Intervensi Y.M. Uskup Agung Silvano M.
Tomasi, Perwakilan Tetap Takhta Suci untuk PBB dan Organisasi Internasional
Lain di Jenewa, pada Pertemuan Para Pakar Sistem Senjata Militer Otomatis dari
Pihak-pihak Penanda Tangan Konvensi “Pelarangan atau Pembatasan terhadap
Penggunaan Senjata Konvensional Tertentu yang Ditengarai Berdampak Luka Serius
atau Memiliki Efek Indiskriminasi”.
Yang Terhormat Bapak Presiden,
Pertama-tama perkenankan saya mendorong Anda demi persiapan yang baik untuk
pertemuan yang sangat penting ini, agar
walaupun mandat (yang saya terima) adalah hanya berdiskusi dalam kerangka
informal mengenai keprihatinan-keprihatinan yang muncul seputar teknologi baru,
(pertemuan ini) tidak henya berdampak pada cara melangsungkan perang namun yang
lebih penting lagi, (pertemuan ini) mempersoalkan kemanusiaan dalam masyarakat
kita yang mengandalkan mesin untuk membuat keputusan mengenai kematian dan
kehidupan. Pada tahun 2013, delegasi ini menyampaikan keprihatinannya yang dalam terhadap
hubungan antara penggunaan pesawat tempur tanpa awak dan konsekuensi etis bagi
pengguna dan korban yang terlibat di dalamnya.
Sementara dalam berbagai bidang,
teknologi otomatisasi dapat sungguh terbukti menguntungkan bagi kemanusiaan,
penggunaan teknologi senjata otomatis benar-benar berbeda. (Penggunaan tersebut) meletakkan mesin pada
posisi memutuskan antara hidup dan mati. Kita sangat disusahkan dengan sistem teknologi
senjata otomatis yang mungkin dapat beroperasi di luar pengawasan atau
kapabilitas intelegensia bersama sehingga menjadi benar-benar menargetkan
manusia. Niat baik bisa jadi merupakan awal dari turunan yang licin. Ketika
kemanusiaan diperhadapkan dengan tantangan yang besar dan menuntut keputusan –dari
kesehatan, lingkungan, hingga perang dan perdamaian –mengambil waktu untuk
merenung, sambil bertumpu pada prinsip pencegahan, serta mengadopsi sikap yang
masuk akal untuk tindakan pencegahan, adalah lebih patut daripada menyongsong
ketidakjelasan dan (melakukan) upaya-upaya penghancuran diri sendiri.
Sistem senjata otomatis, seperti sistem
senjata lainnya, harus dikaji ulang dan lolos uji IHL. Demi penghormatan
terhadap hukum internasional, dan hukum hak asasi manusai, IHL bukanlah sesuatu
yang opsional. Takhta Suci mendukung poandangan bahwa sistem senjata otomatis,
sepert pesawat tempur tanpa awak, memiliki kekurangan yang besar yang tidak
dapat diatasi hanya dengan menghormati aturan IHL.Sejalan dengan hal tersebut, sistem-sistem ini akan membutuhkan kualitas
manusia yang justru kurang dimiliki. Konsekuensi etis dari sistem-sistem
seperti itu jika diterapkan dan digunakan tidak bisa diacuhkan dan diremehkan.
Tren meningkat akan dehumanisasi alat
perang mewajibkan semua bangsa dan masyarakat untuk berpikir ulang. Prospek
membangun tentara robot yang dirancang untuk menargetkan manusia memiliki
potensi untuk mengubah persepsi mendasar tentang perang. Mengeluarkan manusia “keluar
dari celah” memunculkan pertanyaan etis yang signifikan, utamanya karena tidak
adanya keterlibatan yang bermakna dari manusia dalam pengambilan keputusan perang.
Yang Terhormat Bapak Presiden,
Bagi Takhta Suci, pertanyaan mendasar
adalah sebagai berikut: Dapatkah mesin –yang diprogram baik dengan algoritma
rumit tingkat tinggi untuk membuat keputusan di medan perang seturut IHL –sungguh-sungguh
menggantikan manusia memutuskan hidup dan mati?
Jawabannya adalah tidak. Manusia tidak
boleh keluar dari celah pengambilan keputusan mengenai hidup dan mati untuk
manusia lain. Intervensi yang memadai dari manusia atas keputusan semacam itu
harus selalu ada. Keputusan hidup dan mati
berseberangan jalan kehadiran kualitas
manusia, seperti welas asih dan pikiran jernih. Sementara ketidaksempurnaan
manusia tidak dapat secara sempurna memiliki kualitas seperti itu dalam panasnya
perang, kualitas-kualitas tersebut tidaklah tergantikan ataupun dapat
diprogamkan. Studi terhadap pengalaman para tentara mendukung bahwa manusia
tidak cenderung untuk mengambil nyawa, dan pergumulan ini menunjukkan pada
dirinya sendiri, saat-saat penuh welas asih dan rasa manusiawi dalam kengerian
perang.
Memprogram suatu “pemerintahan etis” atau “intelegensia buatan” yang
memampukan senjata otomatis untuk secara teknis berpadanan dengan hukum perang
dalam area distinction dan proporsionalitas, bahkan jika mungkin, hal tersebut
tidaklah cukup. Masalah mendasar tetap ada: kurangnya kemanusiaan, kurangnya
keterlibatan yang bermakna dari manusia dalam memutuskan hidup dan mati manusia
lainnya. Kapasitas manusia untuk melakukan penalaran moral dan mengambil
keputusan secara etis, lebih dari sekadar koleksi algoritme. Faktor manusia
dalam keputusan hidup dan mati tidak pernah dapat digantikan.
Sudah sangatlah kompleks menerapkan peraturan pembedaan dan proporsionalitas
dalam konteks perang. Membedakan tentara dari penduduk sipil, atau beban
kemenangan militer dan penderitaan manusia, dalam panasnya perang, bukanlah
suatu yang dapat direduksi menjadi masalah-masalah teknis programming.
Intervensi yang bermakna dari manusia, dengan kapasitas unik kita untuk
melakukan penalaran moral, merupakan sesuatu yang mutlak penting dalam membuat keputusan-keputusan tersebut.
Bagian dari
justifikasi dari pengembangan senjata-senjata tersebut mungkin adalah gagasan “jika
kita tidak mengembangkan teknologi ini, maka yang lain akan melakukannya”.
Pengembangan sistem senjata otomatis yang kompleks nampaknya di luar jangkauan
aktor negara kecil atau aktor non-negara. Bagaimanapun, sekali sebuah sistem
dibangun oleh negara-negara yang lebih besar, tidaklah sulit untuk meniru
mereka. Sejarah menunjukkan bahwa pengembangan dalam teknologi militer, dari busur hingga pesawat tempur tanpa awak,
memberikan pada sisi penemuan, sebuah kemajuan militer yang sementara.
Pengembangan senjata yang meluas dari sistem-sistem senjata tersebut, secara
tidak menguntungkan akan mengubah kodrat dasariah alat perang seluruh keluarga
bangsa-bangsa.
Minimalisasi risiko hingga kepada
kekuatan (militer) itu sendiri merupakan seuatu yang dapat dimengerti dan
legitim. Bagaimanapun, dengan tidak mengesampingkan kisah kengerian dari satu
sisi, biaya politik domestik untuk berperang menjadi berkurang secara
signifikan. Ini merupakan penghambat
yang penting untuk aksi militer
yang terburu-buru, dan merupakan penghambat yang tidak
boleh diabaikan begitu saja.
Teknologi sistem
senjata otomatis membuat perang menjadi terlalu mudah dan menyingkirkan
ketergantungannya pada kebajikan ketentaraan. Beberapa pakar militer dan
profesional, yang mempertimbangkan untuk membunuh manusia sebagai masalah yang
paling serius, disusahkan dengan gagasan untuk mendelgasikan keputusan ini
kepada mesin. Jelaslah bahwa suara-suara ini menghargai potensi robot untuk
mendampingi penjinakan bom, mengevakuasi korban luka, atau meninjau medan
perang, namun potensi robot untuk secara utuh menggantikan tentara di medan
perang tetaplah menjadi keprihatinan pokok mereka.
Lebih lanjut, pendelegasian tanggung jawab
pengambilan keputusan oleh manusia kepada sistem otomatis yang dirancang untuk
mengambil nyawa manusia, menciptakan kekosongan akuntabilitas yang membuat
(pendelegasian itu) mustahil memberatkan siapapun yang cukup akuntabel (bertanggung
jawab) atas pelanggaran hukum internasional dengan diciptakannya sistem senjata
otomatis.
Keprihatinan
inilah yang tepatnya menyerukan pendekatan multilateral untuk mempertanyakan
pengembangan dan implementasi sistem senjata otomatis. Seperti dalam kasus
Protocol on Blinding Laser Weapons (Protokol mengenal Senjata Laser yang
Membutakan), mendesaklah untuk bertindak sebelum teknologi sistem senjata
otomatis mengalami kemajuan dan berkembang, senjata-senjata seperti itu
mengubah secara mendasar, alat perang menjadi
masalah yang kurang melibatkan manusia.
Yang Terhormat Bapak Presiden,
Sebagai simpulan, adalah penting
mengenal bahwa keterlibatan yang memadai dari manusia merupakan sesuatu yang
mutlak penting dalam keputusan-keputusan yang berdampak pada hidup dan mati
manusia, untuk mengenali bahwa sistem senjata otomatis tidak pernah dapat menggantikan
kapasitas manusia untuk penalaran moral termasuk dalam konteks perang, untuk
mengenali bahwa pengembangan sistem senjata otomatis akan berujung pada
pengembangan senjata besar-besaran, dan untuk mengenali bahwa pengembangan
sistem senjata otomatis yang mengesampingkan aktor manusia dari pengambilan
keputusan militer merupakan pandangan berpikiran pendek dan dapat mengubah
secara tetap kodrat alat perang ke arah yang kurang manusiawi, membawa pada
konsekuensi-konsekuensi yang mustahil kita prediksi, namun yang dapat kita
prediksi melalui peningkatan dehumanisasi alat perang.
Terima kasih Yang Terhormat Bapak
Presiden.