Selasa, 27 Mei 2014

Paus Fransiskus kepada Presiden Shimon Peres: Damai Bagi Israel!





Pidato Bapa Suci Fransiskus
Kunjungan kepada Presiden Israel
Yerusalem, 26 Mei 2014

Yang Terhormat Bapak Presiden,
Para Duta Besar,
Bapak dan Ibu sekalian,

Saya berterima kasih pada Anda, Bapak Presiden, atas salam hangat dan kata sambutan Anda. Saya senang dapat bertemu dengan Anda sekali lagi, kali ini di Yerusalem, kota yang melestarikan Tempat-tempat Suci yang dihormati oleh tiga agama besar yang menyembah Allah yang memanggil Abraham. Tempat-tempat Suci bukanlah monumen atau museum bagi wisatawan, melainkan tempat di mana komunitas-komunitas umat beriman setiap hari mengungkapkan iman dan biudaya mereka, dan menjalankan karya cinta kasih. Persis untuk alasan ini, karakter kesucian tempat-tempat itu harus dijaga selama-lamanya dan perlindungan diberikan bukan hanya demi warisan masa lalu namun juga kepada mereka semua yang mengunjungi situs-situs tersebut hari ini dan mereka yang akan mengunjunginya di masa depan. Semoga Yerusalem sungguh-sungguh menjadi Kota Perdamaian! Semoga identitasnya dan karakter kesuciannya, signifikansi agamawi dan budayanya yang universal bersinar cemerlang sebagai harta bagi seluruh umat manusia! Betapa indahnya jika para peziarah dan penduduk menikmati akses bebas ke Tempat-tempat Suci dan dapat dengan bebas mengambil bagian dalam perayaan-perayaan religius. 

Bapak Presiden, Anda dikenal sebagai manusia perdamaian dan pembawa damai. Saya menghargai dan mengagumi pendekatan yang telah Anda ambil. Perdamaian pertama-tama menuntut dan sangat menghargai martabat dan kebebasan setiap manusia, yang oleh umat Yahudi, Kristiani, dan Muslim dipercaya telah diciptakan oleh Allah dan ditakdirkan untuk hidup abadi. Keyakinan yang dimiliki bersama ini memampukan kita untuk dengan teguh mengejar solusi perdamaian bagi setiap kontroversi dan konflik. Di sini saya memperbarui permohonan saya agar semua pihak mencegah inisiatif dan tindakan yang berlawanan keteguhan yang mereka nyatakan untuk mencapai sebuah persetujuan nyata dan bahwa mereka tanpa lelah bekerja bagi perdamian,  dengan ketegasan dan keuletan.

Begitu pula ada kebutuhan bagi penolakan yang tegas atas semua yang berlawanan dengan pengupayaan damai dan hubungan saling menghormati antara umat Yahudi, Kristiani, dan Muslim. Kita berpikir, sebagai contoh, untuk berlindung kepada kekerasan dan terorisme, segala bentuk diskriminasi atas dasar ras atau agama, berusaha untuk memaksakan sudut pandang seseorang dengan mengabaikan hak sesama yang lain, anti-Semitisme dalam segala ungkapannya yang mungkin, dan tanda-tanda intoleransi yang diarahkan terhadap individu-individu atau tempat-tempat ibadat, entah Yahudi, Kristiani, atau Muslim.

Beragam komunitas Kristiani tinggal dan berkarya di Negara Israel. Mereka merupakan bagian yang integral dari masyarakat dan berpartisipasi penuh dalam masalah-masalah sipil, politik, dan budaya. Begitu pula umat Kristiani berharap, untuk berkontribusi bagi kesejahteraan umum dan pertumbuhan perdamaian, mereka berharap melakukan hal tersebut sebagai warganegara penuh yang menolak ekstrimisme dalam segala bentuknya dan berkomitmen untuk memperkuat rekonsiliasi dan harmoni. 

Kehadiran komunitas-komunitas tersebut dan penghormatan terhadap hak-hak mereka –sebagai mana hak bagi kelompok agama lainnya dan semua minoritas –merupakan jaminan bagi pluralisme yang sehat dan bukti bagi vitalitas nilai-nilai demokrasi sebagaimana mereka secara otentik terpatri dalam hidup sehari-hari dan karya-karya Negara. 

Bapak Presiden, Anda tahu bahwa saya berdoa untuk Anda dan saya tahu bahwa Anda berdoa untuk saya, dan saya pastikan doa-doa saya bagi institusi-institusi dan para warganegara Israel. Demikian pula saya pastikan doa saya yang terus-menerus bagi tercapainya perdamaian dan segala kebaikan yang terkatakan yang menyertainya: keamanan, ketenangan, kemakmuran –dan yang paling indah –persaudaraan. Akhirnya, pikiran saya berpaling pada mereka semua yang teraniaya oleh krisis yang berkelanjutan di Timur Tengah. Saya berdoa agar penderitaan mereka dapat segera diangkat melalui sebuah resolusi terhormat bagi tindak kekejaman.  Damai bagi Israel dan seluruh Timur Tengah! Shalom!

Sumber:
http://en.radiovaticana.va/news/2014/05/26/pope_to_israeli_president_may_jerusalem_be_city_of_peace/1101015

Senin, 26 Mei 2014

Paus Fransiskus: “Solusi Dua Negara” Harus Menjadi Kenyataan






Berikut adalah pidato sambutan Paus Fransiskus ketiba tiba di Bandara Ben Gurion, Tel Aviv.
 ---------

Yang Terhormat Bapak Presiden, 

Bapak Perdana Menteri, Para Duta Besar, Bapak dan Ibu sekalian, 

Saya mengucapkan terima kasih dari dalam hati untuk penyambutan Anda di Negara Israel, yang dengan sukacita saya kunjungi pada ziarah kali ini. Saya berterima kasih kepada Presiden Shimon Peres dan kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk kata sambutan mereka yang indah dan saya berniat untuk mengenang pertemuan-pertemuan saya dengan mereka di Vatikan. Sebagaimana yang Anda sekalian ketahui, saya datang berziarah untuk menandai peringatan 50 tahun kunjungan bersejarah oleh Paus Paulus VI. Sejak saat itu, banyak yang telah berubah dalam hubungan antara Takhta Suci dan Negara Israel: hubungan diplomatik, yang diresmikan dua puluh tahun lalu, telah mengalami perkembangan hubungan yang baik, sebagaimana nampak oleh dua Agreement yang sudah ditandatangani dan diratifikasi, dan yang ketiga, yang sedang dalam proses finalisasi. Dalam semangat ini saya menyapa semua rakyat Israel dengan doa dan harapan agar aspirasi mereka untuk perdamaian dan kemakmuran dapat tercapai.

Mengikuti jejak para pendahulu, saya datang sebagai peziarah ke Tanah Suci, yang kaya akan sejarah dan rumah bagi peristiwa-peristiwa penting dalam awal mula dan perkembangan ketiga agama monoteistik besar, Yudaisme, Kristianitas, dan Islam. Demikian pula, signifikansi spiritual yang melimpah bagi kemanusiaan. Maka saya menyampaikan harapan dan doa saya agar tanah terberkati ini menjadi tempat di mana mereka yang mengeksploitasi dan memutlakkan  nilai-nilai tradisi agama mereka sendiri, dan dengan demikian terbukti tidak toleran dan berlaku, tidak mendapat ruang.

Selama ziarah saya di Tanah Suci, saya akan mengunjungi beberapa tempat penting di Yerusalem, sebuah kota dengan kepentingan universal. Yerusalem, tentu saja, berarti “kota perdamaian”. Inilah yang dikehendaki Allah, dan inilah yang diinginkan semua orang yang berkehendak baik. Namun demikian, sayangnya Yerusalem tetap tinggal bermasalah sebagai dampak konflik berkepanjangan. Kita semua tahu betapa mendesaknya kebutuhan akan perdamaian, tidak hanya bagi Israel, tetapi juga bagi seluruh wilayah. Semoga upaya-upaya dan energi dapat ditingkatkan menuju pencapaian solusi adil dan abadi bagi konflik yang telah menyebabkan begitu banyak penderitaan. Dalam kesatuan dengan semua pria dan perempuan yang berkehendak baik, saya memohon kepada mereka yang berada dalam posisi penanggung jawab untuk tidak menggeser sebuah batu pun dalam pendarian solusi berkeadilan bagi masalah-masalah yang kompleks, sehingga rakyat Israel dan Palestina dapat hidup dengan damai. Jalan dialog, rekonsiliasi dan perdamaian harus secara konstan diperbarui, dengan berani dan tanpa kenal lelah. Tidak ada jalan lain. Dan dengan demikian saya memperbarui permohonan yang dibuat di tempat ini oleh Paus Benediktus XVI: hak bagi Negara Israel untuk eksis dan berkembang dalam damai dan keamanan dalam batas-batas yang diakui secara internasional harus secara universal diakui. Pada saat yang sama, harus ada pengakuan akan hak rakyat Palestina bagi sebuah tanah air berdaulat dan hak mereka untuk hidup secara bermartabat dan dengan bebas. “Solusi Dua Negara” haruslah menjadi kenyataan dan tidak tetap menjadi mimpi.

Sebuah kunjungan khusus dalam masa tinggal saya adalah kunjungan ke Yad Vashem Memorial, kepada enam juta rakyat Yahudi yang menjadi korban Shoah, sebuah tragedi yang menjadi simbol abadi akan sedalam mana manusia dapat tenggelam dalam kejahatan, ketika disemangati oleh ideologi yang keliru, gagal untuk mengenali martabat dasariah setiap orang, yang berhak atas penghormatan tanpa syarat tanpa memandang suku maupun agama. Saya memohon pada Allah agar tidak akan ada lagi kejahatan seperti itu, yang juga membawa korban banyak orang Kristen dan lainnya. Dengan tetap ingat akan masa lalu, marilah kita promosikan sebuah pendidikan di mana eksklusi dan konfrontasi berubah menjadi inklusi dan perjumpaan, di mana tidak ada lagi tempat bagi anti-Semitisme dalam berbagai bentuknya atau ekspresi-ekspresi kekejian, diskriminasi atau intoleransi kepada setiap individu atau rakyat. 

Hati saya sangat sedih ketika memikirkan mereka yang kehilangan nyawa dalam serangn brutal yang terjadi kemarin di Brussels. Sekali lagi saya sampaikan bahwa saya sangat mengutuk serangan kriminal ini yang berlatar belakang kebencian anti-Yahudi dan saya percayakan para korban kepada Allah kita yang Maharahim dan saya berdoa untuk pemulihan mereka yang terluka.

Walaupun kunjungan singkat saya membuat saya tidak mungkin menemui setiap orang, saya sekarang ingin menyapa semua rakyat Israel dan mengungkapkan kedekatan saya dengan mereka, khususnya dengan mereka yang tinggal di Nazaret dan Galilea, di mana banyak ditemukan komunitas Kristiani. 

Kepada para Uskup dan umat Kristiani, saya sampaikan salam hangat persaudaraan. Saya menyemangati mereka untuk tetap bertahan dalam kesaksian bisu akan iman dan harapan dalam pelayanan rekonsiliasi dan pengampunan, mengikuti ajaran dan teladan Tuhan Yesus, yang memberikan nyawanya untuk membawa perdamaian antara Allah dan manusia, dan antar saudara-saudara. Semoga kalian selalu menjadi ragi rekonsiliasi, membawa harapan bagi sesama, menjadi saksi cinta kasih! Ketahuilah, kalian selalu ada dalam doa saya. 

Yang Terhormat Bapak Presiden, Bapak Perdana Menteri, Bapak dan Ibu sekalian, sekali lagi saya mengucapkan terima kasih atas penyambutan Anda semua.

Semoga damai dan kesejahteraan turun dengan limpahnya atas Israel. Dan semoga Allah memberkati umat-Nya dengan damai! Shalom!

Sumber:
https://www.facebook.com/news.va.en/posts/728536453877041:0

Sabtu, 24 Mei 2014

Signifikansi Ziarah Paus Fransiskus ke Yerusalem





Ziarah yang dilakukan oleh Paus Fransiskus ke Yerusalem (waktu kunjungan efektif: 24-26 Mei) dilakukan pertama-tama dalam rangka memeringati 50 tahun pertemuan Paus Paulus VI dengan Patriark Konstantinopel Athenagoras di Yerusalem. Seperti yang kita tahu, Gereja Katolik menerima luka perpecahan’ nya yang pertama pada tahun 1054 melalui apa yang disebut Skisma Besar (The Great Schism). Melalui peristiwa ini, Patriark Konstantinopel memutuskan hubungan dengan Paus (“Patriark Latin/Barat” –gelar yang ditanggalkan oleh Paus Emeritus Benediktus XVI), sehingga muncullah “Gereja Ortodoks”.  

Dari sudut pandang doktrinal, dalam dokumen-dokumen gerejawi yang diterbitkan Gereja Katolik pasca Skisma Besar, Gereja Katolik di bawah kepemimpinan penerus Rasul Petrus (Paus), tetap menyebut komunitas Kristiani yang lahir akibat Skisma Besar sebagai (G)ereja Saudari (“Sister Church”).  Hal ini berbeda dengan cara penyebutan yang diterapkan bagi komunitas-komunitas Kristiani pasca Reformasi Luther, di mana komunitas-komunitas tersebut –dari sudut pandang Katolik –hanyalah merupakan “persekutuan gerejawi”  yang tidak membawa serta dalam dirinya hakikat (G)ereja, terlepas dari validitas Sakramen Baptis dalam “persekutuan gerejawi” tersebut yang juga tetap diakui Gereja Katolik dan banyak hal di dalam “persekutuan gerejawi” yang sebenarnya mengarah kepada kesatuan Katolik. Gereja Ortodoks dalam tata laksana gerejawinya tetap mewarisi beberapa karakteristik yang sah dari sebuah Gereja, yaitu utamanya adalah Suksesi Apostolik, Sakramen Imamat, dan Sakramen Ekaristi. Dalam hal suksesi apostolik, Gereja Ortodoks merupakan Gereja yang dibangun berdasarkan suksesi Rasul Andreas. 

Lantas, apa signifikansi dari ziarah Paus Fransiskus ke Yerusalem kali ini?

Dari Sudut Pandang Takhta Suci (Gereja Katolik)

Seperti yang dikemukakan oleh Kardinal Parolin, diharapkan bahwa dengan ziarah kali ini:

  1. Paus menginspirasi “semua pemimpin dan bangsa-bangsa yang berkehendak baik agar mengambil keputusan nyata dalam mengambil jalan damai”.  
  2. Takhta Suci dapat melihat “hak bangsa Israel untuk eksis dan menikmati perdamaian dan keamanan di dalam batas-batas wilayah yang diakui secara internasional, selain itu juga  hak rakyat Palestina untuk dapat memiliki tanah air yang berdaulat dan merdeka, hak untuk bergerak dengan bebas, hak untuk hidup secara bermartabat”.  Perhatikan bahwa (!) Takhta Suci dalam memimpin Gereja Katolik mengambil jalan yang berbeda dari denominasi-denominasi Protestan (utamanya yang beraliran fundamentalis) –yang dalam banyak cara cenderung berpihak penuh pada Israel. Ada perbedaan teologi krusial yang mendasari perbedaan cara pandang ini.  
  3. Takhta Suci dapat mendesak agar “karakteristik kesucian  dan universalitas Yerusalem, serta warisan budaya dan keagamaannya” dapat diakui  “agar menjadi tempat ziarah bagi penganut tiga agama monoteistik”.
  4. Dalam kaitan dengan hubungan antara Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks, ziarah kali ini merupakan upaya ekumenisme yang diamanatkan Konsili Vatikan II yang diharapkan dapat membangkitkan “antusiasme perjalanan ekumenis”.


Dari Sudut Pandang Partiarkat Ekumenis (Gereja Ortodoks)

Patriark Ekumenis Bartolomeus menyimpulkan apa yang hendak dicapai oleh Gereja Ortodoks dengan sangat indah melalui gambaran hubungan persaudaraan Rasul Petrus dan Andreas:
 “Perayaan 50 tahun pertemuan menyejarah antara mendiang Paus Paulus VI dan pendahulu kami Patriark Athenagoras merupakan sebuah kesempatan yang langka untuk memperdalam ikatan persaudaraan antara Petrus dan Andreas, karena kedua takhta kita, dalam hal pendiriannya,  berutang (budi) kepada mereka (berdua). Atas dasar alasan inilah, mengikuti jejak Paus Paulus VI dan Patriark Athenagoras, kami menyampaikan harapan kami untuk mempererat hubungan antara Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks.”

Dalam kaitan dengan Yerusalem:
“Dua ribu tahun yang lalu, adalah di Yerusalem, di mana Cahaya menyingsing dari Makam. Semoga di Yerusalem kembali, bersinar cemerlang cahaya perdamaian, saling percaya, dan cinta persaudaraan, demi kedua Gereja kita, dan demi seluruh dunia.”

Dari Sudut Pandang Negara Israel

Harus dipahami dahulu, bahwa Negara Israel yang berdiri saat ini, didirikan pada tahun 1948 –sehingga dengan demikian bukan penerusan dari Kerajaan Israel yang pernah dipimpin oleh Raja Daud ataupun Raja Salomo.  Tetapi dalam perkembangan sejarah, paham zionisme, utamanya yang diusung oleh Theodor Herzl, akhirnya melahirkan sebuah negara Yahudi yang dideklarasikan pada 14 Mei 1948.
Dalam ziarahnya ke Yerusalem, Paus Fransiskus akan meletakkan karangan bunga di atas makam Theodor Herzl. Dengan demikian, Pemerintah Israel akan memandang kunjungan Paus Fransiskus sebagai bukti pengakuan akan pentingnya negara Israel, seperti yang dikatakan Rabbi Abraham Skorka, rabbi berkebangsaan Argentina sahabat Paus Fransiskus yang diajaknya serta bersama dengan Imam Omar Abboud, pemimpin komunitas Muslim Argentina, “Beliau mengerti pentingnya tanah Israel dan negara Israel bagi orang Yahudi.”

Dari Sudut Pandang Negara Palestina

Sebagaimana Paus Fransiskus menghargai keberadaan negara Israel, ia juga menghargai negara Palestina. Perjalanan dari Yordania, tidak langsung dilanjutkan ke Yerusalem –yang sebenarnya bisa diakses dari Yordania –melainkan dengan helikopter pribadi, Paus akan langsung menuju Betlehem untuk melakukan courtesy visit kepada Presiden Mahmoud Abbas, Presiden Palestina. Menjadikan Betlehem yang berada dalam wilayah Palestina sebagai pintu masuk rute ziarah, secara tidak langsung sudah  mengisyaratkan pengakuan Takhta Suci atas negara Palestina. 

Dr. Nabil Shaath, mantan PM Palestina dan anggota senior Komisi Pusat Fatah mengatakan bahwa, “Gestur apapun yang ia (Paus) buat untuk mendukung perdamaian akan menjadi penting.” Dr.Nabil Shaath juga percaya bahwa kunjungan Paus akan membantu menyediakan solidaritas dan menjadi penyokong moral bagi umat Kristiani di Betkehem dengan “mendukung diakhirinya perebutan wilayah” dan juga dengan menyemangati komunitas Kristiani untuk tetap tinggal di Tanah Suci dan tidak melakukan migrasi ke luar negeri. 

Lebih lanjut, Dr. Nabil Shaath mengatakan bahwa kunjungan Paus akan menghasilkan nilai spritual dan juga menghasilkan pengaruh (pada level politik) untuk “mendukung rakyat Palestina dan Israel dalam perjuangan mereka untuk damai yang berkeadilan”.

-----
Analisis:  
Dari dinamika yang terjadi antara empat entitas, yaitu Gereja Katolik, Gereja Ortodoks, Negara Israel, dan Negara Palestina, sebenarnya dapat dilihat bahwa highlight ziarah Paus Fransiskus ke Yerusalem kali ini pertama-tama adalah demi reunifikasi Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks. 

Walaupun demikian, karena di sisi lain Paus juga memiliki kapasitas sebagai pimpinan negara, ziarah yang dilakukannya mau tidak mau akan diwarnai dengan sentimen politik. Sebagaimana tindakan PM Jepang yang mengunjungi kuil Yasukuni murni untuk penghormatan leluhur namun akhirnya menuai sentimen negatif dari Tiongkok dan Korea, tindakan Paus Fransiskus yang meletakkan karangan bunga di atas makam pencetus Zionisme, kemungkinan dapat menimbulkan kesalahpahaman bagi banyak pihak.  

Seperti yang diungkapkan Rabbi Abraham Skorka, agaknya Paus Fransiskus hanya ingin menunjukkan bahwa beliau juga menghargai aspirasi bangsa Yahudi membentuk negara Israel.  Agaknya perlu dicatat pula bahwa sejak tahun 1993, sejalan dengan Perjanjian Oslo yang ditandatangani Israel dan PLO, Takhta Suci tidak pernah mengakui klaim negara Israel atas Yerusalem. Posisi Takhta Suci mulanya berpijak pada rencana PBB untuk membagi Yerusalem menjadi tiga zona, yaitu zona Palestina, zona  Israel, dan zona Internasional. Namun demikian, Takhta Suci mengubah posisinya pada tahun 1993 dengan tidak lagi mengusung gagasan corpus separatum untuk Yerusalem, melainkan mendukung baik negara Israel maupun negara Palestina untuk memutuskan hal-hal yang menyangkut kedaulatan dengan mengandaikan adanya jaminan internasional untuk dapat secara bebas mengakses semua situs-situs suci.  

Di sisi lain, courtesy visit yang dilakukan kepada Presiden Mahmoud Abbas dan  kunjungan Paus kepada komunitas Kristiani Palestina juga semakin menguatkan posisi Takhta Suci yang tidak memihak siapapun, selain hanya memihak perdamaian.

Bahan bacaan:














Matriks Perjalanan Ziarah Paus Fransiskus ke Yerusalem (24-26 Mei 2014)


Rabu, 14 Mei 2014

Intervensi Takhta Suci Tentang Penggunaan Pesawat Tempur Tanpa Awak (13/5/2014)






Intervensi Y.M. Uskup Agung Silvano M. Tomasi, Perwakilan Tetap Takhta Suci untuk PBB dan Organisasi Internasional Lain di Jenewa, pada Pertemuan Para Pakar Sistem Senjata Militer Otomatis dari Pihak-pihak Penanda Tangan Konvensi “Pelarangan atau Pembatasan terhadap Penggunaan Senjata Konvensional Tertentu yang Ditengarai Berdampak Luka Serius atau Memiliki Efek Indiskriminasi”.

Yang Terhormat Bapak Presiden,

Pertama-tama perkenankan saya mendorong Anda demi persiapan yang baik untuk pertemuan yang sangat penting ini,  agar walaupun mandat (yang saya terima) adalah hanya berdiskusi dalam kerangka informal mengenai keprihatinan-keprihatinan yang muncul seputar teknologi baru, (pertemuan ini) tidak henya berdampak pada cara melangsungkan perang namun yang lebih penting lagi, (pertemuan ini) mempersoalkan kemanusiaan dalam masyarakat kita yang mengandalkan mesin untuk membuat keputusan mengenai kematian dan kehidupan. Pada tahun 2013, delegasi ini menyampaikan keprihatinannya yang dalam terhadap hubungan antara penggunaan pesawat tempur tanpa awak dan konsekuensi etis bagi pengguna dan korban yang terlibat di dalamnya.

Sementara dalam berbagai bidang, teknologi otomatisasi dapat sungguh terbukti menguntungkan bagi kemanusiaan, penggunaan teknologi senjata otomatis benar-benar berbeda. (Penggunaan tersebut) meletakkan mesin pada posisi memutuskan antara hidup dan mati. Kita sangat disusahkan dengan sistem teknologi senjata otomatis yang mungkin dapat beroperasi di luar pengawasan atau kapabilitas intelegensia bersama sehingga menjadi benar-benar menargetkan manusia. Niat baik bisa jadi merupakan awal dari turunan yang licin. Ketika kemanusiaan diperhadapkan dengan tantangan yang besar dan menuntut keputusan –dari kesehatan, lingkungan, hingga perang dan perdamaian –mengambil waktu untuk merenung, sambil bertumpu pada prinsip pencegahan, serta mengadopsi sikap yang masuk akal untuk tindakan pencegahan, adalah lebih patut daripada menyongsong ketidakjelasan dan (melakukan) upaya-upaya penghancuran diri sendiri.

Sistem senjata otomatis, seperti sistem senjata lainnya, harus dikaji ulang dan lolos uji IHL. Demi penghormatan terhadap hukum internasional, dan hukum hak asasi manusai, IHL bukanlah sesuatu yang opsional. Takhta Suci mendukung poandangan bahwa sistem senjata otomatis, sepert pesawat tempur tanpa awak, memiliki kekurangan yang besar yang tidak dapat diatasi hanya dengan menghormati aturan IHL.Sejalan dengan hal tersebut, sistem-sistem ini akan membutuhkan kualitas manusia yang justru kurang dimiliki. Konsekuensi etis dari sistem-sistem seperti itu jika diterapkan dan digunakan tidak bisa diacuhkan dan diremehkan.

Tren meningkat akan dehumanisasi alat perang mewajibkan semua bangsa dan masyarakat untuk berpikir ulang. Prospek membangun tentara robot yang dirancang untuk menargetkan manusia memiliki potensi untuk mengubah persepsi mendasar tentang perang. Mengeluarkan manusia “keluar dari celah” memunculkan pertanyaan etis yang signifikan, utamanya karena tidak adanya keterlibatan yang bermakna dari manusia dalam pengambilan keputusan perang.
Yang Terhormat Bapak Presiden,

Bagi Takhta Suci, pertanyaan mendasar adalah sebagai berikut: Dapatkah mesin –yang diprogram baik dengan algoritma rumit tingkat tinggi untuk membuat keputusan di medan perang seturut IHL –sungguh-sungguh menggantikan manusia memutuskan hidup dan mati?

Jawabannya adalah tidak. Manusia tidak boleh keluar dari celah pengambilan keputusan mengenai hidup dan mati untuk manusia lain. Intervensi yang memadai dari manusia atas keputusan semacam itu harus selalu ada. Keputusan hidup dan mati  berseberangan jalan  kehadiran kualitas manusia, seperti welas asih dan pikiran jernih. Sementara ketidaksempurnaan manusia tidak dapat secara sempurna memiliki kualitas seperti itu dalam panasnya perang, kualitas-kualitas tersebut tidaklah tergantikan ataupun dapat diprogamkan. Studi terhadap pengalaman para tentara mendukung bahwa manusia tidak cenderung untuk mengambil nyawa, dan pergumulan ini menunjukkan pada dirinya sendiri, saat-saat penuh welas asih dan rasa manusiawi dalam kengerian perang.

Memprogram suatu “pemerintahan  etis” atau “intelegensia buatan” yang memampukan senjata otomatis untuk secara teknis berpadanan dengan hukum perang dalam area distinction dan proporsionalitas, bahkan jika mungkin, hal tersebut tidaklah cukup. Masalah mendasar tetap ada: kurangnya kemanusiaan, kurangnya keterlibatan yang bermakna dari manusia dalam memutuskan hidup dan mati manusia lainnya. Kapasitas manusia untuk melakukan penalaran moral dan mengambil keputusan secara etis, lebih dari sekadar koleksi algoritme. Faktor manusia dalam keputusan hidup dan mati tidak pernah dapat digantikan.

Sudah sangatlah kompleks menerapkan peraturan pembedaan dan proporsionalitas dalam konteks perang. Membedakan tentara dari penduduk sipil, atau beban kemenangan militer dan penderitaan manusia, dalam panasnya perang, bukanlah suatu yang dapat direduksi menjadi masalah-masalah teknis programming. Intervensi yang bermakna dari manusia, dengan kapasitas unik kita untuk melakukan penalaran moral, merupakan sesuatu yang mutlak penting dalam membuat  keputusan-keputusan tersebut.

Bagian dari justifikasi dari pengembangan senjata-senjata tersebut mungkin adalah gagasan “jika kita tidak mengembangkan teknologi ini, maka yang lain akan melakukannya”. Pengembangan sistem senjata otomatis yang kompleks nampaknya di luar jangkauan aktor negara kecil atau aktor non-negara. Bagaimanapun, sekali sebuah sistem dibangun oleh negara-negara yang lebih besar, tidaklah sulit untuk meniru mereka. Sejarah menunjukkan bahwa pengembangan dalam teknologi militer, dari busur hingga pesawat tempur tanpa awak, memberikan pada sisi penemuan, sebuah kemajuan militer yang sementara. Pengembangan senjata yang meluas dari sistem-sistem senjata tersebut, secara tidak menguntungkan akan mengubah kodrat dasariah alat perang seluruh keluarga bangsa-bangsa.

Minimalisasi risiko hingga kepada kekuatan (militer) itu sendiri merupakan seuatu yang dapat dimengerti dan legitim. Bagaimanapun, dengan tidak mengesampingkan kisah kengerian dari satu sisi, biaya politik domestik untuk berperang menjadi berkurang secara signifikan. Ini merupakan penghambat yang penting untuk aksi militer yang terburu-buru, dan merupakan penghambat yang tidak boleh diabaikan begitu saja.

Teknologi sistem senjata otomatis membuat perang menjadi terlalu mudah dan menyingkirkan ketergantungannya pada kebajikan ketentaraan. Beberapa pakar militer dan profesional, yang mempertimbangkan untuk membunuh manusia sebagai masalah yang paling serius, disusahkan dengan gagasan untuk mendelgasikan keputusan ini kepada mesin. Jelaslah bahwa suara-suara ini menghargai potensi robot untuk mendampingi penjinakan bom, mengevakuasi korban luka, atau meninjau medan perang, namun potensi robot untuk secara utuh menggantikan tentara di medan perang tetaplah menjadi keprihatinan pokok mereka.

Lebih lanjut, pendelegasian tanggung jawab pengambilan keputusan oleh manusia kepada sistem otomatis yang dirancang untuk mengambil nyawa manusia, menciptakan kekosongan akuntabilitas yang membuat (pendelegasian itu) mustahil memberatkan siapapun yang cukup akuntabel (bertanggung jawab) atas pelanggaran hukum internasional dengan diciptakannya sistem senjata otomatis.

Keprihatinan inilah yang tepatnya menyerukan pendekatan multilateral untuk mempertanyakan pengembangan dan implementasi sistem senjata otomatis. Seperti dalam kasus Protocol on Blinding Laser Weapons (Protokol mengenal Senjata Laser yang Membutakan), mendesaklah untuk bertindak sebelum teknologi sistem senjata otomatis mengalami kemajuan dan berkembang, senjata-senjata seperti itu mengubah secara mendasar,  alat perang menjadi masalah yang kurang melibatkan manusia.

Yang Terhormat Bapak Presiden,

Sebagai simpulan, adalah penting mengenal bahwa keterlibatan yang memadai dari manusia merupakan sesuatu yang mutlak penting dalam keputusan-keputusan yang berdampak pada hidup dan mati manusia, untuk mengenali bahwa sistem senjata otomatis tidak pernah dapat menggantikan kapasitas manusia untuk penalaran moral termasuk dalam konteks perang, untuk mengenali bahwa pengembangan sistem senjata otomatis akan berujung pada pengembangan senjata besar-besaran, dan untuk mengenali bahwa pengembangan sistem senjata otomatis yang mengesampingkan aktor manusia dari pengambilan keputusan militer merupakan pandangan berpikiran pendek dan dapat mengubah secara tetap kodrat alat perang ke arah yang kurang manusiawi, membawa pada konsekuensi-konsekuensi yang mustahil kita prediksi, namun yang dapat kita prediksi melalui peningkatan dehumanisasi alat perang.

Terima kasih Yang Terhormat Bapak Presiden.