Rabu, 02 April 2014

Jelang Kanonisasi: Lebih Dekat dengan Paus Yohanes XXIII, Imam-Diplomat yang Rendah Hati



Tahun 1958, seorang tua yang ramah, Angelo Roncalli, terpilih menduduki Takhta Petrus. Ia menjadi seorang Paus yang bertanggung jawab, seseorang yang menjaga kapal tetap stabil sementara para kardinal mengisyaratkan perlunya seorang pemimpin yang menjabat dalan jangka waktu panjang. Kakek yang murah senyum itu membuat dunia takjub dengan konsili ekumenis yang pertama kali diadakan dalam seratus tahun. Hal ini sama sekali tidak terbayangkan oleh para kardinal. 

Namun demikian, para kardinal telah memilih seorang benar-benar suci bagi tugas yang akan diembannya. Satu hal tentang orang kudus –mereka taat pada Roh Kudus. Roh Kudus berhembus ke mana Ia mau, dan mereka mengikutinya tanpa ragu. 

Ketaatan membutuhkan kerendahan hati, yang merupakan komponen penting dalam kesucian selama berabad-abad. Ketika diminta untuk mengurutkan empat keutamaan pokok, St.Bernard dari Clairvaux menjawab, “kerendahan hati, kerendahan hati, kerendahan hati, dan kerendahan hati.” Jika ada karakter yang menonjol dari Angelo Roncalli, tak lain adalah keempat keutamaan pokok tersebut.

Lahir di keluarga buruh tani di kawasan utara Italia, Angelo tidak pernah menanggalkan asal-usulnya. Sebagai seorang seminaris, ia menghabiskan musim panas dengan bekerja di ladang bersama para rekan seminari. Kapanpun ia menanggalkan sarung tangan kepausan, orang dapat melihat guratan-guratan tangan khas petani. 

Paus Yohanes XXIII merupakan Paus pertama yang mengizinkan perwakilan dari pemerintah komunis untuk mengunjungi Vatikan. Pada satu kesempatan, ia menerima seorang diplomat Soviet dan istrinya dalam sebuah audiensi pribadi. Ia menyerahkan sebuah rosario cantik sebagai hadiah kepada sang istri diplomat. Ketika ia meletakkan rosario itu di tangannya, istri diplomat itu berseru pada suaminya dalam bahasa Rusia, “Lihat, tangan seorang pekerja, ia salah satu dari kita!” Tentu saja, istri diplomat itu tidak menyangka bahwa Paus petani dihadapannya mengerti apa yang diucapkannya. Tapi ia keliru! Petani itu tidak hanya berbicara bahasa Latin dan Italia sebagai bahasa ibunya, tetapi juga Perancis, Yunani, Bulgaria, Turki, dan Rusia. Tugas menuntutnya mempelajari semua bahasa itu. Tugas pula yang menuntutnya menjadi ahli mengenai Bapa Gereja dan Reformasi dan kelak memeroleh gelar doktorat dalam bidang  sejarah Gereja. Ia benar-benar seorang petani yang berpendidikan tinggi! 

Ucapan wanita Rusia itu membuatnya puas -ia bangga dikenal sebagai seorang petani, seorang pekerja, sebagai “satu dari antara kita”.   

Peristiwa itu menandai kualitas kesuciannya yang lain, dan dapat menjadi teladan bagi kiita semua. Tidak seorangpun yang setelah bertemu dengannya, pergi tanpa kesan yang mendalam bahwa ia selalu ada dengan mereka, untuk mereka.  Semua, bahkan para ateis, merasa dikuatkan olehnya. 

Ini bukan berarti bahwa Paus Yohanes XXIII tidak memiliki prinsip. Di luar Konsili, ia menegaskan bahwa esensi ajaran dan moral Katolik tidak akan disesuaikan dengan cita rasa modern. Ia benar-benar seorang yang teguh soal kesederhanaan berpakaian, dan ia seringkali mengingatkan mereka yang melupakannya. Tapi toh, dalam pidato pembukaan Konsili, ia menyampaikan kritik tajam kepada “para nabi palsu” yang tidak melihat apapun selain dosa dan bahaya era modern. 

Ia juga selalu dapat membedakan antara pribadi manusia dengan tindakan atau gagasan mereka, dan mengakui martabat manusia pada diri setiap orang. Senyumnya yang meyakinkan membuat orang tahu bahwa ia menemukan sesuatu yang menyenangkan dalam diri orang-orang, keindahan ilahi yang tidak pernag dapat diburamkan oleh dosa maupun politik. Ia selalu dapat dengan cepat menemukan titik temu dan membangun jembatan pemahaman. 

Ia bukanlah seorang liberal maupun konservatif. Ia adalah Angelo Roncalli, seorang imam Yesus Kristus, titik. Kaum konservatif mencintainya karena tindak-tanduknya yang tradisional. Kaum liberal mendukungnya karena ia terbuka bagi perubahan. 

Namun demikian, paus Yohanes XXIII tidak memiliki darah politik dalam tubuhnya. Ia tidak mencoba untuk bersikap “diplomatis”. Yang ia lakukan hanya menjadi dirinya sendiri. Selalu. Inilah sebabnya ia terpilih untuk melakukan tugas pelayan dalam korps diplomatik Takhta Suci selama bertahun-tahun. Ia menuai sukses di  tempat yang lain gagal, membangun jembatan, mendamaikan yang bermusuhan, dan menenteramkan krisis. Sedikit yang tahu bahwa ketika krisis Kuba hampir membawa dunia ke perang nuklir, adalah Paus Yohanes XXIII yang membantu Kennedy dan Kruschev menemukan resolusi damai. 

Kemampuan Paus Yohanes XXIII untuk membawa damai agaknya merupakan alasan mengapa Roh Kudus menggunakannya untuk mewujudkan Konsili Vatikan II. Ia membuat kaum progresif dan tradisionalis duduk bersama dalam satu meja dan bekerja bersama. Ketika beberapa dari mereka mengajukan pengunduran diri, ia menolak sambil tersenyum dan berkata pada mereka bahwa tugas mereka adalah saling mendengarkan satu sama lain dan berkolaborasi demi kemuliaan Allah. 

Ia merupakan seorang suci yang menganggap serius karya dan kemuliaan Allah. Namun demikian, kesuciannya mencegahnya untuk mengambil kemuliaan bagi dirinya sendiri. Ia digambarkan memiliki “hidung orang Roma”, telinga dan lingkar pinggang besar yang mencerminkan kecintaannya akan pasta. Ketika ia diberi kesempatan untuk berkaca sambil mengenakan jubah kepausan pertama kalinya, sekretarisnya mendengarnya bergumam sambil tersenyum, “Ya Tuhan, Paus ini akan merusak televisi!” 

Sumber:http://www.crossroadsinitiative.com/library_article/415/Pope_John_XXIII___Saint_in_the_Age_of_Television.html