Rabu, 14 Mei 2014

Intervensi Takhta Suci Tentang Penggunaan Pesawat Tempur Tanpa Awak (13/5/2014)






Intervensi Y.M. Uskup Agung Silvano M. Tomasi, Perwakilan Tetap Takhta Suci untuk PBB dan Organisasi Internasional Lain di Jenewa, pada Pertemuan Para Pakar Sistem Senjata Militer Otomatis dari Pihak-pihak Penanda Tangan Konvensi “Pelarangan atau Pembatasan terhadap Penggunaan Senjata Konvensional Tertentu yang Ditengarai Berdampak Luka Serius atau Memiliki Efek Indiskriminasi”.

Yang Terhormat Bapak Presiden,

Pertama-tama perkenankan saya mendorong Anda demi persiapan yang baik untuk pertemuan yang sangat penting ini,  agar walaupun mandat (yang saya terima) adalah hanya berdiskusi dalam kerangka informal mengenai keprihatinan-keprihatinan yang muncul seputar teknologi baru, (pertemuan ini) tidak henya berdampak pada cara melangsungkan perang namun yang lebih penting lagi, (pertemuan ini) mempersoalkan kemanusiaan dalam masyarakat kita yang mengandalkan mesin untuk membuat keputusan mengenai kematian dan kehidupan. Pada tahun 2013, delegasi ini menyampaikan keprihatinannya yang dalam terhadap hubungan antara penggunaan pesawat tempur tanpa awak dan konsekuensi etis bagi pengguna dan korban yang terlibat di dalamnya.

Sementara dalam berbagai bidang, teknologi otomatisasi dapat sungguh terbukti menguntungkan bagi kemanusiaan, penggunaan teknologi senjata otomatis benar-benar berbeda. (Penggunaan tersebut) meletakkan mesin pada posisi memutuskan antara hidup dan mati. Kita sangat disusahkan dengan sistem teknologi senjata otomatis yang mungkin dapat beroperasi di luar pengawasan atau kapabilitas intelegensia bersama sehingga menjadi benar-benar menargetkan manusia. Niat baik bisa jadi merupakan awal dari turunan yang licin. Ketika kemanusiaan diperhadapkan dengan tantangan yang besar dan menuntut keputusan –dari kesehatan, lingkungan, hingga perang dan perdamaian –mengambil waktu untuk merenung, sambil bertumpu pada prinsip pencegahan, serta mengadopsi sikap yang masuk akal untuk tindakan pencegahan, adalah lebih patut daripada menyongsong ketidakjelasan dan (melakukan) upaya-upaya penghancuran diri sendiri.

Sistem senjata otomatis, seperti sistem senjata lainnya, harus dikaji ulang dan lolos uji IHL. Demi penghormatan terhadap hukum internasional, dan hukum hak asasi manusai, IHL bukanlah sesuatu yang opsional. Takhta Suci mendukung poandangan bahwa sistem senjata otomatis, sepert pesawat tempur tanpa awak, memiliki kekurangan yang besar yang tidak dapat diatasi hanya dengan menghormati aturan IHL.Sejalan dengan hal tersebut, sistem-sistem ini akan membutuhkan kualitas manusia yang justru kurang dimiliki. Konsekuensi etis dari sistem-sistem seperti itu jika diterapkan dan digunakan tidak bisa diacuhkan dan diremehkan.

Tren meningkat akan dehumanisasi alat perang mewajibkan semua bangsa dan masyarakat untuk berpikir ulang. Prospek membangun tentara robot yang dirancang untuk menargetkan manusia memiliki potensi untuk mengubah persepsi mendasar tentang perang. Mengeluarkan manusia “keluar dari celah” memunculkan pertanyaan etis yang signifikan, utamanya karena tidak adanya keterlibatan yang bermakna dari manusia dalam pengambilan keputusan perang.
Yang Terhormat Bapak Presiden,

Bagi Takhta Suci, pertanyaan mendasar adalah sebagai berikut: Dapatkah mesin –yang diprogram baik dengan algoritma rumit tingkat tinggi untuk membuat keputusan di medan perang seturut IHL –sungguh-sungguh menggantikan manusia memutuskan hidup dan mati?

Jawabannya adalah tidak. Manusia tidak boleh keluar dari celah pengambilan keputusan mengenai hidup dan mati untuk manusia lain. Intervensi yang memadai dari manusia atas keputusan semacam itu harus selalu ada. Keputusan hidup dan mati  berseberangan jalan  kehadiran kualitas manusia, seperti welas asih dan pikiran jernih. Sementara ketidaksempurnaan manusia tidak dapat secara sempurna memiliki kualitas seperti itu dalam panasnya perang, kualitas-kualitas tersebut tidaklah tergantikan ataupun dapat diprogamkan. Studi terhadap pengalaman para tentara mendukung bahwa manusia tidak cenderung untuk mengambil nyawa, dan pergumulan ini menunjukkan pada dirinya sendiri, saat-saat penuh welas asih dan rasa manusiawi dalam kengerian perang.

Memprogram suatu “pemerintahan  etis” atau “intelegensia buatan” yang memampukan senjata otomatis untuk secara teknis berpadanan dengan hukum perang dalam area distinction dan proporsionalitas, bahkan jika mungkin, hal tersebut tidaklah cukup. Masalah mendasar tetap ada: kurangnya kemanusiaan, kurangnya keterlibatan yang bermakna dari manusia dalam memutuskan hidup dan mati manusia lainnya. Kapasitas manusia untuk melakukan penalaran moral dan mengambil keputusan secara etis, lebih dari sekadar koleksi algoritme. Faktor manusia dalam keputusan hidup dan mati tidak pernah dapat digantikan.

Sudah sangatlah kompleks menerapkan peraturan pembedaan dan proporsionalitas dalam konteks perang. Membedakan tentara dari penduduk sipil, atau beban kemenangan militer dan penderitaan manusia, dalam panasnya perang, bukanlah suatu yang dapat direduksi menjadi masalah-masalah teknis programming. Intervensi yang bermakna dari manusia, dengan kapasitas unik kita untuk melakukan penalaran moral, merupakan sesuatu yang mutlak penting dalam membuat  keputusan-keputusan tersebut.

Bagian dari justifikasi dari pengembangan senjata-senjata tersebut mungkin adalah gagasan “jika kita tidak mengembangkan teknologi ini, maka yang lain akan melakukannya”. Pengembangan sistem senjata otomatis yang kompleks nampaknya di luar jangkauan aktor negara kecil atau aktor non-negara. Bagaimanapun, sekali sebuah sistem dibangun oleh negara-negara yang lebih besar, tidaklah sulit untuk meniru mereka. Sejarah menunjukkan bahwa pengembangan dalam teknologi militer, dari busur hingga pesawat tempur tanpa awak, memberikan pada sisi penemuan, sebuah kemajuan militer yang sementara. Pengembangan senjata yang meluas dari sistem-sistem senjata tersebut, secara tidak menguntungkan akan mengubah kodrat dasariah alat perang seluruh keluarga bangsa-bangsa.

Minimalisasi risiko hingga kepada kekuatan (militer) itu sendiri merupakan seuatu yang dapat dimengerti dan legitim. Bagaimanapun, dengan tidak mengesampingkan kisah kengerian dari satu sisi, biaya politik domestik untuk berperang menjadi berkurang secara signifikan. Ini merupakan penghambat yang penting untuk aksi militer yang terburu-buru, dan merupakan penghambat yang tidak boleh diabaikan begitu saja.

Teknologi sistem senjata otomatis membuat perang menjadi terlalu mudah dan menyingkirkan ketergantungannya pada kebajikan ketentaraan. Beberapa pakar militer dan profesional, yang mempertimbangkan untuk membunuh manusia sebagai masalah yang paling serius, disusahkan dengan gagasan untuk mendelgasikan keputusan ini kepada mesin. Jelaslah bahwa suara-suara ini menghargai potensi robot untuk mendampingi penjinakan bom, mengevakuasi korban luka, atau meninjau medan perang, namun potensi robot untuk secara utuh menggantikan tentara di medan perang tetaplah menjadi keprihatinan pokok mereka.

Lebih lanjut, pendelegasian tanggung jawab pengambilan keputusan oleh manusia kepada sistem otomatis yang dirancang untuk mengambil nyawa manusia, menciptakan kekosongan akuntabilitas yang membuat (pendelegasian itu) mustahil memberatkan siapapun yang cukup akuntabel (bertanggung jawab) atas pelanggaran hukum internasional dengan diciptakannya sistem senjata otomatis.

Keprihatinan inilah yang tepatnya menyerukan pendekatan multilateral untuk mempertanyakan pengembangan dan implementasi sistem senjata otomatis. Seperti dalam kasus Protocol on Blinding Laser Weapons (Protokol mengenal Senjata Laser yang Membutakan), mendesaklah untuk bertindak sebelum teknologi sistem senjata otomatis mengalami kemajuan dan berkembang, senjata-senjata seperti itu mengubah secara mendasar,  alat perang menjadi masalah yang kurang melibatkan manusia.

Yang Terhormat Bapak Presiden,

Sebagai simpulan, adalah penting mengenal bahwa keterlibatan yang memadai dari manusia merupakan sesuatu yang mutlak penting dalam keputusan-keputusan yang berdampak pada hidup dan mati manusia, untuk mengenali bahwa sistem senjata otomatis tidak pernah dapat menggantikan kapasitas manusia untuk penalaran moral termasuk dalam konteks perang, untuk mengenali bahwa pengembangan sistem senjata otomatis akan berujung pada pengembangan senjata besar-besaran, dan untuk mengenali bahwa pengembangan sistem senjata otomatis yang mengesampingkan aktor manusia dari pengambilan keputusan militer merupakan pandangan berpikiran pendek dan dapat mengubah secara tetap kodrat alat perang ke arah yang kurang manusiawi, membawa pada konsekuensi-konsekuensi yang mustahil kita prediksi, namun yang dapat kita prediksi melalui peningkatan dehumanisasi alat perang.

Terima kasih Yang Terhormat Bapak Presiden.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar