhirnya membuat
Takhta Suci sebagai entitas tertua yang mengirimkan misi diplomatik. Runtuhnya
kekaisaran Romawi Barat, menyebabkan Takhta Suci berada di atas angin, dan kemudian
sedikit demi sedikit memperoleh kesan yang “megah”. Di sisi lain, hubungan-hubungan
diplomatik secara bertahap dijalin dengan pemerintah-pemerintah sekular. Pasca imperialisme Barat, hubungan diplomatik
yang dijalin antara Takhta Suci dan pemerintah-pemerintah sekular terus
dimantapkan, hingga kemudian “Takhta Suci” (Holy See) menjadi salah satu apa
yang kemudian disebut sebagai subyek hukum internasional, dan menjadi salah
satu anggota Pengamat Tetap (Permanent Observer) dalam keanggotaan PBB.
Tidak bisa dipungkiri, penerus Petrus
(Paus) dalam kepemimpinannya, membawa serta seluruh karakter dan kepeduliannya
yang khas. Inilah yang kemudian menyebabkan Takhta Suci memiliki “kebijakan
luar negeri” yang khas pada setiap masa kepemimpinan seorang Paus. Walaupun
demikian, harus diingat bahwa diplomasi Takhta Suci adalah satu-satunya bentuk
diplomasi yang murni tanpa keberpihakan, dan hanya memiliki satu kepentingan,
yaitu perdamaian dunia. Lalu bagaimana dengan diplomasi Paus Fransiskus? Pertama-tama
memang harus dipahami terlebih dahulu bahwa aktor diplomatik utama Takhta Suci,
bukanlah para diplomat Takhta Suci yang disebar ke seluruh dunia melalui apa
yang disebut “Nunciat Apostolik” (yang dalam ketatanegaraan sekular disebut “Kedutaan
Besar”). Aktor diplomatik utama Takhta
Suci, adalah Paus sendiri.
Dalam sambutannya pada acara 2014 Gonzaga
Lecture, di St. Aloysius Gonzaga College, Glasgow, 11 Maret 2014, Nigel Baker,
Kepala Perwakilan (Duta Besar) Kerajaan Inggris untuk Takhta Suci, ia menggemakan
kembali bahwa peran sebuah kantor perwakilan –dalam hal dirinya, Kedutaan Besar
Inggris untuk Takhta Suci –adalah sangat penting. Sebagai seorang Kepala Perwakilan
ia diakreditasikan kepada Takhta Suci, dan itu berarti kepada suatu entitas
yang memiliki 106 misi diplomatik di 180
negara. Tetapi bukan hanya itu saja, itu berarti juga bahwa ia
diakreditasikan kepada sekitar 5.100 Uskup (yang membawahi paroki-paroki, unit
terkecil dalam Gereja Katolik) dan lebih dari 400.000 imam di seluruh dunia,
belum lagi NGO yang berada dalam naungan Gereja Katolik, seperti SCIAF dan
CAFOD. Masih ada lagi. Seorang Kepala Perwakilan yang diakreditasikan kepada
Takhta Suci juga berarti diakreditasikan kepada komunitas-komunitas religius
(ordo/tarekat/kongregasi) Katolik yang tersebar di seluruh dunia. (Menurut
sebuah sumber lain, memang menjalin hubungan diplomasi dengan Takhta Suci
adalah sangat menguntungkan. Mengapa demikian? Karena informan yang tersedia
berlimpah. Bayangkan, imam-imam (pastor) di paroki-paroki terpencil, pastilah
melaporkan situasi yang dihadapinya kepada Uskup. Pun, secara garis hierarki, walaupun
memiliki lingkup wewenang mengajar yang berbeda, Uskup lokal dan Uskup Roma
(Paus) adalah setara dalam kedudukan, maka Uskup manapun dapat berkontak
langsung dengan Paus, yang adalah sesama rekan Uskup). Menurut Nigel Baker,
Paus Fransiskus adalah seorang yang menyadari realitas Gereja Katolik yang
mengglobal. Sebagaimana yang pernah dikatakan Paus Fransiskus pada awal keterpilihannya
bahwa ia datang “dari bagian dunia yang jauh”, tetapi kemudian juga diserukannya
dalam ensiklik (edaran) Evangelii Gaudium, “Saya adalah seorang pastor Gereja
tanpa batas.”
Tetapi sebenarnya apa
sasaran-sasaran diplomasi kepausan dalam masa kepemimpinan Paus Fransiskus?
Menyangkut hal ini, Nigel Baker mengutip apa yang pernah dikatakan oleh
Kardinal Parolin, “Sasaran-sasaran diplomasi kepausan adalah apa yang
digariskan Paus pada pertemuan pertama beliau dengan para duta besar yang
diakreditasikan kepada Takhta Suci pada Maret 2013, yaitu untuk membangun
jembatan-jembatan dalam rangka memajukan dialog dan menggunakan negosiasi
sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik, menyebarkan rasa persaudaraan,
memerangi kemiskinan, dan membangun perdamaian. Paus tidak memiliki “kepentingan”
atau “strategi” lain, dan begitu juga mereka yang mewakilinya di luar
Vatikan... Dalam sebuah dunia beragam yang memiliki risiko keterpecahbelahan,
diplomasi Vatikan dapat dan harus berdiri di pihak bangsa-bangsa dan populasi-populasi
manusia dalam rangka membantu mereka menyadari bahwa perbedaan mereka merupakan
sebuah aset dan sebuah sumber, serta membangun sebuah dunia yang manusiawi dan
bersaudara, di mana ada ruang bagi setiap orang, utamanya bagi mereka yang
lemah dan menderita.”
Masih menurut Nigel Baker, Paus Fransiskus
memang telah berhasil mengejawantahkan diplomasi dengan sangat baik. Dalam G8
Summit, Juli 2013, Paus Fransiskus mengirimkan pesan yang kemudian dibacakan
dalam forum, bahwa “setiap teori dan tindakan ekonomi maupun politik, harus
dirancang agar menyediakan bagi setiap penghuni planet, sebuah ruang minimum
untuk hidup bermartabatdan merdeka, dengan kemungkinan untuk menunjang sebuah
keluarga, mendidik anak-anak, memuji Tuhan, dan membangun potensi manusiawi
seseorang. Ini yang pokok, bahwa dalam ketiadaan visi semacam itu, semua
aktivitas ekonomi menjadi tidak bermakna.”
Dalam politik internasional, Paus
Fransiskus juga telah berhasil mengejawantahkan perannya sebagai aktor
diplomatik utama Takta Suci dengan sangat baik. Kita masih ingat bahwa pada
tanggal 7 September 2013, beliau menyerukan sebuah hari doa untuk Syria, Timur
Tengah, dan dunia. Mungkin sebuah tindakan mengajak berdoa terlihat sepele,
tetapi dunia bereaksi. Stasiun televisi Italia menyiarkan acara doa secara
langsung. Pemimpin-pemimpin Muslim menanggapi seruan ajakan doa itu secara
postif. Politisi-politisi Katolik yang tergerak, secara khusus di Inggris, melakukan
intervensi di Parlemen Westminster keesokan hari setelah Paus Fransiskus
menyerukan hari doa.
Dalam hal kepedulian akan ciptaan, Paus Fransiskus merupakan
tokoh yang pertama kali memopulerkan istilah “budaya sampah” (culture of waste)
dalam Hari Lingkungan Sedunia, 5 Juni 2013. Istilah ini digunakannya untuk
menggambarkan ketidakseimbangan sistemik ekologi manusia. Sebagai hasilnya,
Caritas Internasional (sebuah lembaga sosial katolik) yang beranggotakan 164 negara
berespon dengan mengkampanyekan secara global : “Satu Keluarga Manusia, Makanan
untuk Semua” (One Human Family, Food for All) dengan sasaran utama yang cukup
ambisius , yaitu menghapuskan kelaparan pada tahun 2025.
Lalu bagaimana dengan isu-isu terkini di
Asia? Dalam menanggapi kekejaman ISIS di Irak, misalnya, Paus Fransiskus
sebagai penerus Petrus yang menduduki Takhta Suci menuntut adanya suatu “tindakan”
termasuk tindakan militer yang terbatas oleh komunitas internasional. Ia
kemudian menegaskan, “dalam kasus-kasus di mana ada agresi yang tidak adil,
saya hanya dapat berkata bahwa adalah suatu yang halal (licit) untuk
menghentikan agresor yang tidak adil. Saya menggarisbawhi kata ‘menghentikan’.
Saya tidak berkata ‘membom’ atau ‘mengadakan perang’, tetapi ‘menghentikan’. Tentu
saja, pernyataan Paus Fransiskus menawarakan pandangan baru mengenai penggunaan
kekuatan militer yang terbatas. Menanggapi hal ini, Uskup Agung Kurtz, Ketua
Konferensi Waligereja AS, menilai bahwa moral Katolik membenarkan kekuatan
militer untuk melindungi rakyat yang tidak bersalah. “Jika saya berada di
jalan, dan saya menemukan seseorang menyerang orang yang tak bersalah, saya
harus menemukan cara-cara untuk menggertak si penyerang. Kadangkala, kekuatan
(militer) adalah satu-satunya cara.”
Pada 13 Agustus 2014, Paus Fransiskus mengirimkan
pesan kepada Sekjen PBB Ban Ki Moon agar menyerukan komunitas internasional
untuk campur tangan menyelesaikan konflik di Irak. Paus Fransiskus menuliskan
dalam pesannya, “(...) Saya mendorong semua badan-badan kompeten dalam PBB,
utamanya yang secara khusus bertanggung jawab untuk masalah keamanan,
perdamaian, hukum kemanusiaan, dan pendampingan pengungsi, untuk melanjutkan
upaya-upaya mereka seturut pembukaan dan pasal-pasal piagam PBB yang relevan.” Uskup
Agung Silvano Tomasi, Kepala Perwakilan Tetap Takhta Suci untuk PBB
mengklarifikasi posisi Takhta Suci. Ia berkata, “Dalam kasus ini, ketika segala
upaya telah dicoba, pasal 42 Piagam PBB dapat menjadi dasar pembenaran untuk
(menggunakan) kekuatan militer untuk menghentikan kejahatan dan tragedi ini.”
Dalam hal tanggapan terhadap ISIS, Paus
Fransiskus terlihat garang, tapi coba kita sedikit mundur pada rangkaian
kunjungan pastoral Paus Fransiskus ke Korea Selatan baru-baru ini. Ia melakukan
pertemuan dengan para wanita yang menjadi pemuas seks tentara Jepang (Jugun
Ianfu) selama Perang Pasifik. Ia menghadiri rangkaian acara World Youth Day –dan
dengan murah hati menyediakan diri untuk berpose selfie dengan kaum muda. Ia
juga menyelenggarakan misa dengan intensi reunifikasi kedua Korea. Pendek kata,
Paus Fransiskus telah menjadi benar-benar seorang ‘Paus’, yang secara harfiah
berarti “Bapak’. Ia telah berhasil mengembangkan semangat kebapakannya seluas
dunia.
Apa yang bisa disimpulkan dari ini semua? Dari
respon Paus Fransiskus terhadap isu-isu dunia, tercandra bahwa spektrum respon Paus
Fransiskus sangat beragam, namun satu hal yang pasti –bahwa Ia terlihat sangat fleksibel
dalam menggunakan segala bentuk jalinan hubungan yang dimiliki Takhta Suci dengan
forum-forum ataupun lembaga-lembaga internasional. Apakah dasar kekuatan yang
dimiliki Paus Fransiskus hingga ia bersusah payah melakukan semua ini?
Sebenarnya, jika ingin mengetahui hal ini, kita harus menengok ensiklik pertama
yang dikeluarkan Paus Fransiskus –karena ensiklik (surat edaran) pertama
seorang Paus biasanya menggambarkan apa yang hendak dicapai oleh seorang Paus.
Ensiklik pertama yang dikeluarkan Paus Fransiskus adalah ‘Evangelii Gaudium’
(Sukacita Pewartaan). Kiranya memang, sepak terjang diplomasi Paus Fransiskus,
dilakukannya atas dasar pewartaan khas Gereja Katolik –bahwa pewartaan bukan
pertama-tama bertujuan sebagai suatu upaya Kristenisasi tetapi sebuah
penyadaran akan kodrat manusia, yang diciptakan secitra dengan Penciptanya, dan
karena itu memiliki hak penuh untuk bahagia demi dirinya sendiri. Maka dari
perspektif tersebut, dapat dikatakan bahwa diplomasi ala Paus Fransiskus,
memang benar-benar suatu ‘pewartaan’ gerejawi.
Bahan bacaan:
https://www.gov.uk/government/speeches/pope-francis-holy-see-diplomacy-under-the-first-jesuit-pope--2
http://www.ncregister.com/daily-news/has-pope-francis-endorsed-u.s.-airstrikes-in-iraq/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar